"Penglihatan Papa udah normal lagi?" tanya Ina sambil menyandarkan punggung di kepala ranjang. Posisi duduknya santai sambil video call-an dengan ppanya, Pak Windra.
Di layar ponsel, wajah Pak Windra tampak diterangi cahaya lampu ruang keluarga yang hangat. Ia juga sedang duduk santai di sofa, mengenakan kaus oblong dan celana pendek, pakaian khas malam minggu di rumah.
"Alhamdulillah jauh lebih bagus," jawab Pak Windra sambil mengusap bagian bawah matanya. "Setidaknya Papa udah nggak perlu pakai kacamata baca yang itu lagi ... yang kemarin, yang bikin kepala papa pusing."
"Alhamdulillah," sahut Ina pelan, mengangguk sambil tersenyum kecil.
Mereka terdiam sejenak. Hanya suara musik yang sangat pelan yang jadi backsound Ina, tadinya ia pasang untuk mengurangi rasa sepi, saat papanya menelpon, Ina tidak mematikannya dan hanya mengecilkannya saja. Lalu suara Pak Windra terdengar lagi, mencoba ringan, tapi terdengar juga ada rasa ingin tahu di baliknya.
"Kamu nggak ke tempat Mama kamu malam minggu begini, Na?"
Ina menggeleng, sambil berpikir, 'kenapa papanya menanyakan ini'.
"Nggak, Pa, aku lagi pengen istirahat aja di apartemen. Minggu lalu aku sudah ke sana ngajak Tommy nonton. Aku udah lama janji, belum sempat - sempat, baru minggu lalu jadinya, aku nginap juga di tempat mama.
"Tommy? kayak pernah dengar … siapa ya?"
Ina berdiri dari duduknya ke arah jendela sambil menatap pemandangan di luar jendelanya , setelah itu menatap layar ponselnya lagi, " Papa lupa? Tommy itu adikku … anak Mama juga. Aku kan pernah cerita sama papa kalo aku punya adik laki - laki."
Pak Windra menggaruk alisnya dengan canggung, lalu tertawa pelan, Ina bisa melihat tawa canggung itu.
"Oh iya, iya. Papa lupa. Maaf, papa nggak ingat."
Nada suaranya datar, Ina pun tidak berusaha menanggapi dan membuat percakapan tentang Tommy itu jadi bahan yang menarik dengan papanya, lagi pula Tommy bukan siapa - siapa untuk papanya, walau kenyataannya Tommy adalah adiknya. Ia tahu batas emosinya sendiri. Malam - malam begini, dia tak ingin memulai percakapan yang melelahkan batin.
"Papa sendiri nggak pergi malam mingguan? Nggak ada acara makan keluarga di luar, gitu?" tanyanya, berusaha mengalihkan suasana.
"Nggak. Tante Yasmin lagi ke Bandung. Pergi sama temen-temennya."
Ina menaikkan alis. "Papa ditinggal?"
"Iya. Tapi cuma semalam, kok."
Jawaban papaya terasa seperti sedang membela istrinya itu, jelas saja ... Ina yang lupa.
"Hm…"
Dalam hati, Ina mencatat satu lagi perbedaan yang membuatnya terus membandingkan. Mamanya tidak pernah pergi jauh hanya dengan teman - temannya. Dulu, sejak ia kecil, Mama selalu bersama kalau tidak dengannya, ya dengan Papanya. Dan sekarang pun, Mama tetap begitu. Kalau pergi, ya pasti dengan Uncle Adam, suaminya.
"Tapi … Adel ada di rumah, kan?" tanya Ina yang kini pindah tempat lagi, dari berdiri menuju sofa dan duduk disana sambil bersila.
"Nggak juga. Dia ada acara ulang tahun temennya, terus katanya mau nginep di rumah temennya itu. Katanya besok pagi pulang."
"Papa sendirian dong?"
"Ya nggak juga. Di belakang kan ada pembantu, terus sopir juga standby kalau Papa butuh apa - apa."
Ina tersenyum miris, yang ia maksud bukan itu. Tapi ia tak ingin menjelaskannya. Papanya sudah punya keluarga baru, dan dirinya tidak pernah merasa sepenuhnya menjadi bagian dari itu. Tapi ia membayangkan, semakin berumur papanya malah banyak sendiri ditinggal istri dan anaknya, kalau sekarang Ina juga merasa sendiri, ini bukan karena salahnya, tapi salah papanya.
"Dua minggu lagi di sini ada tanggal merah. Di sana juga libur nggak, ya?" tanya Pak Windra, "Tapi Papa juga nggak tahu itu tanggal merah apa, kalau kamu libur, itu kan kejepit weekend, nggak mau ke sini, Na?"
Ina menghela napas pelan. "Nggak tahu juga. Rasanya sih disini nggak ada libur, aku juga nggak ngecek kalender."
"Nanti kamu coba cek ya, Na, . Kalau beneran libur, main ke sini aja. Kita jalan - jalan. Nggak usah jauh - jauh, Papa juga masih belum fit banget. Tapi refreshing bisa. Kita nginap di hotel, makan - makan, ke mal ... kamu mau belanja apa aja papa traktir."
Sejak Ina pulang ke Jakarta beberapa minggu lalu untuk mendampingi proses operasi mata Papanya, sikap Pak Windra memang sedikit berubah. Lebih sering menghubunginya. Lebih sering menanyakan kabar. Seolah merasa dibukakan lagi pintu kesempatan untuk dekat dengan anak perempuannya itu.
Sayangnya, bagi Ina, itu sudah terlambat, benar - benar terlambat.
Ia tidak membenci. Tidak juga menyimpan dendam. Hanya … tidak ingin berharap. Semua sudah berjalan terlalu jauh, terlalu lama, dan ia terlalu sering menyaksikan bagaimana ia tersisih dengan perlahan dari prioritas sang ayah.
Karena tidak ada tanggapan dari anaknya, Pak Windra melanjutkan lagi pembicaraan tapi mengganti topiknya, ia seperti menyadari Ina tidak suka topik yang ia bahas tadi.
"Oh ya, tadi Om Rayyan ke sini besuk Papa. Dia kaget dengar kamu sempat pulang."
Ina mengangkat kepala. "Oh ya?"
"Iya. Dia bilang kenapa kamu nggak nelpon - nelpon juga. Katanya kalo tahu kamu di rumah sakit, pasti dia datang."
Ina nyaris tertawa. "Iya, Pa. Tapi aku juga nggak kepikiran nelpon Om Rayyan."
Padahal dalam hati, Ina tahu persis, Om Rayyan hanya muncul kalau Tante Yasmin sedang tidak di rumah. Sudah jadi rahasia umum di keluarganya, sejak konflik papanya berselingkuh dulu, almarhum eyangnya meledak amarahnya, yang jelas menolak kehadiran tante Yasmi, bahkan hingga eyang dan yangtinya meninggal beberapa tahun lalu. Hubungan adik - kakak yang dulu hangat jadi dingin seperti lemari es rusak, tentu saja om Rayyan ikut dengan orang tuanya membela mantan kakak iparnya dan anaknya, mama Citra dan Ina.
"Terus kenapa Om Rayyan nggak datang ya?" pancing Ina. Ia ingin tahu jawaban papanya karena papanya tidak pernah menceritakan konflik keluarganya ke Ina, hanya mamanya yang menceritakan semua itu, itupun setelah ia dewasa, sudah bekerja, dan ketika mulai menjalin kedekatan lagi sama papanya.
Pak Windra tersenyum kecil. "Dia ada kerjaan, sibuk. O iya. Papa juga pengen kita bisa kayak dulu lagi. Kumpul. Jalan - jalan rame - rame sama Om Rayyan. Mungkin kita bisa ke Puncak bareng, kayak waktu kamu kecil dulu."
Ina tahu niat baik itu ada. Tapi kadang, niat baik saja tidak cukup untuk mengembalikan sesuatu yang sudah lama retak.
"Aku kan jauh, Adel kan ada ... ajak dia aja."
Antara penolakan sama memberi solusi lain itu jaraknya tipis, seperti angka sebelas dengan dua belas.
"Hmm, Om Rayyan hanya satu dua kali ketemu Adel, jadi mereka kurang dekat, nggak seperti sama kamu dulu."
Gimana mau dekat kalau mamanya dibenci keluarga, Pa?
"Ya udah nanti aja kita bahas kalo aku ada libur dan bisa ke Jakarta, sekarang Papa fokus dulu aja buat sembuh. Jangan banyak jalan - jalan, kerja jangan berlebihan makan yang sehat. "
"Iya, papa juga ke kantor paling baru berangkat jam delapan pagi, pulangnya jam empat," jawab Pak Windra.
"Bagus gitu, semoga nggak banyak stres dan papa selalu sehat."
"Aamiin, makasih udah doain Papa."
"Sebagai anak, aku selalu mendoakan Papa sama Mamaku sehat - sehat dan selalu bahagia, terlepas apakah aku bahagia atau nggak, yang penting orangtuaku bahagia."
Pak Windra terdiam.
***
Zellina Aryani, Ina, ternyata tinggal di kawasan elite Pondok Indah. Nama yang sudah mencuri perhatian Dhannis sejak pertama kali bertemu, walau perhatiannya berupa kekesalan.
Suster Tia memberikan catatan nama dan alamat serta nomor telepon Ina ini saat ia baru saja merapikan stetoskop dan hendak keluar dari ruang praktik.
Kini, di dalam kamarnya yang masih terang benderang, Dhannis menatap catatan kecil berisi tulisan tangan suster Tia. Di situ tercatat alamat rumah Ina dan satu nomor telepon asing dengan awalan +65. Singapura?
Alisnya langsung mengernyit. Alamat Ina ternyata dekat, hanya sekitar dua puluh lima menit dari rumahnya sendiri. Tapi kenapa Ina menaruh nomor luar negeri? Apakah dia masih kuliah di sana? Atau sudah bekerja? Atau jangan - jangan … memang tidak menetap di Indonesia? Dari percakapan yang sudah ia lakukan dengan Ina, aksen Bicaranya tidak berubah, sama seperti anak gaul Jakarta pada umumnya ... Tidak menunjukkan bahwa ia tinggal di luar negeri.
Pertanyaan itu menggantung lama di benaknya, menumbuhkan rasa penasaran yang menusuk - nusuk seperti jarum halus di bawah kulit. Tangannya bergerak cepat, mengetikkan nomor itu ke dalam daftar kontaknya. Ia menamai kontak itu 'Zellina TM', TM itu bukan nama Ina, tapi gelar yang disematkan Dhannis untuknya, yaitu Trouble Maker, dia menyimpan kontak Ina sebagai pengingat, bukan untuk segera ditelepon, melainkan hanya disimpan. Tapi anehnya, baru ia simpan saja, dadanya sudah terasa seperti dipenuhi percikan listrik kecil yang liar. Penasaran. Rindu? Tidak mungkin, Ina terlalu berisik untuk dirindukan.
Ia menatap layar ponsel sambil menggigit bibir bawahnya. Belum saatnya. Dia tahu, terlalu banyak keruwetan yang harus ia jelaskan jika kelak mereka bicara. Ibarat bom waktu, semuanya bisa meledak kalau ia salah langkah.
Tentu saja soal candaan sialannya yang mengaku - ngaku Yuke sebagai istri. Padahal tidak. Hanya karena ingin terlihat tangguh, tidak mau diganggu apalagi digoda, malah setelahnya ia jadi tampak seperti pria beristri yang hobi selingkuh karena ada momen sialan di mana Zellina melihat 'dirinya' sedang jalan dengan wanita lain yang sebenarnya adalah Mas Dharren, bersama Disti, yang jelas - jelas merupakan istri sah kakaknya.
Benar - benar kacau. Imajinasi Zellina tentangnya mungkin kini sudah seperti potret buram pria tak bermoral, suami gagal yang malah bermain api. Dan semua itu harus ia luruskan, satu per satu.
Diluruskan?
Kini Dhannis malah bertanya - tanya untuk apa semua itu. Kenapa ia harus repot - repot membenarkan citranya di depan seorang wanita yang bahkan tak punya ikatan apa pun dengannya? Mengapa begitu penting baginya untuk terlihat baik di mata Ina?
Ia membuang napas keras. Logika dan egonya kini berdiri paling depan, membentuk dinding kokoh antara dirinya dan keinginan awal yang sempat tumbuh pelan - pelan.
"Untuk apa, ya?" gumamnya pelan, sinis pada dirinya sendiri.
"Toh Ina bukan siapa - siapa. Bukan pacar, bukan teman dekat, bukan juga seseorang yang perlu aku kejar, kenapa aku repot - repot harus klarifikasi?"
Mungkin, pikirnya, perasaan bersalah ini cuma efek sesaat, sekadar impuls aneh setelah pertemuan tak terduga yang terlalu dramatis. Lagipula, siapa Zellina Aryani dalam hidupnya? Dia hanya seorang gadis asing, extrovert garis keras, orang yang kebetulan muncul di hadapannya dengan kelakuannya yang absurd.
Yang pasti, dia bukan siapa - siapanya … saat ini. Benar - benar tidak penting!
Egoismenya mengambil alih. Ia merapatkan rahangnya, lalu mengunci layar ponsel dengan satu ketukan cepat dan meletakkan ponselnya itu diatas kasurnya.
"Huufftt ... Hampir aja aku mempermalukan diri menghubunginya ... ada - ada aja."
Kepalanya disandarkan ke sandaran tempat tidurnya, menatap ke luar jendela yang memantulkan sorot lampu halaman beakang rumah eyangnya ini dan bayangannya sendiri. Rumah ini terasa lengang malam itu, tapi hati Dhannis justru penuh keramaian, suara - suara kecil yang saling beradu, bertanya tanpa henti.
"Kenapa hidup serumit ini, ya?" gumamnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Kamarnya sepi, tidak ada suara musik yang menemani, hanya suara hembusan angin dari AC kamarnya.
Dhannis tidak jadi menghubungi Ina. Egonya menang malam ini.
Tapi tanpa ia sadari, jauh di lubuk hatinya, sesuatu terasa menggantung. Seperti pintu yang belum benar - benar tertutup, terkena angin atau tinggal didorong sedikit, akan mudah terbuka kembali.
Dan entah kenapa, justru itu yang membuatnya terusik.
*
Minggu sore, Dhannis tidak punya rencana ke mana - mana sebenarnya. Tapi setelah seharian bertahan di rumah hanya rebahan dan mondar - mandir dari kamar ke bawah untuk main PS, dan makan siang, akhirnyaa ia merasa bosan juga. Jenuh!
Eyang Nino sedang pergi bersama Yangti Sarah ke Bandung dari kemarin sore, tentu saja Papa - Mamanya tidak mungkin ke Jakarta karena eyang ke sana. Rumah besar itu terasa terlalu sepi.
Saking sunyinya, suara detik jam dinding saja seperti gema.
Kegabutan itu akhirnya membuatnya mengambil menggganti baju dan bersiap -siap untuk pergi. Sampai di bawah ia langsung mengambil kunci mobil, keluar dari rumah tanpa tujuan. Awalnya ia hanya berniat cari angin, mungkin berhenti di salah satu kafe di Senopati untuk duduk, menyesap kopi, dan memandangi lalu lintas ibukota yang tak pernah benar - benar lengang walau hari libur seperti hari Minggu ini.
Tapi setelah dua kali memutar area Senopati hingga Pasar Santa, tak satu pun tempat yang menarik menurtnya dan menggerakkan hatinya untuk berhenti.
Entah kenapa pikirannya malah melayang ke Pondok Indah.
Daan ... Sekarang ia sudah ada di sini.
Bukan di Pondok Indah Mall. Bukan juga di kafe instagramable yang ada di are pondok Indah ini. Mobilnyajustru berhenti di pinggir jalan yang relatif sepi, tepat di seberang sebuah rumah besar bercat putih. Arsitekturnya kokoh, klasik, dengan pagar tinggi berukir elegan dan taman depan yang terawat rapi.
Ia berada di depan rumah Zellina Aryani, sesuai dengan catatan alamat yang dipegangnya saat ini..
Dhannis diam di balik kemudi. Mesin mobilnya tidak dimatikan walau ia sudah disana sejak beberapa menit lalu, ia belum bergerak sedikit pun.
Ia hanya duduk di situ, menatap ke arah rumah itu. Seperti orang t***l, pikirnya sendiri.
Apa yang ia cari?
Ia bahkan tidak tahu.
Apa dia berharap melihat Ina keluar rumah? Berharap kebetulan itu terjadi seperti di film, lalu menyapanya dengan bilang 'Hai'? Konyol!
Atau hanya ingin membuktikan bahwa perempuan itu nyata, bahwa segalanya bukan sekadar bayangan sesat di pikirannya?
Tapi di dalam dirinya ada rasa yang lain. Rasa yang ia tolak, tapi pelan - pelan mencuat, menggeliat, dan menuntut diakui.
Rasa penasaran yang akhirnya membuatnya kesal sendiri.
Ia membayangkan seperti apa hidup Ina sekarang. Apakah dia sedang di rumah? Atau masih di Singapura dan rumah itu kosong?
Dan kenapa, dari semua tempat yang bisa ia datangi hari ini, ia malah sampai di depan rumah perempuan yang belum pernah sekalipun ia hubungi?
Dobel konyol!
Dhannis menarik napas panjang. Lalu ia bersandar di jok, memejamkan mata.
Mungkin hanya sebentar.
Mungkin ... hanya sampai langit benar - benar gelap dan akal sehatnya kembali bekerja yang akan membawanya pulang.