Pukul delapan pagi, kursi kerja Ina sudah berderit menyambut kehadirannya. Bukan karena ia terlalu bersemangat, tapi lebih karena takut dimarahi atasan jika datang terlambat, soalnya hari ini ada dua meeting penting jam sembilan dan jam setengah sebelas. Padahal, jujur saja, matanya masih berasa seberat batu. Kelopak matanya masih bengkak gara - gara semalam marathon drama China favoritnya, bukan cuma nonton sampai lewat tengah malam, tapi juga menangis sampai sesenggukan saking sedihnya Drama itu benar - benar kejam, pikirnya. Bukannya memberi harapan, justru meremukkan hati dari awal sampai akhir. Adegan sang tokoh utama mati demi cintanya yang tak kesampaian. Tapi tetap saja ditontonnya sampai habis.
Tadi pagi, sebelum berangkat, Ina bahkan sempat mengompres matanya dengan sendok dingin dan masker mata yang disimpan di kulkas. Tapi hasilnya nihil. Mata bengkaknya masih menyisakan jejak merah seperti habis bertarung dengan kehidupan. Maka dari itu, selama perjalanan naik MRT ke kantor, kacamata hitam andalannya tak pernah lepas dari wajahnya. Bukan gaya - gayaan. Murni demi menyelamatkan harga diri dari pandangan orang lain.
"Morning …" sapa Jimmy sambil berjalan santai ke kubikel sebelahnya, lengkap dengan ransel di punggung dan segelas kopi kekinian di tangan kanan.
"Pagi," sahut Ina singkat, tanpa menoleh. Ia sedang sibuk mengunyah sandwich dan menyeruput kopi hitam pahit dari tempat langganan. Kopi tanpa gula adalah satu - satunya hal yang membuatnya masih bisa duduk di sini pagi - pagi begini.
Jimmy meletakkan ranselnya, lalu menoleh ke arah Ina, Iya sempat memicingkan mata seolah sedang memeriksa sesuatu. "Kenapa?" tanya Jimmy setelah melihat mata Ina.
"Apanya yang kenapa? Apa ada yang salah kalau seorang cewek makan sandwich dan minum kopi pagi - pagi begini?" tanya Ina datar, pura - pura tak paham arah pertanyaan.
"Mata lo ... ai lihat kayak abis kebanting emosi. Diputusin pacar, ya?"
Ina mendesah pelan. Ia tahu arah pembicaraan ini akan menyebalkan.
"Pacar siapa? Pacar orang?" balasnya malas.
"Bener, pacar orang, kan lo nggak punya pacar," jawab Jimmy cepat, sambil nyengir. Ia lalu tertawa pelan dan duduk di kursinya, tapi langsung memundurkan posisi kursi agar bisa kembali memandangi Ina dari pembatas kubikel mereka. Kopinya ia cicipi pelan - pelan, seperti sedang menikmati sinetron pagi hari.
Ina melirik sejenak karena terganggu dengan gerakan kursi Jimmy, tapi hanya sesaat lalu kembali fokus ke sandwich-nya. Tapi Jimmy tak menyerah.
"Ada masalah?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada lebih serius.
"Iya," jawab Ina asal yang penting Jimmy penasaran.
"Masalah cowok? Jangan - jangan cowok yang punya dua istri itu nelpon lo lagi?"
Ina menoleh cepat dengan tatapan jengkel.
"Nelpon dari mana, sih? Gue aja nggak tukeran nomor. Lo tuh suka banget ngarang, ya. Jangan bikin mood gue rusak deh pagi - pagi gini," sahutnya ketus.
"Ups ... emosyen."
Jimmy tertawa lagi, bahkan lebih puas dari sebelumnya. Seolah melihat Ina sewot di pagi hari adalah salah satu alasan ia rajin masuk kerja.
"Maaf, maaf. Tapi lo tuh menarik, tahu nggak? Biasanya cewek cantik, cuek, dan kadang nggak peduli kayak lo tuh nggak pernah bahas cowok. Makanya ai jadi penasaran."
Ina melirik tajam. "Ngapain lo penasaran? Bukannya lo nggak suka cowok juga, katanya?" tanya Ina sinis dan sarkas tentunya.
Jimmy mengangkat alis dan tersenyum penuh gaya. "Kan pacar ai cowok berhati wanita."
Ina mendengus. Satu sisi ia kesal, sisi lain ia bingung sendiri dengan logika dunia Jimmy. Tapi ia tak bisa bilang apa - apa. Hidup orang, ya hidup orang. Lagian, Jimmy itu orangnya baik, walau kadang ngeselin, tapi perhatian. Cuman memang hobi bercanda kelewatan batas.
"Udahlah, makanya lo terima aja si Ko Han tuh," ujar Jimmy lagi sambil menyedot kopinya. "Orangnya jelas, jomblo sejati, dan kelihatan niat banget ngejar lo."
Ina menaikkan alis. "Cukup, deh. Hidup percintaan lo aja udah aneh, jangan ngajak - ngajak gue."
Ia lalu mengemasi pembungkus sandwich-nya dan melemparkannya ke tempat sampah, lalu menyeruput kopi pahit terakhir sebelum mulai mengetik sesuatu di laptopnya.
Jimmy, seperti biasa, tak menyerah.
"Eh, tapi lo tahu kan ... hidup ini bisa diatur sesuai keinginan, jadi cobalah menginginkan seseorang jadi pendamping hidup lo yang sepi kek taman pemakaman itu," katanya sambil kembali menyeret kursinya dan mulai membuka laptop juga.
"Itu aja lo udah beda konsep sama gue, hidup itu nggak bisa kita atur sesuai keinginan ... rencana hidup boleh, tapi ada yang maha penentu, yang bakal menentukan apakah rencana lo di approve atau nggak, bukan seenak jidat lo aja yang ngatur."
"Ribet lo ah!"
Ina tak menanggapi lagi. Ia memilih fokus ke layar laptop, mencoba mengabaikan komentar - komentar usil Jimmy yang, entah kenapa, selalu jadi menu pembuka hari kerjanya.
Tapi diam - diam, dalam hati, ia mengakui satu hal. Percakapan pagi dengan Jimmy itu, seaneh dan sesarkas apapun, bikin kantuknya perlahan - lahan hilang. Mungkin memang ada gunanya punya rekan kerja kayak dia, walaupun kalau terlalu sering, bisa - bisa malah bikin pusing tujuh keliling.
*
Sudah waktunya makan siang, untung saja di kantor ini semuanya serba teratur, jadi walaupun meeting kedua dimulai gak terlambat lima belas menit di mana hampir pukul sebelas mereka baru mulai meeting Tapi sebelum jam dua belas meeting sudah ditutup. Tentu saja itu membuat Ina senang karena punya rencana makan siang bersama Jimmy dan Cheni di salah satu restoran Korea. Ceritanya hari ini gajian, jadi biasanya mereka memang suka memulainya dengan makanan yang sedikit berbeda daripada hari biasanya.
Tapi walaupun jam dua belas teng waktu istirahat sudah dimulai, tapi mendadak Ina ingin ke toilet, perutnya mulas, sementara Cheni yang memang divisinya berkantor di lantai lebih rendah daripada Ina dan Jimmy, sudah menunggu di lobby.
"Halo Jim ... Kalian belum turun?" tanya Cheni yang mencoba menghubungi Ina tapi gagal dan langsung menghubungi Jimmy.
"Princess Ina sedang ke toilet, dan sepertinya lift masih mengantri, mungkin bisa - bisa baru sepuluh menit kami baru bisa sampai di bawah," jawab Jimmy.
"Kalau gitu aku duluan ya, Aku khawatir kita tidak dapat tempat nanti."
"Ya sudah, nanti Ai sama Ina nyusul ke sana."
"Mau sekalian dipesankan?"
"Ai nggak tahu Ina mau makan apa."
"Ya sudah nanti saja kalau gitu, aku duluan."
"Oke."
Lima menit kemudian Ina sudah keluar dari kamar kecil dan menemui Jimmy yang sedang menunggunya, "Yuk," ajaknya.
"Cheni sudah duluan ke restonya, takut nggak dapat tempat," ucap Jimmy ketika mereka sedang berjalan menuju lift.
"Oke."
*
Restoran Korea tempat mereka makan siang itu sudah jadi langganan. Bukan hanya karena rasanya yang cocok di lidah, tapi juga karena harganya juga cocok di kantong.
"Bibimbap-nya enak banget dan nggak pernah gagal ya, bumbunya pas," ujar Ina sambil menyuapkan ke dalam mulutnya.
Cheni mengangguk setuju, "Iya, padahal aku udah coba tempat baru minggu lalu sama mamaku, tapi tetep aja balik ke sini. Fix soulmate-ku bukan orang, tapi makanan Korea."
Jimmy menyeka mulutnya dengan tisu, lalu menyandarkan punggung ke kursi. "Ai rasa kalian cocok jadi ambassador kuliner Korea di Singapura."
"Setuju," sambung Ina cepat. "Asal jangan bawa - bawa nama Ko Han lagi aja."
Jimmy langsung tergelak. "Ya ampun ... itu cowok cuma jadi figuran di obrolan kita, kenapa sih lo alergi banget?"
Ina menatap dua sahabatnya dengan mata menyipit. "Figuran pun kalau disebut terus, lama - lama bikin males."
"Bagaimana kalau nama Dhannis?" sela Cheni tiba - tiba.
Begitu nama itu disebut, suasana agak hening satu detik.
Jimmy spontan mendelik ke Cheni, lalu langsung tersenyum lebar seolah menahan tawa. Jimmy menutupi mulutnya dengan tangan, pura - pura batuk kecil.
"Eh, kenapa jadi bawa - bawa dia sih?" protes Ina sambil mendesah, lalu meraih gelas minumannya.
"Nama itu tuh kayak ... alergi debu. Sekilas doang tapi bikin gatel semuanya," tambahnya lagi.
"By the way, aku masih penasaran dan cari tahu tentang dia, infonya ..."
"Please stop, aku nggak mau bahas itu lagi, kita mau makan enak dan bukan membicarakan orang nggak penting," potong Ina menatap tajam ke arah Cheni.
"Oke oke, sorry .... Aku nggak akan membahasnya lagi," jawab Cheni sambil meletakkan ujung jarinya di dekat bibir seperti orang sedang mengunci mulutnya.
"Mungkin kamu bisa membisikkannya, ai penasaran," ucap Jimmy ke Cheni sambil memberi kode mata.
Ina memutar mata. " kalian berdua kenapa sih? Nggak ada bahan obrolan lain selain nama yang bikin gue males?"
Cheni mengangkat kedua tangan, "Fine. Ganti topik. Tapi suatu hari, Kamu mungkin tetap harus berdamai sama pria beristri itu."
"Tidak ada suatu hari," tegas Ina.
Jimmy memberi kode ke Cheni agar jangan dibahas lagi, ia khawatir dirinya akan jadi sasaran omelan Ina nantinya.
Suasana pun kembali cair. Mereka bertiga tertawa sampai mata berkaca - kaca. Lucunya, begini memang cara mereka mengekspresikan rasa sayang, dengan saling meledek, menyentil masa lalu, dan tertawa di sela pekerjaan kantor yang sering menumpuk tanpa ampun.
Saat waktu makan siang hampir habis, Jimmy melirik jam tangannya. "Eh, kita balik yuk. Nanti kalau ada Ibu Melisa liat kita masih nongkrong santai, bisa - bisa ai disuruh handle laporan sore ini sendiri."
"Kayaknya lo sama gue satu divisi deh, Ya kali lo sendirian ... Gue juga pasti kena kali," sahut Ina.
"Ayok, sebelum Ina beneran dikejar dokter yang sudah menjadi masa lalu," timpal Cheni sambil mengemas tasnya.
"Gue lebih takut dikejar deadline daripada masa lalu, to be honest," sahut Ina, lalu berdiri dan merapikan outer-nya.
Sambil berjalan kembali menuju gedung kantor mereka yang menjulang megah di Marina, tawa kecil masih menyelip di antara langkah - langkah mereka. Di tengah tekanan kerja, meeting yang bertumpuk, dan email yang tiada henti, momen seperti ini makan siang bertiga dengan obrolan receh jadi semacam terapi.
Dan meskipun Ina bilang dia 'alergi' membahas Dhannis, Cheni dan Jimmy tahu ... kadang - kadang, alergi itu bisa sembuh kalau takdir berniat mengulang pertemuan.
Tapi untuk sekarang, cukup dengan kopi siang dan lelucon ringan.
*
Dhannis berjalan santai menyusuri lorong rumah sakit yang dingin dan steril, baru saja selesai makan siang bersama Om Wika, abang Shaka, dan Mas Dharren. Tadi mereka ada meeting rutin, yang sebenarnya sudah selesai sejak dua jam lalu. Tapi karena yang lainnya punya agenda berbeda, mereka langsung bubar tanpa sempat makan siang bareng seperti biasanya. Alhasil, Dhannis mengisi perutnya dengan cepat di ruangan Om Wika dan hanya berempat tadi sebelum kembali ke poli.
"Siang, Dok," sapa salah seorang suster yang berpapasan dengannya. Wajahnya familiar, tapi Dhannis tidak tahu siapa namanya. Mungkin dari lantai lain, atau hanya sesekali terlihat di lorong.
"Siang," jawab Dhannis singkat, mengangguk sopan.
Langkahnya terus melaju hingga tiba di poli tempat ruang praktiknya berada. Begitu membuka pintu, aroma antiseptik langsung menyambut. Tidak lama, suster Tia menyusulnya dari arah Nurse station.
"Berapa pasien hari ini?” tanya Dhannis sambil duduk dan merapikan jas dokternya.
"Sudah terdaftar lima belas, Dok. Tapi kayaknya bisa nambah," jawab suster Tia sambil meletakkan berkas di atas meja.
Dhannis melirik jam tangannya. Masih ada sepuluh menit sebelum waktu praktik dimulai. Ia memang terbiasa datang lebih awal. Rasanya aneh kalau datang mepet atau bahkan telat, hal yang mungkin tidak disukai pasien.
"Sus ... masih ingat nggak pasien saya yang namanya Zelina, nggak?"
Suster Tia mengerutkan kening. "Zelina siapa ya, Dok?"
"Pertanyaan bagus. Saya juga lupa nama lengkapnya."
Suster Tia menahan tawa. "Pasiennya yang gimana? Pernah berobat ke sini?"
"Ya jelas pernah, namanya juga pasien," balas Dhannis, setengah menyindir.
Suster Tia menyadari kesalahannya, bukan salah sepenuhnya tapi dia hanya salah menyampaikan maksud pertanyaannya tadi.
"Oh, maksud saya, apa pasien itu pernah konsultasi sama dokter langsung ... bukan pasien poli lain."
"Pernah, sekitar satu bulan yang lalu."
Suster Tia mengernyit, mencoba menggali memori.
Suster Tia tentu saja bekerja keras untuk mengingat pasien mana yang dimaksud oleh dokter Dhannis ini, karena ia praktek tiap hari dan pasiennya rata - rata di atas sepuluh orang setiap harinya, tentu saja suster Tia susah untuk mengingatnya, kecuali ada petunjuk khusus.
"Orangnya gimana, Dok? Mungkin saya bisa ingat kalau dikasih tahu ciri - cirinya."
Dhannis bersandar, sejenak berpikir. "Cewek. Pas datang tuh sok akrab dan sok tahu. Ngaku - ngaku kenal saya, iya kenal sih, tapi yang jelas dia bukan teman saya."
Suster Tia menahan senyum, dan mulai teringat.
"Waktu itu dia datang buat periksa alergi. Saya minta izin periksa area punggung, dia malah mau buka bajunya semua. Untung kita larang, kalau nggak bisa viral," tambah Dhannis sambil melirik suster Tia yang langsung tertawa kecil.
"Ya ampun, iya iya, saya inget! Saya inget dia! Tapi namanya ... ah, saya juga lupa lengkapnya. Kayaknya memang Zelina, sih."
Dhannis mengangguk, suaranya lebih pelan. "Saya butuh nomor kontaknya. Bisa bantu cariin nggak di data pasien?"
"Di laptop dokter nggak bisa, ya?”"
"Ini cuma nyambung ke sistem hari ini, nggak bisa lihat riwayat lama."
"Oke, nanti saya cari ya. Tapi nggak buru - buru kan, dok?"
"Nggak. Kapan aja. Tapi ... tolong, ya, dan satu lagi, nggak usah diceritakan ke orang lain soal permintaan saya ini."
Tia mengangguk. Tapi alisnya sempat naik sedikit, jarang - jarang dokter Dhannis minta bantuan personal seperti itu. Apalagi soal pasien perempuan.
Dhannis pun menarik napas dan menegakkan badan.
"Udah yuk, kita mulai."
Tia berjalan ke luar ruangan, sementara Dhannis memandang laptop-nya kosong. Tapi pikirannya penuh. Bukan soal pekerjaan. Bukan juga soal meeting tadi siang. Tapi soal seorang perempuan dengan nama yang nyaris terlupakan dan reaksi yang seharusnya biasa saja, tapi entah kenapa... tidak bisa ia abaikan. Setelah satu bulan berlalu, akhirnya Ia memutuskan untuk mencari tahu juga tentang wanita berisik itu.
Dhannis bahkan tidak tahu entah apa yang menarik sehingga membuatnya begitu ingin tahu tentang Zelina dan mengontaknya.