Bab 2

1590 Words
Fortuner yang dikendarai Dirga tiba di kediaman keluarganya tepat ketika adzan magrib berkumandang di speaker masjid terdekat. Anya pikir, keanehan Dirga hanya akan menetap selama perjalanan saja, tetapi Anya bahkan bisa melihat ekspresi Dirga semakin tidak nyaman ketika mereka mulai berjalan menuju pintu utama.   “Kamu sakit?” Pertanyaan Anya akhirnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Menyaksikan ekspresi Dirga yang ‘semakin aneh’ begitu langkah mereka yang juga semakin dekat menuju pintu rumahnya sendiri membuat Anya akhirnya bertanya dengan nada khawatir. “Harusnya tadi bilang aja sama aku, jadi aku yang nyetir.”   Dirga menggeleng, bukannya memberikan jawaban atau penjelasan, Dirga justru memberi Anya sebuah senyuman—yang terlihat sedikit dipaksakan—sebelum kemudian menggenggam tangannya. “Yuk, Ibu udah nungguin kayaknya.” Lalu tanpa membiarkan Anya merespon, Dirga lebih dulu menarik tangan sang kekasih untuk berjalan bersamanya.   Kediaman Dirga masih sama nyamannya seperti yang Anya ingat. Terlepas dari bagaimana orang tua Dirga bereaksi atas hubungan mereka, tidak pernah ada sikap dingin atau terang-terangan mengusir yang diterima Anya selama beberapa kali bertamu ke sana. Yah, mungkin karena kunjungan Anya ke sana juga masih bisa dihitung jari meski hubungan mereka sudah berjalan cukup lama.   Wangi masakan langsung menyambut indra penciuman keduanya. Disusul dengan wajah Ibu Dirga yang muncul dari arah belakang, seolah mengetahui kedatangan puteranya. “Macet jalannya?” tanya Ibu Dirga pada anak lelakinya yang sedang mencium tangannya tersebut.   “Nggak Bu, lancar.”   Ibu Dirga lalu beralih pada Anya, “Apa kabar, Anya?” sapanya. Tidak bisa dikatakan tidak bersahabat atau ketus, sama sekali tidak, tapi tidak juga bisa dikatakan ‘santai’ untuk ukuran calon mertua. Masih ada jarak di sana dan semua yang melihat pasti bisa memahaminya.   “Kabar baik, Bu. Ibu sendiri gimana kabarnya? Sehat?”   “Sehat.” Ibu Dirga hanya berbasa-basi sedikit dengan Anya seputar pekerjaan perempuan itu sebelum kemudian melanjutkan, “Sudah yuk langsung ke meja makan saja. Ayahnya Dirga kebetulan nanti malam mau ada pertemuan.”   Anya bukannya naif. Tetapi undangan makan malam ini justru membuatnya berdebar dan membuatnya semakin percaya diri terhadap hubungannya dan Dirga yang selama ini masih terasa mengganjal terkait restu abu-abu yang selalu dilemparkan oleh keluarganya. Jadi, bukan salah Anya kan jika saat ini—terlepas dari segala keburu-buruan, bahkan sikap mencurigakan Dirga—undangan makan malam ini adalah bukti keluarga Dirga sudah ‘menerimanya’.   Di meja makan, tidak hanya ada orang tua Dirga, tetapi juga Nenek dari pihak Ibu Dirga ada di meja makan. Dua adik perempuan Dirga juga hadir di meja makan, minus si bungsu yang sedang berkuliah di Stanford. “Hai Teh Anya!” Adik perempuan Dirga yang pertama menyapa Anya dengan ramah. Mereka memang beberapa kali sering berbincang bahkan pernah hangout.   Setelah saling menyapa dan berbasa-basi ringan, acara makan malam pun benar-benar dimulai. Keluarga Dirga memang berbeda dengan keluarga Anya, bukan hanya dari latar belakang tetapi secara pembawaan. Suasana di meja makan terasa begitu hening dan serius, sangat berbeda dengan keluarga Anya yang ramai. Sangat jarang bisa menemukan anggota keluarga Anya duduk rapi di meja makan saat makan malam, karena semua punya tempat masing-masing favorit untuk makan dan keluarganya tidak pernah menerapkan aturan ‘makan bersama’ seperti ini.   Tetapi untuk Anya, ini bukan sesuatu yang baru sehingga membuat dirinya jadi kaku. Tidak. Anya sudah terbiasa dengan kebiasaan ini karena Dirga menerapkannya di dalam hubungan mereka. Di mana saat waktunya makan, sekalipun mereka hanya sedang kencan di apartement Dirga, keduanya harus duduk di meja makan untuk menyantap makanan.   Setelah makan malam berakhir, hidangan penutup disajikan. Dan di sanalah obrolan yang juga menjadi puncak acara makan malam ini dimulai. Membahas soal pernikahan.   Seharusnya.   Namun sayangnya, Anya terlalu naif. Karena pembahasan soal pernikahan antara dirinya dan Anya saat itu tidak pernah ada.   “Saya tahu semuanya, Anya. Saya tahu kamu memang perempuan yang cantik dan baik. Kamu juga pekerja keras, tapi saya tidak bisa menerima seoang perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatannya sebelum hari pernikahan.”   Seperti petir menggelegar di atas kepalanya, Anya tanpa sadar mengepalkan tangannya sendiri yang entah sejak kapan bersemayam di atas pahanya. Mungkin sejak pembicaraan Ibu Dirga tentang dirinya yang tidak setuju dan merestui pertunangan antara Anya dan anaknya. Atau sejak Nenek Arya terang-terangan menatapnya dengan tatapan menghina.   Kata-kata dari Ibu Dirga mungkin dilontarkan dengan nada terhalus dan terlembut yang pernah Anya dengar sejak menjalin hubungan dengan Dirga. Tetapi tentu saja itu tidak dapat sekalipun mengobati luka yang sebenarnya sedang disayatkan wanita itu pelan-pelan padanya.   “Bu, Dirga kan sudah jelasin—”   “Kamu diam! Tidak perlu dibela, karena sekalipun kamu dan Anya menjelaskan, tidak ada yang berubah. Anya bukan lagi perawan.”   “Bu—”   “Diam, Dirga! Ibu kamu benar, seorang perempuan itu nggak sepantasnya menyerahkan kehormatannya sebelum pernikahan. Sekalipun lelaki itu berjanji akan menikahinya, itu tidak benar.”   “Lalu bagaimana dengan Dirga yang melakukan itu juga?” Anya akhirnya angkat suara setelah lebih bisa mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya. “Saya tidur dengan Dirga, kenapa hanya saya yang dihakimi.”   “Dirga nggak mungkin seperti itu jika tidak pacaran dengan kamu,” sahut Ibu Dirga. “Lagi pula, Dirga laki-laki, hal itu tidak berlaku untuknya karena tidak meninggalkan bekas. Tapi—”   “Tapi hal itu berlaku untuk perempuan karena selaput daranya sudah robek? Sebatas itu?”   “Bukan hanya sebatas—”   “Saya pikir, keluarga terpelajar seperti kalian harusnya bisa lebih paham bahwa nilai dan kehormatan manusia jauh lebih tinggi dari perkara selangkangan saja. Tapi saya salah, ya? Pikiran kalian yang justru adanya di selangkangan.”   “JANGAN KURANG AJAR KAMU!” Ibu Dirga menggebrak meja. Kali ini, emosinya tidak bisa ditahan lagi dan wanita itu berteriak. “SEE? WANITA SEPERTI INI YANG KAMU MAU JADIKAN BAGIAN KELUARGA KITA, DIRGA?”   “Sorry ya, saya juga ogah jadi bagian keluarga kalian.” Anya berdiri dari kursinya. Menatap satu-satu wajah di meja itu.   Anya tahu tidak semua orang di sana setuju dengan tindakan Ibu Dirga. Bisa dilihat dari Ayah Dirga yang hanya diam tidak bersuara dan memberikan tatapan prihatin dari kursinya. Lalu kedua adik Dirga bahkan seperti tidak ada ‘nyali’ untuk menatap balik Anya. Dan yang paling menyakitkan dari semuanya adalah Dirga, kekasihnya yang sama sekali tidak membelanya meskipun hanya sepatah kata.   Anya tahu Dirga is a mommy boy, tetapi Anya pikir masih ada satu titik dari keberanian lelaki itu yang akan digunakannya untuk membela Anya. Sama seperti hari-hari di mana Dirga menjanjikan Anya bahwa dia akan meyakinkan keluarganya untuk menerima Anya.   Anya tertawa miris. Anehnya, Anya bahkan sama sekali tidak ingin menangis di tengah keadaan yang seperti neraka ini. “Terima kasih sudah menyadarkan saya sebelum saya benar-benar terjebak masuk ke dalam keluarga ‘terhormat’ ini. Thanks God, nggak kebayang kalau saya beneran jadi menantu di sini.” Meski Anya benar-benar ingin memaki, perempuan itu masih bisa mengontrol diri. “Terima kasih juga untuk ‘jamuan makan malamnya’. Oh dan soal saya yang sudah nggak perawan, yes I am. Sudah dari umur dua puluh loh Bu, saya nggak perawannya. Bisa ditebak sendiri kan siapa yang ambil keperawanan saya? Ya, anak laki-laki kebanggan Ibu.”   Anya merasakan tangan Dirga menggenggam pergelangannya. Seolah menahan Anya untuk tidak melanjutkan bicara namun tentu saja Anya menghempaskannya bahkan tanpa menatapnya. “Dan itu bukan sekali aja Bu, dia nidurin saya sesering itu, bahkan saat saya nggak mau—dia bakalan ngambek dan marah-marah sama saya sekalipun saya mengeluh sedang nggak mood. Katanya, ‘kamu cukup buka kaki aja, saya yang lakukan sisanya’ aduh gentleman banget ya anak Ibu.”   “Zevanya!”   “KELUAR KAMU DARI RUMAH INI!”   “Ohooo, nggak usah repot ngusir, memang mau kok.” Anya memasang senyum mengejek untuk yang terakhir kalinya lalu meraih tasnya dan melenggang pergi. Tetapi sebelum benar-benar pergi dari ruang makan keluarga Dirga, Anya menoleh dan menatap ke arah Ibu Dirga yang masih menatapnya penuh amarah. “Bu, Dirga pernah videoin juga loh waktu itu. Kalau penasaran coba aja cek di hpnya!”   Dirga ikut berdiri dari kursinya dan menarik Anya keluar dari ruangan itu dengan cepat. Yang tentu saja membuat Anya menghempaskan tangan lelaki itu yang setengah mencengkramnya.   “Lepas, baji*ngan!”   “Nya, aku bisa jelasin—”   Anya mengangkat tangan, menghentikan Dirga untuk bicara lebih banyak. “Satu-satunya waktu yang tepat buat kamu kasih penjelasan adalah saat Ibu kamu menghakimi aku soal keperawananku. Tapi kamu diam. Kamu hanya buka mulut waktu aku bohong soal rekaman video. Oh no, kamu bahkan diam juga sih. Kamu pasti sudah tahu kan Ibu kamu bakal kayak gini ke aku, tapi kamu sama sekali nggak melakukan apa-apa untuk mencegahnya!”   “Sumpah, Nya, sumpah! Aku nggak tahu Ibu bakal kelewatan kayak ini. Aku pikir dia hanya mau nanya-nanya soal—”   “Alah berisik. Apapun itu, let’s stop it, Ga. Denger, kalau keluarga kamu memang nggak mau terima aku sebagai menantu, it’s fine! Kamu tinggal bilang dan putusin aku. Tapi ngerendahin aku dan bicara soal kehormatan? Bullshi*t. Mereka hanya cari-cari alesan buat sepenuhnya ngekick aku.”   “Nya—”   “Nggak usah sebut nama aku. Jangan muncul di depan aku atau keluargaku, atau aku nggak akan tinggal diam.”   “At least biarin aku anter kamu pulang...”   “Gue bisa balik sendiri, si*alan!”   Zevanya Giani pun beranjak pergi dari kediaman Dirga. Dan malam itu, Anya bukan hanya meninggalkan lelaki yang sudah menjadi pujaan hatinya bertahun-tahun. Bukan hanya melepaskan mimpinya untuk menjalani kehidupan rumah tangga dengan cinta pertamanya tetapi juga Anya meninggalkan kepercayaannya soal cinta.   Cinta sejati di dunia itu mungkin ada. Tetapi bukan untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD