Abizar menahan rasa cemburunya ketika membaca pesan tersebut dan memperhatikan bunga bunga itu. Namun ia menghentikan aktivitasnya dan mengambil sarung tangan terlebih dahulu.
Di dapur ada sarung tangan plastik ala kadarnya, ia pun mengenakannya.
Apapun, daripada tidak ada.
Tak kurang dari lima buket bunga ada di tempat sampah itu dan setiap kiriman bunga tersebut ada pesan pesan penuh cinta.
Aku saja tidak pernah seperti ini. Siapa orang ini? Berani sekali mengatakan cinta pada Runa!!!
Abizar merasa geram.
Ia mengambil foto foto dari setiap buket bunga dan pesan pesan yang terlampir. Setelahnya Abizar menghubungi nama toko bunga yang ada di bagian belakang kartu dengan untaian kata kata tersebut.
Abizar mulai menekan nomor ponselnya dan menghubungi toko bunga tersebut, tapi nomornya tidak aktif.
Hmm... Kenapa tidak aktif?
Ia lalu menelepon rekan kantornya yang bernama Bondan dan meminta mengecek toko bunga bernama PEONY tersebut.
Bondan : "Ya bos."
Abizar : "Ada toko bunga bernama Peony, tidak ada alamat, adanya nomor telepon tapi tidak aktif. Apa bisa kamu lacak? Apa ganti nomor telepon? Atau pindah alamat?"
Bondan : "Siap."
Abizar menutup teleponnya. Ia bersandar di kursi sambil terus menatap ke arah kamar tidur Runa.
Toko Bunga Peony.
Apa toko bunga ini sungguh ada atau tidak?
Abizar menantikan kabar dari rekannya sambil merenung. Tapi kemudian ia bangkit menuju lemari es untuk mencari makanan. Di dalamnya ternyata ada s**u strawberrry kesukaan Runa yang sering ia belikan untuknya.
"Oh, stoknya sudah mau habis." Abizar menggumam.
Ia lalu memesan satu kotak s**u strawberry melalui sebuah aplikasi agar bisa dikirimkan ke apartemen Runa.
Kita tidak perlu mengantri lagi sekarang.
Ia mengambil satu dan meminumnya. Abizar juga mengambil satu wadah berisi potongan semangka yang sepertinya sudah kurang bagus karena lama dibiarkan.
Aku habiskan saja.
Abizar mengambil sekotak semangka tersebut dan memakannya. Perutnya keroncongan, tapi tidak ada makanan berat yang bisa mengisi perutnya. Akhirnya ia merebus telur hingga tiga butir dan memakan apa adanya.
Suasana apartemen Runa yang luas dan hangat terasa sepi dan dingin tanpa suara dan tawa kekasihnya itu. Abizar kembali melangkah ke arah kamar tidur dan memandang Runa dari ambang pintu.
Apa yang terjadi padamu? Andai saat itu aku langsung menarik tanganmu dan tidak membiarkanmu lari.. Lalu, ketika aku tanya soal buket itu, kenapa matamu berkaca kaca?
"AHH!" Abizar mengacak acak rambutnya. Ia kembali duduk di area dapur dan meminum sisa kopinya yang sudah dingin.
Drr.. Ddrrr..
Ponselnya bergetar. Ada telepon masuk dari Bondan.
Abizar : "Ya."
Bondan : "Bos, tidak ada Toko Bunga Peony! Alamat toko tidak ada, nomor yang tadi memang tidak aktif. Itu toko fiktif."
Abizar : "Toko online dengan nama sama apa ada?"
Bondan : "Offline, online, keduanya nihil."
Abizar : "Aku akan kirimkan foto foto buket bunga yang dikirimkan dari toko bunga tersebut. Cari tahu dari bunga yang dikirimkan. Siapa tahu ada bunga langka atau unik yang jadi ciri khas. Atau misal kemiripan desain buket dengan toko bunga lainnya. Pokoknya cari petunjuk."
Bondan : "Siap."
Abizar mengirimkan foto foto buket bunga dan kartu ucapan secara mendetail kepada Bondan. Ia pun kembali menunggu kabar berikutnya.
Runa belum makan. Aku coba buat bubur saja, daripada melamun.
Ia mengambil satu scoop beras dan mulai mencampurnya dengan air, kemudian memanaskannya sambil diaduk. Abizar terus mengaduk sambil melamun, hingga akhirnya bubur itu matang dan harum.
"Ah, harumnya. Masak apa?" Runa memeluknya dari belakang dan bersandar di punggungnya.
"Tidurmu sebentar sekali. Masih pusing tidak?" Abizar mematikan kompor dan memutar tubuhnya. "Aku membuat bubur."
Ia merangkul pinggang Runa dengan erat. Telunjuknya menyentuh rambut kekasihnya yang terjatuh menutupi matanya.
"Sebentar? Tapi rasanya lama," Runa bersandar di d**a Abizar.
Abizar mengusap punggung kekasihnya naik turun, "Kamu makan dulu. Coba bubur buatanku."
"Iya," Runa duduk di kursi dan menantikan Abizar menyajikan bubur itu di meja makan.
"Ini garam dan kecap. Aku belum memberikan bumbu apapun," Abizar tersenyum. "Ingat insiden bubur asin itu? Aku tidak mau mengulangnya."
Runa tertawa.
Ia teringat sekitar setahun lalu, Abizar membuatkannya bubur namun rasanya asin sekali. Seperti garam yang ditambahkan bubur. Akhirnya bubur itu menjadi sia sia, karena saking asinnya tidak ada yang bisa memakannya. Bahkan Abizar sendiri tidak sanggup menahan rasa asin itu.
"Aku sebagai chef gagal total," Abizar tertawa. "Belum lagi buburnya masih sedikit mentah. Aku belum paham takarannya."
Runa kembali tertawa.
"Tapi, sejak kejadian itu, aku belajar dari Chef Anin. Sepertinya hasil kali ini tidak mengecewakan," Abizar tersenyum. "Tapi aku tidak menambahkan bumbu apapun. Isi lemari es mu kosong."
"Iya, aku belum belanja," Runa mulai menyendok bubur buatan Abizar. "Mmm.. Ini legit sekali. Tanpa bumbu dan garam pun enak."
"Syukurlah. Aku akan siap sedia membuatkannya kalau kamu sakit," Abizar membelai pipi Runa. "Tapi, sebisa mungkin, jaga kesehatanmu."
"Kamu juga," Runa tersenyum.
"Habiskan," Abizar terpesona menatap senyum kekasihnya.
Ia terus diam menanti Runa menghabiskan bubur di mangkoknya. Tak lama, Abizar melihat kalau isi mangkok Runa tandas dan tidak bersisa.
"Mau tambah?" tanya Abizar.
"Kenyang. Untuk nanti malam sama," ucap Runa.
"Ok," Abizar mengangguk dan mencuci mangkuk bekasnya makan. Setelah selesai, ia membuatkan teh hangat untuk kekasihnya.
"Ini teh tawar kesukaanmu," Abizar menyimpan cangkir di hadapannya.
"Thank you. Andai kamu setiap hari begini," Runa tergelak. "Tapi... Membosankan juga kalau kita tiap hari diam di apartemen."
Abizar tergelak. Ia kemudian membuka mulutnya, "Runa, aku mau tanya.."
"Apa?" Runa menatap Abizar dengan serius.
"Aku menemukan buket bunga di tempat sampah di balkon. Siapa pengirimnya? Kenapa kamu membuangnya?" ucapnya.
Runa terdiam dan mencoba mengingat.
"Apa kamu tidak ingat?" Abizar dengan hati hati kembali bertanya.
"Aku lupa lupa ingat," Runa kemudian berdiri dan melangkah ke balkon. Ia membuka tempat sampahnya dan menatap bunga bunga itu, "Cantik sekali... Kenapa aku membuangnya?"
"Ya sudah, lupakan saja dulu," Abizar merangkulnya. "Nanti kalau ingat, kamu bisa cerita."
"Daru bilang, ingatan jangka pendekmu memang mungkin terganggu. Tapi setelah beberapa lama, bisa kembali lagi secara bertahap," Abizar mengelus rambut Runa.
"Iya," Runa menutup pintu balkon dan kembali duduk di kursi makan. "Oh ya, kamu mau menginap di sini?"
Abizar mengangguk, "Kalau kamu mengizinkan."
"Aku izinkan!" Runa menengadah dan mengecup bibir kekasihnya itu.
Abizar tertawa, "Aku tidur di kamar tamu."
"Tidak! Temani aku di kamar tidurku.." Runa tersenyum lebar.
"Ta-tapi.. Itu bisa gawat," Abizar menggaruk rambutnya.
Runa tergelak, "Kamu di sofa kamarku!"
"Ah.." Abizar mendesah kecewa.
"Kamu ingat terakhir kali? Kita ketiduran dan sesuatu hampir terjadi.." Runa tertawa. "Lebih baik kita berjarak. Tapi.. Aku tidak mau jauh darimu."
"Entah kenapa, kangen sekali rasanya. Seperti lama tidak ketemu," gumamnya.
Abizar mengatupkan bibirnya dan mengangguk.
"Oh ya, kenapa kamu bersikeras tinggal di apartemen? Tante Mitha memintamu tinggal di rumah bukan? Sejujurnya, aku juga merasa lebih tenang saat kamu di rumah utama, tidak di sini," tanya Abizar. "Setidaknya banyak orang di sana dan tidak sendirian."
Runa menarik nafas panjang dan tersenyum, "Aku... Mmm.. Memang melupakan banyak hal yang terjadi akhir akhir ini, tapi ada satu hal yang tidak aku lupa."
"Apa?" Abizar bertanya tanya.
"Bulan ini adalah anniversary kita yang ke sembilan tahun," Runa tersenyum lebar. "Aku ingat kalau kamu bilang akan meluangkan waktu untukku selama sembilan hari."
"Ini momen langka. Jadi aku ingin setidaknya seminggu di apartemen bersamamu. Meski, saat ini hanya tersisa satu hari lagi saja," Jelas Runa. "Anniversary kita, delapan hari lalu. Kemudian pernikahan kak Daru dan Hana tiga hari lalu. Aku di rumah sakit selama tiga hari itu sampai sekarang bukan? Jadi tersisa hari ini hingga besok."
"Ka-kamu cuti gara gara itu bukan? Tidak sekedar karena kejadian yang menimpaku?" Runa memastikan.
Abizar terdiam.
Aku lupa janji itu. Tiba tiba memorinya mengingat kalau delapan hari lalu seharusnya ia dan Runa anniversary dinner di Grande. A-aku melupakannya..
Ia menatap Runa, "Ma-maafkan aku."
Runa tiba tiba berkaca kaca.
Ia terduduk di sofa dan mulai menangis, "Ingatanku betul.. Ingatanku betul. Kamu.. Kamu tidak datang di Grande hari itu bukan?"
Abizar mengangguk.
"Oh Bi.. Ka-kamu tega sekali.." Runa terisak.
Kekasihnya itu lalu berlari mengambil ponselnya dan mengecek isinya. Runa membaca dengan serius sambil sesekali menghapus air matanya.
"Ka-kamu tidak membalas pesanku berhari hari. Ke-kenapa?" Runa bicara terbata bata.
Abizar berlutut di hadapan Runa, "Hari itu, di pernikahan Daru dan Hana, kita membahasnya. Semua karena kasus yang sedang aku kerjakan."
"Ta-tapi.. Ke-kenapa kamu tidak membalas pesanku sekalipun?" Runa kembali berurai air mata.
Ia menggeser ponselnya hingga jari telunjuknya berhenti di satu titik.
"Terakhir kali kamu mengabariku sepuluh hari lalu," gumam Runa.
Abizar memperhatikan kalau Runa meremas ponselnya dengan kuat. Kepalanya menunduk. Wajah cantiknya terlihat kecewa.
"A-aku selalu berpikir, meski kamu sibuk, akan ada waktu untukku. Setidaknya memprioritaskan untuk saling bertukar pesan," Runa menghapus air matamu.
"A-apa aku harus seperti ini supaya kamu kembali memperhatikanku?" Runa menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
"Ti-tidak. Jangan," Abizar memeluk kekasihnya sambil berlutut, sedangkan Runa masih saja duduk di sofa.
"Maafkan aku," Abizar menyentuh kedua tangan Runa.