KETIKA CINTA BICARA

1201 Words
"Tidak biasanya Runa makan malam berdua dengan laki laki," Daru mengerutkan keningnya. "Dia bahkan tidak cerita kepadamu?" Ia menatap istrinya. Hana menggeleng. Kenapa Runa merahasiakannya ya? "Atau.. Bisa saja pertemuan itu tidak disengaja. Iya tidak?" Hana meminta persetujuan Daru. "Iya bisa juga," Daru mengangguk. "Tapi, misal Hira menghampirinya dan menyapanya karena tidak sengaja melihatnya, apa juga yang Runa lakukan di restoran itu sendirian?" Hana menarik nafas panjang. Runa, kamu kenapa? "Menurutku, kita harus menemui Hiranya Garjita. Kita tanya langsung saja," ucap Darma. "Mungkin bukan KITA, tapi AKU. Bagaimana menurutmu?" Darma menatap Daru. "Aku setuju," Daru mengangguk. "Sepertinya aku memiliki nomor ponselnya," Darma membuka buka kontaknya. "Ah ya, ada." Ia pun menghubungi nomor tersebut. Namun tidak ada yang mengangkat. "Hira ada dalam naungan agency yang menjadi subsidiary Hanenda Corporation, aku akan coba menghubungi CEO nya," ucap Darma. Ia kembali mengontak seseorang, yaitu Prawira Saban, CEO dari HND Agency. Wira : "Sir." Darma : "Saya butuh informasi mengenai Hiranya Garjita. Saya coba menghubunginya, tapi tidak ada respon." Wira : "Hira menghilang. Saya juga sudah coba menghubunginya tapi nihil. Dia ada jadwal besok. Itu sebabnya kita semua bergerak mencarinya." Wira : "Setelah ada kabar, saya segera update." Darma : "Baik." Telepon pun tertutup. "Bagaimana?" Daru penasaran. "Iya, bagaimana?" Hana sama sama ingin tahu. "Hira menghilang..." Darma mengerutkan keningnya. "Apa.. Apa dia tersangka kita?" "Tapi.. Berani sekali.." ia tidak melanjutkan ucapannya. "Maksudku, dia.. Berani sekali melukai Runa kalau memang iya." "Apa juga alasannya?" Darma menggumam. Daru mengetuk ngetukkan jarinya di meja, "Aku pikir, kita panggil tim keamanan yang mengawasi Runa." "Mereka pasti tahu seberapa sering dan kapan saja Runa menemui Hira," ucapnya. "Tim pasti tidak mempermasalahkan itu karena memang Runa mengenal Hira. Jadi keberadaannya tidak mencurigakan." "Aku setuju," Darma mengangguk. Daru mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Dimas, ketua tim keamanannya Runa. Dimas : "Pak." Daru : "Kita harus bicara." Dimas : "Saya ke tempat bapak." Daru : "Saya tunggu." "Dimas akan ke sini. Siapa tahu saja ada petunjuk," ucap Daru. "Satu satunya yang mungkin bisa kita tanya adalah Runa, tapi... Kondisinya tidak memungkinkan." "Besok atau lusa, aku akan coba mengajaknya bicara. Siapa tahu dia bisa lebih terbuka kepadaku," Hana menatap Daru. "Iya, tapi jangan dipaksakan," Daru mengingatkan. Hana hanya mengangguk. *** Suara kecupan mengisi kesunyian apartemen besar itu. Bibir mereka terus menerus beradu. Runa dan Abizar melepas rindu seperti bertahun tahun tidak berjumpa. Kedua tangan Abizar yang kekar merengkuh tubuh Runa hingga tidak berjarak. Tubuh mereka melekat dengan erat. Sesekali hidung mereka bersinggungan. Runa mengelus bagian belakang kepala Abizar berulang kali. Begitupun Abizar yang tangannya bergerak naik turun mengusap punggung kekasihnya. Hingga akhirnya ciuman itu terlepas. "Kangen," Runa tersenyum lebar. Abizar menatap kekasihnya dengan penuh cinta, "Apalagi aku." Ia merengkuh Runa dengan hati hati, "Jangan pergi dariku." "Tidak," Runa merapikan rambut Abizar yang berantakan. "Rambutmu ini tidak pernah rapi. Untung lurus. Setidaknya tidak terlalu acak acakan." "Pomade habis ya sudahlah apa adanya," Abizar tergelak. Runa tertawa, "Beli Bi.. Simpan stok satu." Abizar menatap bola basket, medali kemenangan dan satu kaleng teh yang terpajang di lemari dekat tempat tidur Runa. Ia tiba tiba tersenyum. "Kenapa?" Runa menoleh ke belakang. "Kaleng teh itu.. Sudah berapa tahun kamu simpan?" Abizar membelai rambutnya. Runa kembali tersenyum, "Kenangan. Kamu.. Sebaik itu padaku. Mengerti kesukaanku." Ingatan Runa melayang pada kejadian sembilan tahun lalu ketika Abizar berulang kali berhenti di mini market hanya untuk membelikannya sekaleng teh tawar kesukaannya. "Aku sangat terkesan dengan perlakuanmu," Runa menghela nafas. "Hal yang membuat rasa sayangku tidak terbendung." "Kamu ingat medali itu?" tanya Runa. "Iya," Abizar tersenyum. "Selama pertandingan, aku hanya mengingatmu. Aku ingin menang untukmu." "Tidak heran, malam malam kamu datang ke rumah," Runa tergelak, "Aku ingat betapa kaget aku saat itu. Kejutan yang menyenangkan." "Aku tidak sabar ingin ketemu kamu," Abizar menggumam. "Si sayangku.." Runa mencubit hidung Abizar. "Kamu juga," Abizar meletakkan kepalanya di d**a Runa. "Runa.. Apapun yang terjadi, maafkan aku.." Abizar kembali bicara. "Kamu minta maaf terus," Runa menjewer telinga kekasihnya. "Sudah hentikan." "Aku merasa tidak enak.." Abizar menarik nafas panjang. Matanya menerawang membayangkan banyak hal. Tubuh Runa yang tergeletak tidak sadarkan diri telah berhasil membuatnya ketakutan. Takut sekali rasanya kehilangan kekasihnya ini. Apa yang akan terjadi kalau aku tidak segera menemukannya? Kalau papa tidak menolongnya? Aku.. Ah.. Pemikiran yang menyeramkan. "Oh ya Bi, ponsel kemana ya?" Runa bertanya tanya. "Ada di aku. Dan mati karena habis baterai. Aku charge tadi," jawab Abizar. "Waktu sebelum kejadian, kamu menangkap buket bunga dan menitipkan tas tanganmu. Setelahnya, lalu terjadilah.. Jadi selama di rumah sakit, ponselmu ada di tanganku," Abizar menjelaskan. "Oh.. Pantas saja," Runa mengangguk. "Apa bisa bantu ambil? Siapa tahu sudah penuh," Runa meminta tolong. Abizar bangkit dari tempat tidur mengambilkan ponsel milik kekasihnya. Ia memperhatikan kalau tanda baterai telah mencapai seratus persen. "Sudah penuh," Abizar menyerahkannya pada Runa. "Berapa hari pekerjaan terlewatkan," Runa geleng geleng kepala. Ia mulai membuka call history dan mengecek satu persatu. Setelahnya Runa membuka aplikasi pesan. Ia mengerutkan keningnya ketika membaca pesan dari Hira. Maaf? Kenapa Hira meminta maaf? Salah apa? Runa mencoba scroll pesan sebelumnya tapi tidak ada. Aku clear chat? Tidak pernah aku melakukannya.. Kenapa? Runa bingung sendiri tapi kemudian menyimpan ponselnya karena rasa pusing yang tiba tiba menderanya. "Kenapa?" Abizar memperhatikan reaksi kekasihnya. "Aku mendadak pusing," Runa memeluk guling. "Jangan dipaksakan," Abizar menarik guling di pelukan Runa dan menggantikan posisi guling tersebut. "Peluk aku." "Istirahat saja dan tidur. Aku akan berjaga di sini," Abizar mengecup kening Runa. "Iya," Runa menggumam dan mencoba tidur. Tak lama suara dengkuran halus keluar dari bibir mungil Runa. Abizar tak berkedip menatap kekasihnya itu. Cantiknya Runa ku.. Abizar hanya terdiam dan tak ingin bergerak sedikit pun. Memperhatikan Runa seperti ini membuatnya merasa damai. Aku tahu Runa aman di sisiku. Matanya tak sengaja melihat belahan d**a Runa yang sedikit tersingkap. Abizar langsung menelan air liurnya sendiri. Tahan Abizar! Kamu sudah sejauh ini bertahan dengan kekasihmu. Kamu pasti bisa! Setelah kasus selesai, kamu akan melamarnya dan bisa melakukan apapun yang kalian mau. Ia menunduk dan mengecup leher dan tulang selangka kekasihnya. "Aku sayang kamu.." Abizar menggumam. Runa sedikit menggeliat hingga pelukannya terlepas. Abizar bangkit dari tempat tidur dan menutupi tubuh Runa dengan selimut. Ia duduk di sisi tempat tidur sambil memeriksa ponselnya. Ada beberapa pesan masuk yang mempertanyakan keberadaannya. Abizar mengabaikan semuanya. Ia hanya membalas satu pesan dari atasannya, Ardiono Barnawa. Ardi : Hari ini kamu bisa cuti. Besok kita ketemu untuk progress report. Abizar : Baik pak. Abizar berdiri dan berjalan ke arah dapur untuk membuat kopi. Dengan sengaja ia membiarkan pintu kamar Runa terbuka. Setelahnya, Abizar duduk di kursi makan sambil membuka laptopnya. Posisinya menghadap ke arah kamar tidur sehingga bisa mengawasi kekasihnya. Ia mulai membaca email email masuk dan membalasnya. Setelah beberapa saat, Abizar bangkit dari kursi dan memperhatikan kalau Runa masih tidur. Ia berjalan ke arah kamar mandi yang ada di dekat dapur. Namun, langkahnya terhenti saat menoleh ke arah balkon. Ada tempat sampah besar yang tidak tertutup rapat Ia mendekat menuju tempat sampah tersebut dan melihat ada buket buket bunga di dalamnya. A-apa ini? Kenapa Runa membuangnya? Dan yang lebih penting lagi, siapa pengirimnya? Secara perlahan, Abizar mengambil satu kartu yang masih melekat di buket bunga tersebut. Ia pun membacanya dengan serius. It was love at first sight, at last sight, at ever and ever sight. - X
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD