Tak Rela Didekati Playboy

1047 Words
Denting peralatan masak saling beradu, menghasilkan bunyi khas area dapur, mengusik siapapun penghuni yang ada di sekitar area tersebut. Aroma rempah sup ayam menyeruak kental, memenuhi sudut Penthouse milik Alexander Carson. Memasak rupanya sudah menjadi ritual pagi hari bagi Defnie, wanita bertubuh ramping berusia dua puluh enam tahun, si pemilik lesung di pipi kanan. Beruntung, Xander sangat supportive dengan memberi izin akses memasak di area dapur untuk mantan adik iparnya itu. Disamping menari, keahlian Defnie lainnya adalah menyajikan hidangan penuh cita rasa. Bahkan mendiang suami nyaris tidak pernah absen menemani Defnie setiap kali menyiapkan sarapan sebelum berangkat kerja. Evan kerap berceloteh riang untuk sekadar memberi semangat kepada istrinya yang berkutat dengan alat-alat dapur walaupun terkadang mendapat omelan. "Kau tau, Sayang. Aku tidak akan pernah makan di luar lagi karena aku sudah memiliki koki handal dan cantik sepertimu, Def." "Sudahi menggombalnya, Ev. Nanti sarapanmu dingin." "Ugh. Aku tidak menggombal, Def. Itu adalah fakta." "Aku tau, Sayang. Tapi ini sudah ke ribuan kalinya kau ucapkan semenjak kita menikah." "Kau tidak suka?" "Aku suka. Tapi aku bisa mati pelan-pelan, meledak karena limpahan pujianmu." Bayangan semu percakapan masa lalu tiba-tiba hadir menyeruak, mengalihkan atensi Defnie yang sedang memasak. Kebahagiaan menyelimuti da*a Defnie walaupun hanya angannya hanya sebatas bayangan semu. Tawa renyah khas Evan tak pernah absen menemani kegiatan masak Defnie di dapur semasa menjalani hidup berdua. Sekalipun sosoknya sudah tiada, melodi suara khas Evan menetap abadi di indera pendengaran wanita berparas cantik itu. "Ugh. Ini tidak adil!" Seorang pria tak dikenal tiba-tiba melayangkan celetukan protes kepada Defnie yang sedang termangu sembari memegang wajan dan tersenyum simpul. Celotehan pria misterius berpenampilan bak executive muda itu lantas membuat Defnie terkesiap seraya mengerjapkan matanya dua kali. "Maksudmu ... aku?" tanya Defnie mengkonfirmasi, menunjuk ke arah hidung bangirnya. "Iya. Kau sungguh tidak adil. Kau hanya perlu bercermin jika ingin melihat bidadari karena kau adalah bidadari itu sendiri," timpal sang pria yang nyatanya melayangkan gombalan kepada Defnie. Entah dari mana arah datangnya, sembari mengulas senyum, pria itu kini melayangkan tatapan kagum ke arah Defnie. Pipi Defnie sontak mengeluarkan rona merah jambu tak tahu harus menanggapi apa. BUGH! "Sudah masuk tanpa diundang, sekarang kau malah merayu adik iparku." Xander secara tak terduga memukul bahu pria itu dengan entengnya. "Aw. Kau jahat, Xan. Aku hanya memujinya. Apa yang salah?" Sang pria protes sembari mengusap kasar bahu yang menjadi korban. "Semua orang tau bahwa yang kau katakan tadi itu rayuan buaya pencari mangsa, Vic." Xander merespon dalih pria bernama lengkap Vico Farente dengan memutar bola mata malas. "Tunggu! Dia ... adik ipar yang selalu kau ceritakan itu?" tanya Vico terperanjat. Bukan merespon dengan kata, Xander malah sigap menutup mulut Vico. Sementara itu, Defnie yang terlanjur mendengar, menautkan alis lalu menatap serius kearah Xander seolah menanti penjelasan. "Apa kau sering membicarakanku, Kak?" tanya Defnie menyelidik. "Ah, itu. Tentu saja. Vico adalah sahabatku dan aku pun membicarakan Evan karena kalian berdua adalah adik-adikku, bukan?" kelit Xander berusaha menjelaskan meskipun sedikit gugup. "Apa yang kau—" "Oh iya, Def. Aku harus berdiskusi pekerjaan penting dengan orang ini. Silahkan teruskan kegiatanmu, okey." Saat akan bertanya, Xander memotong kalimat Defnie sembari masih membekap Vico. Tanpa membuang waktu lagi, ia pun bergegas menggiring tubuh Vico ke ruang kerjanya. "Aneh ... mengapa Kak Xander menggosipkanku juga? Padahal kami jarang bertemu," gumam Defnie kebingungan. Saat mencoba mendalami pikiran, secara rak terduga teko ceret di atas tungku kompor listrik memekik sehingga mengalikan perhatiannya. Dalam sekejap, Defnie pun terlupa dan kembali melanjutkan kegiatan memasak. Beberapa saat kemudian. "Cepat katakan apa yang sebenarnya terjadi di sini, Xan?" desak Vico sesaat setelah mengunci pintu ruang kerja Xander. "Apa benar Kau mengizinkan adik iparmu tinggal disini dan kalian hanya tinggal berdua?" Xander mengangguk pasrah tanpa pembelaaan. Berbohong sekalipun percuma, Vico sudah hapal betul luar dan dalam seorang Xander. "Woah. kau sudah gila, Xan!" rutuk Vico menggigit bibir bawahnya gemas. "Shuhh! Defnie bisa mendengarmu nanti." Xander menempelkan telunjuk pada bibirnya. "Iya. Tapi mengapa kau membawanya tinggal disini?" tanya Vico yang kali ini menekan suaranya. "Ini tidak baik, Xan. Aku tau perasaanmu padanya. Dan juga kau sedang dalam proses—" "Dia di usir orang tuaku, Vic. Di hari dimana Evan baru saja dimasukkan ke dalam pusara. Apa jika jadi aku, kau akan membiarkannya terlunta di jalanan?" tutur Xander menyela ucapan Vico. "What! Serius?" Netra bulat Vico terbelalak tak percaya. Xander perlahan mulai menceritakan kronologi kejadian yang menimpa mantan adik iparnya kepada Vico. Sementara sahabatnya hanya bergeming menjadi pendengar yang baik seraya terperangah tak percaya imbas nasib begitu buruk menimpa wanita secantik Defnie. "Tapi, Xan. Pertanyaannya, mengapa harus di Penthouse yang ini? Bukankah kau punya banyak properti?" tanya Vico lagi yang kali ini mengerenyitkan dahi keheranan. "Uhm, itu .... aku melakukannya secara spontan. Aku 'kan tinggal disini. Jadi aku hanya mengingat tempat ini," kelitnya lalu membuang muka. Vico masih menelisik gelagat Xander seolah kurang puas dengan jawaban barusan. "Mengapa? Kau tidak percaya?" Xander merajuk sembari membuang pandangan. Namun, sorot Vico tetap mengisyaratkan tak puas. "Cih. Aku tau batasan, Vic. Aku tidak akan melakukakan hal bodoh. Lagipula aku baru ingin membicarakan masa depan Defnie. Tapi seekor buaya darat tiba-tiba masuk dan memujinya di dapur." "Hahaha. Buaya ini adalah sahabat sejatimu, Xan. Kau tidak bisa mengelaknya," sombong Vico mengusap kilat hidungnya dengan bangga. Xander dan Vico merupakan teman semasa mengenyam kuliah bisnis di luar negeri. Ia merupakan anak salah satu partner bisnis Carson Enterprise. Vico Farente sama-sama mempunyai tanggung jawab seperti Xander yaitu meneruskan dinasti Perusahaan keluarga Farente yakni Farente Coorporation. Meski begitu, Vico mempunyai kepribadian bertolak belakang dengan Xander. Sosoknya terkenal sebagai crazy rich playboy dan menjalani hidup terlalu santai. Namun sebenarnya Vico memiliki IQ cerdas. Semua pekerjaan bisa diselesaikan dengan mudah. "Baiklah. Kau harus pegang kata-katamu untuk tidak melakukan hal bodoh, Xan." "Hmm," jawab Xander singkat. Semoga saja, Vic. Xander malah membatin tak yakin dalam hati. "Ekhem. Kalau begitu,.aku yang sekarang berada di zona bebas mendekati janda mendiang adikmu, bukan?" ledek Vico "Jangan macam-macam, Vic. Defnie bukan mangsamu," tegas Xander bernada tak suka. "Mengapa? Apa kau tidak bahagia melihat Defnie bahagia? Aku bisa membahagiakan dia, Xan." "Ten-tentu saja. Tapi tidak sekarang dan tidak denganmu." Xander tetap pada pendirianya seakan tak suka pria lain memiliki niat mendekati Defnie. Aku hanya mengujimu saja, Xan. Tapi melihat reaksimu aku tidak yakin kau kau bisa menjaga sikap di hadapan Defnie. Semoga saja firasatku tidak benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD