Cinta Yang Keduluan

1669 Words
TING ... TUNG! Bunyi khas elevator menyeruak seiring dua pintu material pintu bajanya terbuka sempurna, mengantarkan penghuni di dalamnya menuju sebuah ruangan luas dengan tatanan elegan. "Selamat datang di apartment sederhana milikku." Xander melayangkan sambutan untuk Defnie. "Dasar kaum crazy rich. Ini bukan sebuah apartment, Kak. Orang kaya menyebut tempat ini Penthouse," celetuk Defnie sarkas seraya melangkah kaki keluar dari elevator pribadi yang terhubung langsung dengan Penthouse mantan kakak iparnya, Xander. "Ergh! Aku heran kau masih bisa sesantai itu padahal baru saja diusir," protes Xander seraya menggeret dua koper besar milik Defnie. Wanita yang baru saja resmi menjanda itu hanya terkekeh mendengar keluhan Xander. Lebih lanjut Defnie mengatakan bahwa dirinya tidak mempermasalahkan nasib jika harus kembali ke tempat asal sebagai orang biasa. Defnie justru merasa heran akan perlakukan Xander yang malah menampung dirinya yang terusir dari Mansion. Ketika Defnie hendak melenggang pergi dari pelataran Mansion setelah diusir, mobil Xander datang di saat yang tepat. Meskipun tawarannya sempat ditolak mentah-mentah, Xander berhasil membujuk adik iparnya itu dengan segala cara. "Katakan padaku, Kak. Apa motifmu menampungku di saat semua keluarga Carson menunjukkan sifat aslinya yaitu membenciku?" Atmosfer mendadak menegang saat pertanyaan tegas terkuar dari belah ranum tipis Defnie. Raut sang puan turut menatap sengit tepat ke arah netra Xander seakan menantang. "Woah, jadi ini bentuk terima kasihmu karena telah membantu memberimu tumpangan." Xander membalas sarkas. "Kau tau betul aku tidak bermaksud seperti itu, Kak. Orang tua kalian lah yang mengatakan dengan jelas bahwa seluruh keluarga Carson hanya pura-pura menerimaku demi Evan." Xander yang cukup tersulut emosi mulai melonggarkan dasi yang masih melingkar di leher. Tubuh kekarnya melesat tanpa prediksi mendekati sosok Defnie yang berdiri tepat dekat jendela raksasa Penthouse berlantai dua itu. "Katakan padaku, Def. Apa menurutmu sedari awal sikapku hanya sandiwara padamu?" tanya Xander membalas sorot tajam tepat ke arah netra Defnie sembari mendesak tubuh mantan adik iparnya mundur hingga menyentuh jendela. Suasana pun menghening. Tubuh Defnie sontak membeku imbas jarak wajah Xander yang terlampau dekat. Ditambah, aroma khas parfum mewah Xander sukses membuat candu indera penciuman Defnie. Jika dipikir ulang, memang hanya Xander yang paling mendukung hubungan asmara Evan dengan Defnie sejak awal. Bagi pasangan itu, Xander merupakan sosok kakak hangat yang tulus menyayangi adik-adiknya. "Tidak, Kak. Kau sangat baik padaku dan Evan. Maaf jika aku meragukanmu. Aku hanya—" "Aku mengerti yang kau rasakan, Def. Yang perlu kau ketahui bahwa aku tulus mendukung Evan dengan siapapun ia menjatuhkan pilihan termasuk memilihmu." Hembusan napas beraroma mint milik Xander semakin membuat Defnie kehilangan konsentrasi dan akal sehat. Kedua manik cokelat yang menatapnya bak sukses menghipnotis Defnie. Tak ingin terserap magnet persona lebih jauh, puan itu lantas memutuskan untuk melerai tatapan. "Uhm, baiklah kalau begitu aku izin pamit ke kamarku dulu." Diikuti gelagat canggung, Defnie segera bergegas dari hadapan Xander menuju lantai atas dimana kamarnya berada. "Sial. Kau tidak seharusnya melakukan hal seperti barusan. Defnie masih adik iparmu, Xan." Xander merutuki diri sendiri atas sikap lancangnya mendekati bahkan nyaris merengkuh mantan adik ipar. Tidak mungkin aku membencimu juga, Def sementara perasaanku masih sama seperti saat pertama bertemu. Xander membatin resah kali ini seraya menatap sendu ke arah luar jendela yang memampang pemandangan dari lantai dua puluh. Angannya membawa kembali pada ingatan momen pertemuan pertamanya dengan Defnie tiga tahun yang lalu. Pada suatu malam, Evan mengajak Xander yang masih berkutat dengan laptop di ruang kerja untuk melepaskan stres dengan minum ke sebuah Bar. Awalnya, Xander menolak karena mengunjungi Bar bukanlah kegemarannya. Ia lebih suka lembur di kantor menikmati pekerjaan sebagai wakil CEO perusahaan multi Nasional turun-temurun bernama Carson Enterprise. Namun, tidak dengan sang adik. Evan yang bersifat kebalikan dengan Xander yakni periang dan berjiwa bebas kerap mengajak kakaknya untuk melepas penat dari rutinitas pekerjaan termasuk salah satunya mengunjungi Bar favorit Evan. "Santai sedikit, Kak. Lepaskan topeng wakil CEO dan minumlah bersama adikmu yang lemah ini. Hahaha," ajak Evan santai sesaat setelah memesan minuman di depan meja bar sebuah Club malam bernama Moon Club. "Tolong jangan bergurau tentang penyakitmu, Nath. Itu bukan bahan lelucon," protes Xander terdengar kesal. Sikap adiknya yang terlewat cuek sering kali membuat Xander khawatir. Pria itu sungguh menyayangi adik bungsu sekaligus saudara kandung satu-satunya. Demi kebahagian Evan, Xander bahkan berjanji akan melakukan apapun. "Baik, baik. Aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya. Sekarang mari kita bersulang," seru Evan mengajak Xander mengadukan gelas di udara. Tak lama setelah bersulang, Xander izin beranjak ke toilet. "Ergh! Aku benci tempat ini. Di sini berisik sekali," gerutu Xander saat menyusuri lorong redup menuju toilet. Hanya untaian lampu kelap kelip yang menghiasi sepanjang lorong, membuat area tersebut nyaris gelap. BUK! Tanpa terduga, seseorang menabrak tubuh Xander dari arah berlawanan imbas remangnya cahaya lampu. Meski begitu, kata maaf spontan terucap dari suara yang ternyata milik seorang gadis. "Lain jika kalau jalan lihat-lihat!" balas Xander tetap merasa kesal. "Apa?! Aku sudah meminta maaf, bukan?" Rupa sang gadis yang tak terlihat jelas karena penerangan minim kini turut balik membentak Xander. Saat situasi mulai sengit, tiba-tiba segerombolan pemuda-pemudi berjalan cepat, menyeruak sembarang di lorong sempit menuju toilet. insting Xander yang peka segera merengkuh tubuh gadis yang sedang berseteru dengannya itu. Xander membiarkan tubuhnya terdesak gerombolan untuk melindungi sosok gadis asing dalam dekap. Sempat mengeluarkan protes kepada segerombolan orang yang abai tadi. Namun, sayang. Pekikan Xander sama sekali tak didengar. "Simpan pekikkanmu, Tuan. Kau hanya membuang energi karena mereka semua sedang mabuk," celetuk sang gadis. "Ah. Pantas saja." Kekehan renyah lantas terkuar dari belah ranum sang gadis. Bersamaan itu, sorotan cahaya lampu dari belakang Xander sukses menampilkan rupa gadis yang masih didekapnya. Entah mengapa, jantung Xander mendadak berdetak lebih kencang, dunia di sekitarnya seakan turut melambat saat kedua mata menangkap presensi rupa kecantikan natural yang sedang terkekeh kecil di hadapannya. "Kau bisa melepaskanku sekarang, Tuan." Namun, lamunan Xander dipaksa buyar saat sang gadis memintanya melepaskan tangan yang melingkar di tubuh gadis itu. Dengan gelagat canggung, kedua tangan Xander mulai terkulai, melepas dekap. "Maaf. Tadi itu reflek," dalih Xander kentara gugup. "Hey, tak apa. Aku justru sangat berterima kasih. kau sangat ... sigap," balas sang gadis yang tak kalah gugup. Untuk beberapa saat, keduanya sana-sama bergelagat canggung, selayaknya pasangan yang baru pertama kali berkencan. Namun, tak ingin berlama-dalam dalam situasi seperti ini. Gadis dengan rambut panjang terurai sebatas tulang belikat itu memutuskan untuk pamit dengan terburu-buru, meninggalkan jejak aroma segar mawar yang berasal parfum. Padahal, Xander baru saja ingin berkenalan. Sayangnya, ekpektasi tak sampai. Dalam hati, pria itu berharap akan kembali melihat sang gadis setelah dirinya menuntaskan keperluan di toilet. Beberapa saat kemudian. Xander kembali ke tempat dimana Evan berada. Tak seperti sebelumnya yang aktif bercakap bahkan meliukan tubuh secara bebas, Evan kini tampak bergeming, tak beranjak dari tempat duduk Bar meski musik beat menguar cukup kencang. Kedua atmanya seakan sedang fokus menetap pada sesuatu. "Kemana adikku yang cerewet tadi?" ledek Xander bermaksud membuyarkan lamunan. "Adikmu sedang disihir oleh bidadari cantik yang sedang menari di sana," jawab Evan dengan tampang bodoh tanpa berpaling. Awalnya Xander mengira sang adik sedang bergurau. Gelengan kepala tak habis pikir pun Xander layangkan seraya meneguk minuman miliknya. "Kak." "Hmm?" "Sepertinya aku sudah menemukan belahan jiwaku. Aku ... jatuh cinta pada pandangan pertama," ucap Evan secara tiba-tiba, akan tetapi terdengar bersungguh-sungguh. "Ch. Jangan mengada-ngada, Ev. Lebih baik kita pulang karena kau lebih mirip seperti orang mabuk daripada sedang jatuh cinta." Xander tetap menganggap adiknya sedang meracau imbas alkohol. "Tidak, Kak. Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin menghabiskan waktuku yang tersisa dengan gadis itu." Xander sejenak terdiam. Ia tahu betul kapan adiknya bergurau dan kapan serius. Yang ia dengar barusan adalah ciri khas dari kesungguhan Evan. Dengan perlahan, Xander mengikuti kemana arah Evan memandang karena penasaran. Dalam sepersekian detik, kedua mata Xander membulat sempurna. Gadis yang belum lama ia temui di lorong toilet tadi kini sedang menari secara solo di atas panggung kecil Club Malam yang mereka datangi saat ini. Bukan tarian seronok melainkan liukan indah dengan menampilkan lekuk ramping yang bergerak seirama musik beat, membuat seluruh mata yang melihat memancar kagum padanya termasuk Xander. Namun, hati pria itu kembali bergejolak kala ia mengalihkan tatapan kembali ke arah sang adik. Xander lantas menghela napas resah karena yakin bahwa saat ini Evan benar-benar sedang jatuh cinta pada gadis incarannya. Sial! Sepertinya aku harus mengalah untuk yang satu ini. Benar saja. Tak lama setelah menetapkan pilihan, Evan mengejar secara ugal-ugalan gadis penari Club bernama lengkap Defnie Rose. Usaha Evan lalu membuahkan hasil yakni membawa Defnie hingga ke pelaminan. Meski tak jarang semburat lara terukir jelas kala melihat Defnie hidup bahagia bersama adiknya. Xander perlahan melapangkan hati dan memutuskan menjadi supporter utama bagi kedua adiknya itu. *** Mansion Carson. "Kau lama sekali. Cepat bacakan berkas mendiang putraku," protes Laura kepada seorang pria paruh baya yang baru saja datang tergesa-gesa ke ruangan kerjanya. "Maaf, Nyonya. Jalanan macet," kilah sosok bernama Crish Meyer seraya mengapit tas kota di tangan. Satu tumpuk berkas lantas segera di keluarkan dari tas tersebut. "Cepatlah sedikit, aku sudah ada janji dengan grup sosialita. Bisa malu aku jika terlambat." Laura semakin mendesak dengan nada bicara yang mulai ditinggikan. Crish selaku pengacara senior keluarga konglomerat Carson pun mulai membacakan surat wasiat peninggalan Evan yang rupanya sudah disiapkan jauh sebelum putra kandung Laura meninggal. Sedikit penjelasan mengenai saham Perusahaan Multinasional milik keluarga Carson. Keempat anggota keluarga sama-sama berkedudukan sebagai pemegang saham. Hanya saja, porsi saham mereka berbeda-beda. Kenan selak kepala keluarga adalah pemegang saham terbesar yakni 40 persen sedangkan sang istri, Laura memiliki jatah saham 20 persen. Sisa 60 persen saham dibagi merata pada kedua putra yaitu Xander sebagai anak pertama dan Evander si bungsu yang memiliki masing-masing jatah saham 30 persen. Semua sudah diatur oleh Tetua yang merupakan kakek Evan yang tak lain adalah ayah Laura. "Maka dengan ini, secara sadar dan sukarela aku memberikan semua harta dan bagian saham Perusahan Carson Enterprise kepada pewaris tunggal istri sah, Defnie Rose." "Tidak ... ini tidak mungkin! Kau pasti keliru, Crish!" cekal Laura dengan nada yang terbata-bata. "Seb-bentar Nyonya, masih ada kelanjutannya." Crish menyela Maria dengan maksud menuntaskan kutipan wasiat mendiang Evan. "Dan jika Nonya Defnie menolak, maka seluruh harta akan otomatis disumbangkan kepada yayasan kanker terbesar," tutup sang pengacara. "TIDAKKKK!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD