Kegiatan Panas Sore🫦

1146 Words
Diiringi dengan instrumental khas pengiring tarian balet, tubuh Defnie mulai melakukan gerakan gemulai tarian favoritnya di dekat jendela raksasa yang memampang pemandangan kota, di ruang tengah Penthouse. Memanfaatkan kediaman yang sedang tak penghuni saat ini, Defnie menari dengan jiwa bebas bahkan tanpa memperhatikan apapun termasuk keselamatan kandungannya. Bagi siapapun yang melihat tarian Defnie saat ini, pasti akan memuji setiap gerakan tubuh yang meliuk indah mengikuti ritme instrumental. Namun, mereka salah. Yang sebenarnya terjadi adalah batin Defnie sedang berkecamuk. Perangai kuat dan periang yang melekat padanya kini seolah menghilang berganti ketakutan dan juga gamang hebat. Defnie merasa semesta sedang tidak ramah padanya. Bagaimana bisa semua kesialan menimpanya hampir di waktu bersamaan. Suami yang pergi untuk selamanya, mertua yang mengusirnya tanpa aba-aba, dan juga kini ia harus menanggung kehamilan tanpa Evander. Rasanya, ia lebih baik menyusul mendiang suami yang telah lebih dulu meninggalkan dunia fana. Bulir air mata mulai luruh di atas wajah cantik yang menunjukkan ekpresi datar, tetapi penuh kepedihan dalam hati. "Apa yang kau lakukan, Def?" seru Xander yang baru saja tiba di dalam Penthouse, keningnya mengerut keheeranan melihat aksi Defnie menari. Dengan cepat Defnie mengusak air mata di pipi lalu berbalik badan menghadap Xander tanpa menghentikan tarian. "Aku sedang menari, Kak," balas Defnie datar sementara firasat Xander mulai khawatir. "Kau sudah pulang? Padahal ini masih siang?" lanjut Defnie masih melakukan tarian lincah tanpa melihat lawan bicara. "Hentikan, Def. Kakimu bisa terkilir jika terlalu energik." Melihat gerakan Defnie yang terlalu memaksakan, Xander akui cukup ketakutan. Pria itu segera meminta Defnie untuk berhenti. Namun, Defnie sama sekali tak mengindahkan peringatan Xander. Wanita itu terus menari dan menari serupa orang yang sedang frustrasi. GREB! Di luar dugaan, Xander sukses meraih tubuh Defnie ke dalam dekap. Mata keduanya pun bertemu dan saling tatap intens dari jarak beberapa inci saja. "Katakan padaku apa yang mengganggumu, Deg?" tanya Xander dengan warna suara bass yang lembut didengar. Ia yakin sesuatu sedang menggangu mantan adik iparnya itu. "Tidak ada. Sudah kubilang aku hanya menari," kilah Defnie membuang pandangan, menggeliatkan tubuh mengisyaratkan minta dilepaskan. "Cih! Sikapmu berkata sebaliknya." Xander berdecih tak percaya. "Kau sedang hamil, Def. Apa kau sadar tarian yang kau lakukan bisa membahayakan janin!" "Darimana kau tau? Apa kau memaksa dokter Shin memberitahukannya padamu?" tuduh Anna tak suka. "Jangan mengalihkan topik, Def." "Lalu bagaimana dengan aku, Kak!?" sentak Defnie mulai memuntahkan amarah. "Aku harus menanggung semua beban tanpa Evan." Air mata yang mati-matian ditahan, kini tumpah memenuhi pipi mulus dan berisi Defnie. Dengan suara parau, puan itu juga mencaci maki semesta di hadapan Xander yang memberinya nasib buruk dalam tak sanggup ia tanggung. Sementara itu, Xander hanya bisa bergeming kala cercaan Defnie mengisi seluruh sudut Penthouse-nya. Bukan tak ingin menenangkan, pria itu tahu jika seorang yang sedang marah tidak butuh wejangan apapun. Mereka hanya butuh didengarkan. "Kau sudah selesai? Apa itu membuat hatimu lebih baik?" tanya Xander lembut saat napas Defnie terengah sembari menahan isak tangis. Tubuh Defnie yang mulai terkulai lemah kini dibawa kembali ke dalam pelukan oleh Xander. Tangisan selanjutnya pecah saat wajah Defnie menyentuh d**a bidang mantan iparnya itu. "Aku hanya ingin bersama Evan, Kak! Mengapa semesta tidak adil padaku?" lirih Defnie seraya terisak. "Semesta memang terkadang tak adil, Def. Tapi, kau tetap harus melanjutkan hidupmu yang berharga," balas Xander mengusap sayang surai Defnie, turut merasakan kepedihan mantan iparnya. "Kau harus kuat, Deg. Kau tidak ingin mengecewakan Evan, bukan?" Tak ada kata yang menguar melainkan gelengan kepala singkat yang terasa di d**a bidang Xander, diiringi isakan yang semakin parau. "Aku akan melindungimu, Def. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh dan tersakiti. Jika perlu, aku akan menjadi sosok ayah untuk keponakanku," janji Xander dalam hati. *** "Faster, Baby. Awhh ...." Des*h nikmat pria pemilik tubuh kekar meski usianya tak muda lagi semakin meninggi seiras kegiatan olahraga panas dengan seorang wanita cantik berlangsung ugal-ugalan. "Ah, kau nakal sekali, Sayang," balas sang partner wanita sembari bergerak energik menaik-turunkan panggul di atas pangkuan si pria. Sang pria lantas semakin mendekap erat wanitanya kala mendekati puncak, memompa tubuh sexy itu dalam posisi duduk bak pergerakan piston. Tak lama, lenguhan panjang menguar dari belah ranum keduanya seiras gerakan yang perlahan melemah dan kegiatan panas sore itu pun selesai. "Seperti biasa, kau sangt b*nal, Yuna. I loved it," puji sang pria pada wanita bernama lengkap Yuna Lewis. "Hanya bin*l? Kau berkata demikian seolah aku adalah jal*ng padahal jelas-jelas aku kekasihmu." Yuna malah bercicit protes sembari merengut masam. "Hey, itu tidak benar. Kau tau aku hanya mencintaimu, bukan? Kemarilah!" Pria pemilik pesona matang itu lantas membawa tubuh kekasih yang masih di atas pangkuan ke dalam dekapan d**a bidang. "I Love you, my beauty Yuna." Senyuman sumringah pun terulas dari dahi wanita yang masih bercucuran keringat. "I love you more, Kenan," balas Yuna antusias. "Jadi ... kapan kau menceraikan Laura dan menjadikanku milikmu satu-satunya, Ken?" tanya puan cantik pemilik rambut gelombang berwana ombre cokelat yang tiba-tiba membahas pernikahan Kenan. "Argh, pertanyaan ini lagi. Apa tidak ada hal lain? Mengapa kau selalu mengacaukan mood after s*x, Yun?" Kenan spontan menyingkirkan perlahan tubuh Kaia ke sofa sebelah imbas kesal. Pria itu lantas memakai kembali pakaian miliknya yang tercecer sembarang. Harus ia akui, kepalanya serasa mau meledak setiap kali kekasih gelapnya menanyakan perceraian dengan istri sah. "Aku sudah muak, Ken. Aku tidak ingin terus menjadi yang kedua. Bukankah hanya satu kali proses lagi maka proses perceraianku dengan Xander akan segera final ?" cecar Yuna tak terima seraya mengambil posisi berdiri. "Aku tau, Yun. Tapi tolong kau bersabar sedikit." Kenan memijat kening frustrasi. Nyatanya, kekasih gelap Kenan adalah istri sah Xander alias menantunya sendiri. "Lalu sampai kapan? Kau sudah berjanji padaku, bukan?" lanjut Yuna berdecak kesal. Meski sangat geram, Kenan terpaksa harus menahannya karena Yuna merupakan kunci rencana untuk mendepak Defnie dari kepemilikan saham. Keluarga konglomerat Lewis yang sebelumnya menggabung saham sampai senilai sepuluh persen lebih kini sudah menarik porsi kepemilikannya imbas proses perceraian putrinya dan Xander. Kini, Kenan berniat memperbaiki hal tersebut. Dengan mengeluarkan jurus rayuan andalan, Kenan mencoba menenangkan Yuna yang sedang tantrum. Pria itu memperlakukan Yuna dengan penuh kasih sayang, memakaikan dress piyama menutupi tubuh mulus sang wanita. "Aku tak ingin siapapun melihat tubuhmu, Sayang. Karena kau adalah milikku, mengerti?" ujar Kenan terdengar posesif seraya mengecup kening Yuna. Entah mengapa dad* sang puan yang sebelumnya panas kini perlahan mulai mereda. Perlakuan manis Kenan selalu berhasil membuat hati wanita berusia 20 tahun lebih muda darinya itu luluh dalam waktu singkat. "Dusta. Kau terdengar seperti sedang menginginkan sesuatu dariku." Yuna menahan mati-matian gejolak sumringah dalam d**a seraya membuang pandangan "Kau benar. Dan aku berjanji jika kali ini kau mengabulkannya ... maka aku akan menjadi milikmu seutuhnya." Yuna sontak terkesiap, atensi penuh kini kembali teralih pada Kenan. "Kau tidak berbohong, kan?" "Tidak, aku benar-benar akan menepatinya kali ini." "Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Yuna terdengar ragu. "Aku ingin kau mengupayakan pembatalan proses perceraian dengan Xander dan kembali padanya," pungkas Kenan disertai raut penuh ketegasan. "Kau sudah gila, Ken! Itu tidak mungkin!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD