PILIHAN

1439 Words
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.” ( Q.S Al Qashash: 56 ) Silvi sudah duduk di kasurnya dengan wajah yang sedikit ditekuk, ada kekesalan yang coba disembunyikannya. Hari ini beberapa teman baiknya berjanji datang untuk berkunjung. Namun sudah beberapa jam lewat dari waktu janjian, mereka tak kunjung datang. Hatinya merasa kesal tetapi sedikit terobati ketika tak lama kemudian teman-temannya akhirnya datang. Di antara mereka juga telah ada Firda, sahabat baiknya. "Ciyee, yang mau nikah," goda Firda begitu memasuki kamar Silvi. Silvi yang digoda begitu sebenarnya tidak marah, hanya saja ekspresi wajah Firda yang sedikit 'mengejek' membuatnya enggan menanggapi candaan itu. "Ada yang bakalan berubah status dari lajang menjadi sudah kawin nih di KTP," goda Mega, teman kampus Silvi dulu. "Ih apaan sih, kok kawin, nikah!" sanggah Silvi. "Di KTP nggak ada kata nikah, yang ada kawin, Neng!" bantah Mega tidak mau kalah. "Kamu pikir aku katak, kok malah dibilang kawin?" sahut Silvi masih enggan mengalah. Mega tergelak mendengar pernyataan Silvi. "Neng Silvi dalam kamus besar bahasa Indonesia kawin adalah membentuk keluarga dengan lawan jenis; bersuami atau beristri; menikah. Makanya di KTP disebut sudah kawin. Kalau engkau tidak terima, ajukan saja protes pada pemerintah," kata Mega menskakmat Silvi. Silvi yang sudah tidak bisa membantah akhirnya hanya diam saja. "Sudah, sudah, jangan bertengkar!" lerai Iik—nama aslinya Kamilatul Hikmah tetapi biasa dipanggil Iik. "Kami tidak bertengkar, hanya berdebat! Jangan berlebihan begitulah kau!" sergah Mega, logat Medannya kembali muncul setelah sekian lama. Firda, Silvi dan juga Iik yang mendengar logat khas Mega pun seketika tertawa membuat wanita yang masih betah melajang itu hanya mengerucutkan bibirnya. "Hei, jangan tertawa! Aku bangga dengan daerah asalku, terutama logatku ini!" kilah Mega. "Iya, iya," kata Firda mengiyakan walaupun sebenarnya dia juga setengah menggoda Mega dengan berkata demikian.   Sulvia Megasari, 24 tahun. Teman kuliah Silvi yang asli dari Medan. Datang ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di UI. Sudah bekerja dan masih single. Islam walau belum berhijab. Mega memiliki penampilan dan kepribadiannya yang sama-sama baik. "Jadi, kau beneran mau nikah Sil?" tanya Mega. "Lah, kamu pikir dia bercanda?" sergah Iik. Mega hanya cekikikan. "Ya siapa tahu dia khilaf," gurau Mega. "Nikah itu bukan perkara mudah. Wanita yang berkata siap menikah itu artinya dia siap mengabdikan dirinya pada suaminya dan terlepas dari tanggungjawab orangtuanya," jelas Firda. "Iya, betul tuh. Setuju aku," kata Iik menimpali. "Setuju-setuju aja kau, emang kau sudah nikah?" protes Mega. Iik yang diajukan pertanyaan semacam itu hanya terkekeh pelan. "Belum sih, tapi insyaallah segera menyusul," kata Iik. "Aamiin," sahut Firda dan Silvi mengamini. "Emang kau sudah ada calon?" tanya Mega. Iik menggeleng pelan. "Belum ada, tetapi aku yakin jodoh akan datang jika sudah tiba saatnya," ungkap Iik. Kamilatul Hikmah alias Iik, 24 tahun. Teman kuliah Silvi juga, salah satu mahasiswi UI yang aktif sekali di Rohis karena berharap bertemu jodoh. Akan tetap dari kuliah sampai lulus belum juga bertemu belahan jiwa yang sudah Allah Subhanallahu wa Ta’ala takdirkan untuknya. Alhamdulillah sudah berhijab walaupun belum terlalu syar'i. "Calon aja belum ada, sudah berniat nikah.  Pacaran aja dulu," saran Mega. "Nggak, pacaran itu nggak ada dalam islam dan aku nggak mau pacaran!" tolak Iik tegas. "Lah emang kenapa? Pacaran yang sehat kan nggak apa-apa," sanggah Mega. "Nggak ada pacaran sehat, pacaran yang menuju dosa banyak!" pungkas Iik. Mega mengerucutkan bibirnya. "Jangan menjudge begitu, dong! Kalau yang dipacari itu seorang laki-laki yang taat agama, bagaimana?" Mega masih bersikeras. Iik memanyunkan bibirnya. Dengan gaya bak ambu yang sedang menasehati anak perempuannya, si Iik beraksi. "Dengar ya sayang, daripada kamu memilih laki-laki yang mengirim sms jam 3 pagi untuk mengingatkanmu sholat tahajud, lebih baik kamu pilih seorang laki-laki yang langsung datang ke orang tuamu dan mengatakan bahwa dia berniat menikahimu. Kenapa? Karena ketika dia datang melamarmu, maka dia telah menyelamatkanmu dari bayang-bayang zina," terang Iik. "Tunangan kan bisa, nggak harus langsung nikah?" Mega masih enggan mengalah. Iik menghela napas lantas melirik Firda dan Silvi seolah meminta bantuan. "Mega, pacaran sehat itu hanyalah pembenaran yang setan bisikkan pada kita sehingga membenarkan apa yang sebenarnya sudah jelas dilarang. Soal pacaran pun sudah disinggung dengan jelas dalam Al-qur'an, "Dan janganlah kalian mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan nista dan sejelek-jelek jalan.” ( Al-Isra' : 32 )," "Tapi kan pacaran nggak harus zina kan? Selama bisa menjaga diri, apa salahnya?" Mega bersikukuh. Firda hanya tersenyum kecil lalu menoleh pada Silvi. Silvi yang mendapat kode dari Firda pun mulai angkat bicara. "Saudaraku, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Telah ditulis bagi setiap Bani Adam bagiannya dari zina, pasti dia akan melakukannya, kedua mata zinanya adalah memandang, kedua telinga zinanya adalah mendengar, lidah (lisan) zinanya adalah berbicara, tangan zinanya adalah memegang, kaki zinanya adalah melangkah, sementara kalbu berkeinginan dan berangan-angan, maka kemaluan lah yang membenarkan atau mendustakan’, Maka setelah kamu mendengar ini, apakah engkau masih mau berpaling dari sesuatu yang telah engkau ketahui hukumnya?" Mega terdiam. "Ya Allah, ampuni aku. Aku dikeroyok 3 ustadzah," kata Mega seraya menengadahkan kedua tangannya. Silvi, Firda dan Iik yang melihat tingkah konyol Mega pun tidak bisa menahan tawa mereka. "Hidup itu adalah pilihan, Mega. Aku tidak menyalahkanmu jika kamu melakukan sesuatu yang berbeda dengan apa yang kami lakukan. Itu hakmu karena hidup manusia itu ditentukan oleh diri mereka sendiri." Silvi menimpali. Mega tersenyum kecut. "Ya, aku tahu dan meski aku bukan kaum penentang pacaran, aku termasuk yang enggan melakukannya. Seperti yang kalian bilang, aku sudah mengetahuinya dan itu membuatku was-was walau mencoba bersikap netral," ungkap Mega. "Mari bersama-sama menjadi wanita baik, Mega. Aku yakin setiap wanita yang berkeinginan menjadi baik, maka Allah akan membantu mempermudah urusanya," ajak Iik. Mega pun hanya mengangguk setuju. "Ah iya, pernikahanmu sudah sebentar lagi. Apa kamu akan dipingit?" tanya Firda. Silvi mengangguk kecil. "Pingit? Maksudmu dikurung di rumah?" tanya Mega sedikit merasa terkejut. "Bukan dikurung tetapi menjaga diri," sanggah Iik. "Sama ajalah. Kakak perempuanku juga pernah dipingit seminggu sebelum pernikahannya dan yang ia lakukan hanya diam di kamar dan tidak menemui orang lain yang bukan mahramnya," jelas Mega. "Jika aku jadi dia, tentu saja aku tidak akan kuat. Diam di kamar saja beberapa jam aku sudah merasa bosan. Mengapa juga harus ada tradisi semacam itu?" Mega melanjutkan. Iik tertawa geli mendengar perkataan jujur Mega. "Mega, dipingit itu bukan hanya sekedar tradisi tetapi sebenarnya itu tindakan membentengi diri dari hal-hal yang tidak diinginkan!" sergah Iik. "Mengapa begitu?" tanya Mega masih belum mengerti. "Dikutip dari laman Al-Bahjah asuhan Buya Yahya, istilah pingit berarti dijaga dari pergaulan yang haram. Pingit bagi wanita itu seharusnya bukan saja di saat hendak menikah. Pingit itu adalah menjaga komunikasi dengan yang bukan mahram untuk tidak keluar dengan sebebas-bebasnya. Itu sebenarnya pendidikan wanita mulia. Bukan di saat ingin menikah saja. Dan memang ada di sebagian masyarakat kita ini ada kebiasaan pingitan disaat mau menikah," jelas Iik. "Selain itu, ketika seorang lelaki sudah datang melamar, maka harus disegerakan ia menikahi wanita yang telah dilamarnya. Bertunangan itu belum menghalalkan wanita itu untuk dirinya. Jadi dipingit setelah khitbah itu bagus untuk mencegah keduanya dari muqaddimah-muqaddimah zina," Firda menimpali. "Ah, begitu. Lalu apa rencanamu selama seminggu di dalam kamar, Sil?" tanya Mega. Silvi tersenyum lebar mendengar pertanyaan Mega. "Aku akan melakukan perawatan sebelum pernikahan. Dan juga bisa mengaji, sholat lebih banyak serta yang pasti menambah lagi ilmu dengan membaca buku agama," jawab Silvi. Mega hanya manggut-manggut. "Ah, sungguh aku nggak kepikiran sama sekali jika bisa melakukan banyak hal hanya dengan berdiam diri di kamar." kata Mega mulai paham. Silvi merangkul Mega dan menyentuh lembut rambut wanita itu sembari bibirnya tergerak membacakan doa untuk temannya itu. Dia pun hanya tersenyum penuh arti saat melihat Mega yang memergokinya tengah berdoa. "Kau bacakan aku apa?" tanya Mega penuh selidik. "Tidak ada, hanya doa yang selalu ingin kupanjatkan untuk orang-orang yang kucintai," jawab Silvi. "Doa apa itu?" tanya Mega penasaran. "Doa keselamatan," jawab Silvi. Mega menautkan alisnya. "Keselamatan yang bagaimana?" tanya Mega lagi. "Yang-," "Sudah, kita kesini untuk melepas rindu. Mari hentikan dulu pembicaraan yang serius," usul Firda memotong pembicaraan Silvi. "Baiklah," kata Mega setuju. "Aku pun juga setuju denganmu, Fir!" ucap Silvi juga setuju. "Aku, aku juga!" Iik pun memberikan persetujuannya. Mereka pun mulai mengobrol tentang  hidup mereka, tentang masa lalu dan juga tentang bagaimana mereka menghabiskan waktu setelah cukup lama tidak bertemu. Ihdinassiratal mustaqim. Siratal lazina an'amta'alaihim ghairil maghdubi 'alaihim waladdhalin. Ya Allah, tunjukanlah kami jalan yang lurus yaitu jalan orang-orang terdahulu yang telah Engkau berikan nikmat, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat. Aamiin. Begitulah doa yang Silvi ucapkan saat merangkul Mega tadi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD