RENCANA

1399 Words
“Celupan warna Allah, dan siapakah yang lebih baik celupan warnanya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nyalah kami menyembah,”  ( Q.S Al-Baqarah : 138 ) Hari sudah larut saat wanita itu duduk di sudut ranjangnya dengan menundukkan kepalanya dalam-dalam. Setetes bening airmata, luruh dari kelopak matanya hingga membasahi cadarnya yang menjuntai panjang hingga ke d**a. Dia menggelengkan kepalanya, berusaha menghilangkan paksa segala pikiran klalut dalam pikirannya saat ini. Namun, sesaat setelahnya dia kembali terisak saat menyadari bahwasanya kepedihan itu kembali datang. Wanita itu telah berusaha untuk menghentikan rasa kecewa agar tidak hinggap di hatinya. Namun, semakin dia berusaha dan menolak kenyataan, pada akhirnya rasa itu tak mampu dia tangguhkan. Namun, sebagai seorang wanita, dia hanya mampu berserah diri. Berusaha sekuat tenaga untuk mampu memaafkan karena sebenarnya, apa yang dia katakan padanya bukanlah sebuah permintaan tetapi perintah yang harus dilaksanakan. Mau ataupun tidak mau. Tiba-tiba terdengar dering handphone, entah siapa yang menelpon sehingga wanita itu tersenyum kecil saat melihat telpon itu masuk.  Wanita itupun segera mengangkat telpon itu. “Assalamu’alaikum, Bun.” ucapnya. “Wa’alaikum salam, Hafsah,” sahut suara di seberang sana. “Bunda,” ujar Hafsah senang, senyuman melengkung indah di bibirnya. “Bagaimanakah proses lamaran Silvi?” tanya Hafsah pada Bunda, wanita itu sudah tidak kuasa mendengar kabar tentang proses lamaran adiknya. “Alhamdulillah lancar, acaranya baru saja usai,” jawab Bunda. Hafsah menarik napas lega sembari mengucapkan tahmid sebagai wujud rasa syukurnya. Hening sejenak dan mulai terjadi obrolan saat Hafsah memulai kembali obrolan di antara mereka. “Bun, maafkan Hafsah,” ucapnya pelan, ada rasa bersalah dalam nada pengucapannya. “Tidak anakku, kamu tidak melakukan kesalahan apapun,” sanggah Bunda. “Hafsah tidak bisa datang ke acara penting bagi Silvi, adik Hafsah. Sungguh Hafsah merasa bersalah, Bun!” ungkap Hafsah. Bunda hanya menghembuskan napas pelan. “Tidak apa-apa, Hafsah. Ingatlah statusmu, kamu bukan lagi hanya sebagai anakku, tetapi engkau adalah istri dari suamimu. Karenanya jika dia tidak mengijinkanmu datang, maka turutilah!” kata Bunda lembut, mencoba menghibur hati Hafsah yang sedih karena tidak diijinkan oleh suaminya untuk datang ke proses lamaran Silvi hari ini. “Jangan bersedih anakku, engkau telah memutuskan untuk bertahan dengannya maka janganlah merasa kecewa karena hal ini. Hafsah bunda adalah seorang perempuan kuat yang tahu betul bahwasanya kesabaran itu tidak berbatas, benar bukan?” kata Bunda menimpali. “Insyaallah, Hafsah kuat Bun, tetapi kekecewaan itu hinggap tanpa Hafsah minta, Bun!” sanggah Hafsah. “Tidak apa, itu manusiawi. Dimanakah suamimu? Apa tidak apa kita bicara di telpon saat ini?” tanya Bunda merasa cemas kalau-kalau suami Hafsah akan mendengar percakapan mereka. “Tidak ada, Bun. Bang Sutan sedang berada di rumah Ana, istri ketiganya!” jawab Hafsah dengan pelan, entah kenapa dia takut bundanya kecewa. Bunda menahan napas sebentar saat mendengar jawaban pelan dari anaknya. Wanita paruh baya itu berusaha sekuat tenaga agar tidak melontarkan kata-kata yang dapat menambah kesedihan putrinya. “Kamu sendirian? Perlukah Bunda kesana untuk menemanimu?” tanya Bunda. “Tidak usah, Bunda. Hari sudah larut dan Bang Sutan bilang dia akan pulang besok pagi. Bunda jangan khawatir, Hafsah baik-baik saja,” jawab Hafsah menolak niatan Bunda untuk menemaninya yang sedang sendirian di rumah. Bunda menggigit pelan bibir bawahnya, sekuat apapun hati Bunda, maka ia tidak akan kuat untuk tidak meneteskan airmata. Sesungguhnya ia sudah mencoba untuk tersenyum agar menghentikan hatinya yang gusar dan gemetar, akan tetapi itu tidak semudah yang Bunda perkirakan. Dia tidak rela hati putrinya disakiti tetapi bagaimanapun ini adalah jalan yang sudah putrinya pilih dan tidak ada jalan lain selain mendukungnya. Begitulah pikiran Bunda. “Maafkan Bunda Hafsah, Bunda yang membuatmu menempuh jalan semacam ini,” ucap Bunda lirih. “Tidak, Bunda! Semua sudah ketentuan, jangan menyesali sesuatu yang sudah Allah tentukan Bunda,” sanggah Hafsah tegas. “Jangan bersedih, Bunda. Cukup doakan Hafsah agar Hafsah kuat menjalani semua ini. Mudah-mudahan Allah akan selalu menunjukkan jalan yang terbaik untuk Hafsah sehingga semua akan berakhir dengan indah pada saatnya,” ujar Hafsah penuh harap. “Aamiin, Bunda selalu berdoa untuk kebahagiaanmu, putriku!” ucap Bunda. “Terimakasih, Bun!” kata Hafsah tulus. “Sama-sama, anakku!” Obrolan mereka pun mulai beralih ke arah yang lain. Setelah berbasa-basi sebentar telpon pun berakhir. Ketetapan Allah akan selalu berlaku. Allah akan selalu mencoba hamba-Nya sesuai dengan keyakinannya. Karenanya semakin seseorang merasa yakin akan kebenaran Allah, maka Allah akan semakin mengujinya dengan ujian yang berat. Begitulah apa yang Hafsah pikirkan selama ini. Karenanya, dia tidak ingin menyerah. Karena ia merasa mampu untuk bertahan walau diuji sedemikian rupa untuk membuktikan kecintaannya pada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, sang pencipta yang Agung dan Maha Esa.   *** Silvi baru saja hendak tidur ketika Bunda mengetuk pintu kamarnya. “Sil, sudah tidur?” tanya Bunda dari balik pintu. Silvi bergegas turun dari kasurnya, membukakan pintu untuk Bunda. “Belum, Bun! Masuklah!” jawab Silvi seraya merangkul bahu Bundanya dan mempersilahkan wanita yang paling disayanginya itu masuk ke kamarnya. “Maaf jika bunda mengganggumu,” ujar bunda saat keduanya telah duduk di kasur Silvi. Silvi menggelengkan kepalanya pelan. “Bunda tidak menggangguku sama sekali,” sanggah Silvi sembari tersenyum tipis. “Ada apa. Bun?” tanya Silvi seolah dia menyadari bahwa ada sesuatu yang telah membebani pikiran wanita paruh baya itu. “Barusan Bunda menelpon Hafsah,” jawab Bunda mulai bercerita. “Dia menitipkan pesan padamu, dia bilang selamat dan meminta maaf karena tidak bisa datang,” kata Bunda melanjutkan. Silvi menggenggam erat kedua tangan Bunda. “Tidak apa, Bun. Silvi tidak marah, jika suaminya tidak mengijinkan Silvi bisa apa?” Bunda menghela napas panjang. “Apakah Damar juga akan menolak memberikan ijin padamu jika Bunda memintamu datang?” tanya Bunda dengan wajah murung. Mendengar pertanyaan spontan Bundanya seketika Silvi beristighfar. “Bun, mas Damar dan bang Sutan adalah dua orang lelaki yang berbeda. Aku tidak menyalahkan bang Sutan yang tidak memberikan ijin kak Hafsah datang malam ini, karena Silvi yakin pasti ada alasan kuat mengapa ia melakukannya. Buktinya saat Bunda meminta kak Hafsah datang kemarin lusa, kak Hafsah datang. Karena itulah, sebaiknya kita berbaik sangka saja padanya,” jawab Silvi memberikan pengertian pada Bunda. Walaupun Silvi yakin bundanya sudah tahu betul tentang apa yang dia katakan barusan, kegusaran hati Bunda tentu membuatnya tidak bisa berpikir ke arah sana. “Silvi akan mengunjungi Bunda sesering mungkin. Silvi pun akan datang segera saat Bunda memintanya, jangan cemas!” janji Silvi. “Bagaimana bisa kamu seyakin itu? Bagaimana jika Damar berubah pikiran?” tanya Bunda masih khawatir. “Saat itu terjadi, Silvi akan memilih Bunda,” jawab Silvi tegas. “Maksudmu kamu akan menceraikannya?” tanya Bunda heran. Silvi mengangguk pasti. “Kak Hafsah dan Silvi berbeda, Bun. Jika kak Hafsah berusaha bertahan, Silvi tidaklah demikian. Bukan berarti Silvi menyepelekan pernikahan atau merasa lebih menyayangi Bunda sehingga rela bercerai demi Bunda, tetapi Silvi sungguh tidak bisa mengabdi pada suami yang mencoba memisahkan Silvi dengan bunda. Silvi tidak sekokoh itu,” jelas Silvi. “Tapi Bunda hanya ingin kamu menikah sekali seumur hidup sayang,” kata Bunda bimbang. “Karena itulah, Bun. Jangan berpikir terlalu jauh ke arah sana, mas Damar bukan lelaki semacam itu. Jika dia berubah pikiran seperti yang Bunda khawatirkan, Silvi yang akan berada di garis depan untuk mengingatkannya. Jika cara itu tidak bisa, Silvi akan melepaskannya demi bunda. Bagaimana? Apa itu melegakan hati Bunda?” Bunda menghela napas panjang. “Perkataanmu justru membuat Bunda semakin terbebani,” keluh Bunda. Silvi tergelak mendengar ucapan Bunda. “Kamu ini, orang tua sedang galau malah ketawa,” protes Bunda. “Owalah, bunda juga bisa galau?” goda Silvi. “Ih,” ujar Bunda sembari mencubit ringan lengan Silvi. “Aw, sakit Bun!” ujar Silvi sembari mengusap-usap lengannya yang dicubit Bunda. “Rasakan, suruh siapa menggoda orang tua,” cibir Bunda. Silvi hanya tertawa ringan lalu memeluk Bundanya. “Jangan khawatir, Bunda. Mas Damar bukanlah bang Sutan. Setiap manusia memiliki takdir dan ujiannya masing-masing.” ujar Silvi meyakinkan Bunda. “Semoga saja begitu, Sil. Bunda tidak akan mampu bertahan jika Bunda juga kehilanganmu,” kata Bunda. Ibu-anak itu pun saling berpelukan. “Semoga kamu bahagia, anakku!” doa Bunda tulus. “Aamiin,” sahut Silvi mengamini. Jangan bersedih Bunda, sesungguhnya besarnya pahala sebanding dengan besarnya ujian yang sedang kita tanggung. Karenanya manusia hanya bisa berencana sedangkan Allah yang menentukan. Semua ketetapan Allah adalah wajib dan tidak ada rencana yang paling indah selain rencana Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Batin Silvi menegaskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD