Bab 4

1959 Words
    Dengan malas aku memasuki perpustakaan untuk menemui Winni. Sekarang ia tengah berada di perpustakaan untuk menyelesaikan tugas salah satu mata kuliah. Sejak kemarin ia sudah sangat pusing memikirkan tugas ini. Aku sendiri lebih pusing memikirkan Azel.     Bagaimana caranya membuat Azel ingat tentang diriku? Karena sejauh yang kutahu, dia tak tahu siapa aku. Aku jadi bingung sendiri harus bagaimana menghadapi Azel. Apa dia memang tidak ingat dengan diriku karena mungkin saja wajahku tampak beda dari ketika aku kecil? Tapi, sepertinya wajahku masih bisa dikenali. Atau Azel memang benar-benar melupakanku karena aku tidak penting? Ah, tidak mungkin seperti itu. Azel tidak sejahat itu kan?     Dug.     Kurasakan benturan pada jidat dan badanku. Segera aku mengusap jidatku yang terasa nyeri akibat tertabrak pintu kaca di depanku. Kini aku menoleh ke arah kananku di mana seorang cewek tengah berjalan melewatiku. Aku yakin gara-gara senggolan cewek itu tubuhku jadi tertabrak pintu kaca ini.     Cewek itu menoleh ke arahku. Paras cantik nan jutek miliknya membuatku sedikit gugup. Dia adalah Pinka, si senior galak, teman Aric.     “Apa?” tanyanya santai seraya mengibaskan rambut hitam panjangnya ke belakang bahu.     Aku hanya menggeleng, masih dengan tangan mengusap-usap dahiku yang terasa sedikit nyeri.     “Dasar aneh,” cibirnya seraya melenggang memasuki ruang baca perpustakaan.     Aku sendiri masih berdiri di depan pintu, memandangnya yang semakin menjauh dariku. Pinka kini menuju ke arah barisan bangku di sisi kanan. Di sana, kulihat ada beberapa orang tengah duduk sambil membaca buku dan sibuk berkutik dengan laptop mereka. Sampai akhirnya aku baru menyadari bahwa salah dua dari beberapa orang tersebut adalah Azel dan Aric. Mereka berdua duduk berhadap-hadapan dalam satu meja.     Jadi, Aric dan Azel itu saling kenal? Mereka berteman dekat? Tapi, bagaimana bisa Azel berteman dengan Aric? Mereka berdua tampak memiliki karakter berbeda. Aku berharap Aric tidak membully Azel seperti dia membully-ku.      Kulihat Pinka duduk di sebelah Aric. Ia terlihat sangat manja dengan Aric. Azel sendiri seperti tidak peduli dengan kedatangan Pinka. Azel hanya melirik Pinka tanpa berucap sama sekali. Tampaknya Azel bukan hanya berteman dengan Aric saja. Dia sepertinya juga berteman dengan Pinka. Kenapa teman-teman Azel sepertinya mengesalkan semua, sih? Apa dia tidak bisa berteman dengan orang lain saja?      Kurasakan ponsel yang berada di sakuku bergetar menandakan ada panggilan masuk. Segera kuangkat panggilan entah dari siapa aku tak tahu. Mataku masih sibuk memandang ke arah Azel yang terlihat sangat fokus dengan laptop di hadapannya.     “Halo,” sapaku.     “Lul, ngapain lo berdiri di depan pintu gitu?” tanya suara di seberang telepon.     “Winni,” ucapku menyadari bahwa ini adalah suara Winni. Dan sekarang aku baru ingat kedatanganku ke perpustakaan adalah untuk menemui Winni.     “Sini deh, jangan berdiri aja di depan pintu. Bukan vampir kan lo? Nggak perlu kan dipersilakan masuk dulu baru bisa memasuki tempat ini kan?” tanyanya seraya terkekeh. Aku memutar bola mata bosan. Sekarang Winni menyamakanku dengan vampir di seriesThe Vampire Diaries yang tidak bisa sembarangan masuk rumah orang sebelum dipersilakan atau diundang masuk oleh pemilik rumah tersebut.     “Lo di mana?” tanyaku tanpa meladeni ejekannya.     “Gue ada di sisi kanan,” jawabnya.     Secara otomatis mataku mulai jelalatan mencari keberadaan Winni. Dalan hitungan detik, langsung kutemukan keberadaan Winni yang ternyata sedang duduk manis di meja dekat tempat duduk Azel. Winni melambai ke arahku dan tersenyum lebar.     “On the way,” ucapku kemudian mematikan sambungan telepon kami.     Kini aku berjalan menuju ke arah Winni. Sebelum sampai di meja tempat Winni berada, aku harus melewati meja Azel. Dan karena posisi duduk Azel, sekarang aku hanya bisa melihat punggungnya saja karena ia duduk membelakangiku. Tanpa sengaja, mataku bertabrakan dengan pandangan Aric. Ia melihat ke arahku dengan tatapan curiga. Seketika aku langsung membuang pandanganku ke arah depan. Kakiku mulai berjalan terburu-buru. Aku tak mau berurusan dengan Aric. Jangan sampai gara-gara tak sengaja bertatapan mata tadi aku kena masalah lagi dengannya. Aku tidak mau mengambil risiko.     “Kenapa sih, lo?” tanya Winni ketika aku sudah duduk di hadapannya. Mataku melirik ke arah meja Azel berada. Ia masih sibuk dengan laptop di depannya. Pinka sendiri sibuk memandang pantulan wajahnya di cermin yang ia pegang. Dan Aric, ia sepertinya sedang sibuk membuka dan menutup buku di hadapannya.     “Ada Aric,” jawabku masih melirik ke arah Aric yang kini sedang menguap sambil memperhatikan jam di tangan kirinya.     “Dia kenapa? Ganggu lo lagi?” tanya Winni penasaran sambil melirik sekilas ke arah meja di mana Aric, Azel dan Pinka berada.     “Nggak ganggu gue pun kalau ada dia tetap aja gue keganggu,” kataku mengerucutkan bibir karena sebal.     “Udahlah cuekin aja,” kata Winni seraya kembali sibuk dengan laptop di hadapannya. “Lo udah ngerjain tugasnya belum sih?” tanyanya.      “Belum,” jawabku malas seraya menopang daguku dengan tangn kiriku.     “Belum, tapi kok lo santai banget?” tanyanya bingung.     “Kalau pun gue panik juga tugasnya nggak bakalan kelar dalam semenit,” jawabku enteng.     “Ya udah kerjain kalau begitu.”     “Nanti gue kerjain di kontrakan,” kataku seraya menoleh ke arah Azel.     “Nggak kelar baru tau rasa lo.”     “Kelar,” ucapku menghembuskan napas lelah. Apa pun yang terjadi pasti kelar kok. Aku yakin. Aku kan punya the power of kepepet. Pasti kelar.     “Serah lo dah,” kata Winni dengan pasrah.     Masih kulihat Azel yang sibuk mengetik di laptopnya. Beberapa kali ia terdiam seperti berpikir. Azel kalau sedang diam begitu kelihatan keren. Tak kusangka anak kecil kurus itu berubah jadi cowok gagah dan tampan.      Aku melirik ke arah Aric yang sepertinya tengah bosan. Aku bahkan tidak tahu apa yang Aric lakukan di sini. Ia sepertinya tak ada kepentingan di tempat ini. Kurasa, ia hanya pengganggu bagi Azel.     Kini kulihat Aric mulai berbicara dengan Azel. Azel sesekali melirik ke arah Aric dan tersenyum mendengar ucapan Aric. Pinka yang masih setia duduk di sebelah Aric terlihat tak peduli dengan obrolan Aric dan Azel. Sepertinya Pinka hanya peduli dengan dandanannya saja.     Tak lama kemudian, kulihat Azel menggeser laptopnya ke sebelah kanannya. Tangannya kini membolak-balik buku yang berserakan di mejanya. Bibirnya seperti komat-kamit membaca buku di genggamannya dan beberapa kali kulihat ia menunjukkan buku tersebut kepada Aric yang membuat Aric memutar bola matanya bosan. Aric benar-benar tak ada kerjaan di sini. Harusnya Aric pergi dari sini! Mengganggu pemandangan aja!     Tanpa sengaja tatapan mataku bertemu dengan tatapan Aric. Karena panik, segera aku melirik ke arah kananku dan menghindari tatapan Aric. Kembali kulirih ke arah Aric, ia masih memandangku dengan tatapan curiga. Bahkan kulihat ia seperti akan berdiri. Astaga, mati aku!     Kini aku membenarkan posisi dudukku dan langsung memandang lurus ke arah Winni yang masih sibuk dengan laptopnya. Aku mencoba menyibukkan diri dengan buku yang berada di meja ini. Kubuka lembar demi lembar buku di hadapanku tanpa membaca isinya. Aku hanya ingin terlihat sibuk agar Aric tak mencurigaiku.     Kenapa juga harus ketahuan Aric kalau sedang memperhatikannya tadi? Tidak, aku tidak memperhatikannya. Aku kan tadi memperhatikan Azel. Aric cuma background yang tidak sengaja terlihat.     Brak.     Aku terlonjak kaget karena tiba-tiba mejaku digebrak oleh seseorang. Meskipun gebrakannya tidak keras, tapi tetap saja membuatku kaget. Segera aku menoleh ke arah kananku, yang ternyata sudah ada Aric.     “Ngapain lo lihatin gue sama anak-anak?” tanyanya tajam kepadaku.     “Enggak kok,” jawabku cepat karena panik.     “Lo stalker ya?” tanyanya lagi yang langsung membuatku menggeleng.      Perlahan aku melirik ke arah Azel berada. Kini ia tengah memandang ke arahku dengan tatapan penasaran. Azel, selamatkan aku!     “Ngapain lo lihatin kami terus?” tanyanya tajam.     “Gue nggak—”     “Ric, balik nggak? Gue mau balik sekarang,” sahut Azel memotong ucapanku.     Perlahan aku kembali menoleh ke arah Aric yang sekarang sedang menoleh ke arah Azel. Kemudian pandanganku pindah ke arah Azel yang tengah menutup laptopnya dan seperti berkemas-kemas.     “Awas aja kalau lo ketahuan liatin kami lagi!” Aric memperingatkanku yang membuatku ketakutan sendiri.     Setelahnya, ia kembali ke mejanya tadi dan mengambil jaketnya yang tersampir di kursi. Kemudian ia berjalan pergi meninggalkan perpustakaan diikuti oleh Pinka. Azel sendiri masih sibuk membereskan buku-buku di meja yang ia tempati. Dan sebelum ia bangkit dari posisinya duduk, kulihat ia menoleh ke arahku. Aku tersenyum ke arahnya yang malah membuat Azel membuang pandangannya ke arah laptop di hadapannya. Akhirnya, Azel pun pergi mengikuti Aric yang sudah keluar terlebih dahulu dari tempat ini.     Sepertinya Azel tadi menyelamatkanku.     “Lo habis ngapain Aric?” tanya Winni yang membuatku menoleh ke arahnya. Wajahnya kini terlihat panik.     “Nggak ngapa-ngapain,” jawabku.     “Terus kenapa tadi dia ngancem lo kayak gitu?” tanyanya bingung,     Aku mengangkat kedua bahuku. “Ya, namanya juga Aric. Kan dia gila,” kataku seraya tersenyum kaku ke arah Winni yang membuatnya berdecak sebal. ***     Setelah berpamitan dengan Winni yang masih sibuk dengan tugasnya, aku memutuskan untuk pergi ke kantin. Sebenarnya aku ingin pulang, tapi apa daya perutku dari tadi protes minta dikasih makan. Jadi ya, lebih baik aku mengisi perut dulu sebelum pulang ke kontrakan.     “Aku memang salah, seratus persen salah.” Seseorang mendendangkan sebuah lagu yang tak asing di telingaku. “Lula digoyang,” lanjut suara itu yang membuatku menoleh ke arah kananku. Kini kulihat seorang cowok tengah duduk di kursi di seberangku. Cowok itu memandangku sambil tertawa.     Aku kenal cowok itu. Cowok itu adalah cowok yang pernah menggodaku dengan lagu dangdut. Dulu dia meledekku bersama dua orang temannya. Dia adalah cowok berjambul yang pernah lari ketakutan karena Aric.     Tanpa memedulikan cowok itu lagi, aku kembali memakan siomay pesananku. Cowok itu masih setia menyanyikan lagu Seratus Persen Salah sambil mengetuk-ngetukkan tangannya di meja seolah meja itu adalah gendang. Dia benar-benar berisik!     “Berisik, diam  bisa nggak?” kataku kesal sendiri.     Cowok itu tersenyum lebar dan menggeleng-gelengkan kepala. “Nggak bisa. Nyanyi dulu,” katanya santai.     Aku menghela napas dalam. “Suara lo jelek. Diem,” kataku semakin kesal sambil memelototinya.     “Suara lo bagus. Nyanyi, Lul,” katanya. Cowok itu kini bertepuk tangan gembira.     Makhluk aneh apa lagi ini?     “Kai!” panggil seorang cewek seraya menepuk pundak cowok berjambul itu. Cowok bernama Kai ini telonjak kaget lalu terbatuk karena tersedak.     Segera cewek tadi, yang ternyata adalah Fanda, menepuk-nepuk punggung Kai. Tiba-tiba ada sebuah permen terlempar dari dalam mulutnya.     “Lo ngagetin aja, Fan,” kata Kai memandang Fanda dengan tatapan terluka. Fanda hanya tersenyum lebar dan kemudian duduk di sebelah Kai. Fanda menoleh ke arahku dan melambai.     “Hai, Lul,” sapanya.     “Hai,” balasku.     “Lo kenal Lula, Fan?” tanya Kai kepada Fanda.     “Kenal dong. Kan kami pernah ngobrol.” Fanda tersenyum ke arahku. “Oh ya, Lul, ini  Kaisar, teman satu kelas gue.” Fanda memperkenalkanku kepada Kai.     “Temen lo itu aneh,” kataku melirik Kai tak suka.     Mendengar ucapanku itu membuat Fanda tertawa. “Iya, dia emang rada-rada. Udah, abaikan aja kalau ketemu,” ucapnya.     Aku mengangguk mantap. “Pasti,” balasku.      Ucapanku itu mengundang tawa Kai yang ternyata lebih menyebalkan dari nyanyiannya. Namun, tawanya langsung lenyap ketika matanya fokus menatap sesuatu di belakangku.     “Mampus ada Aric! Gue duluan,” katanya seraya bangkit dan kabur dari sini.     Sontak aku menoleh ke belakangku. Kulihat sosok Aric sedang berjalan dengan Pinka di sampingnya. Mereka sedang menuju ke sini.     “Dia habis ngibulin Aric kemarin, Lul. Makanya dia kabur,” jelas Fanda terkekeh sambil menatap punggung Kai yang semakin menjauh. “Oh iya, gue tadi nyari Kai mau ngasih lembar fotocopi. Orangnya sekarang malah kabur. Gue cabut dulu, Lul,” tambahnya seraya menoleh ke arah Kai yang sudah pergi dari hadapan kami.             Fanda bangkit dan berlari kecil mengejar Kai. Aku sendiri ikut berdiri, berniat kabur juga. Aku tak mau bertemu dengan Aric di sini. Bisa-bisa dia memarahiku tanpa sebab. Dia kan suka gitu orangnya. Bahkan mungkin kalau dia sadar bahwa aku menghirup oksigen yang sama dengannya saja, bisa-bisa aku kena omel. Tapi omong-omong, di mana Azel? Kenapa hanya ada Aric dan Pinka?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD