Bab 5

2235 Words
    Aku kira, setelah menemukan Azel, semuanya akan menjadi lebih mudah. Tapi ternyata tidak. Aku masih harus berjuang lagi untuk sekadar berdekatan dengannya. Karena setiap kali aku melihatnya dan berniat berbicara dengannya, pasti ada saja gangguan yang datang. Dan hampir semua gangguan yang kudapat adalah karena Aric. Sulit dipercaya bukan? Tapi, memang begitu nyatanya.      “Itu yang namanya Azel?” tanya Winni yang berada di sebelahku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.     “Itu kan cowok yang lo kasih surat dulu?” tanyanya lagi yang membuatku kembali menganggukkan kepala. ”Temennya Aric, ya?” tanyanya.     “Iya. Mereka ternyata temenan,” jawabku dengan helaan napas dalam.     Kini aku dan Winni sedang berada di taman kampus. Setelah selesai mata kuliah pertama, kami memutuskan untuk sekadar duduk-duduk di taman kampus sembari melihat lapangan yang sudah berdiri sebuah panggung yang cukup besar untuk acara besok malam. Dan di dekat panggung, kulihat sosok Azel yang sibuk dengan kameranya. Di sebelahnya ada Aric yang sedari tadi berdiri di sana sambil menunjuk-nunjuk seperti memberi instruksi kepada beberapa orang yang tengah berseliweran di dekatnya. Pria itu tampak sibuk dan entah bagaimana terlihat penting.      Lihat kan, ketika Azel sudah di depan mata, pengganggu selalu ada. Bagaimana bisa aku menemui Azel jika Aric berada di sebelahnya? Bisa-bisa sebelum sempat berbicara dengan Azel, aku sudah didamprat oleh Aric. Dan aku sangat yakin jika cowok itu pasti akan melakukannya. Karena entah bagaimana, aku selalu membuat Aric marah meskipun aku tidak melakukan apa-apa. Apa yang harus aku lakukan?     “Samperin gih, bilang ke Azel kalau lo nyariin dia sejak dulu,” ucap Winni menyenggol lenganku.     Winni sendiri sudah tahu alasan di balik kenapa aku bisa kenal dengan Azel. Dia pun tahu kenapa aku ngebet pengen ketemu Azel. Aku sudah menceritakannya kepada Winni.     Sebenarnya semuanya tidak sesederhana 'Azel teman masa kecilku yang ingin kutemui'. Namun, semuanya lebih dari itu. Kalau boleh dibilang, hidupku itu jauh dari kata bahagia. Mamaku meninggal ketika umurku tujuh tahun—satu tahun setelah kepergian Azel. Dan ketika umurku sebelas tahun, Papa memutuskan menikah dengan seorang janda beranak satu—ya, aku mempunyai kakak tiri cowok, Revan. Sejak itu, hidupku benar-benar jauh dari kata bahagia.     Mama tiriku tidaklah jahat, tapi beliau juga tidaklah baik. Entahlah, aku tak dekat dengan Mama tiriku. Sedangkan Revan, dia tukang bully. Dia selalu saja punya alasan untuk mengerjaiku dan membuatku kesal. Aku tak menyukainya. Bahkan kami berdua tak pernah akur. Papa sendiri jarang berada di rumah. Beliau sangat sibuk dengan kerjaannya yang mengharuskannya melakukan perjalanan bisnis ke kota bahkan pulau lain. Jadinya ya, bisa kalian bayangkan sendiri bagaimana keadaan rumahku.     Karena beberapa hal tersebut, aku semakin merindukan masa-masa di mana Mama masih ada. Mama dulu selalu menemaniku. Aku tidak pernah merasa sepi ataupun sendirian. Hidupku sangatlah indah, aku bahagia. Aku ingin kembali ke masa itu.     Aku ingin membagikan semua ceritaku kepada Azel, orang yang sudah mengenalku sejak dulu. Dia adalah orang yang paling tahu bagaimana hidupku. Azel sendiri adalah salah satu bagian terindah dari kenangan yang kumiliki. Mungkin dengan aku bertemu dengan Azel, kenangan indah kami dulu bisa kembali tercipta. Dan aku juga bisa bahagia bersamanya.     Kehidupanku sekarang sudah benar-benar berbeda. Aku membutuhkan seseorang di masa laluku untuk mengingatkanku bahwa aku pernah bahagia. Dan orang itu adalah Azel. Pokoknya, Azel itu amat sangat berarti bagiku.     Bisa kalian lihat sendiri kan, hidupku sudah seperti dongeng Cinderella dengan Ibu dan saudara tiri. Sekarang, sudah saatnya Cinderella Lula mencari pangeran Azel dan hidup bahagia selama-lamanya.     Tiba-tiba kulihat sosok Kai menghampiri Aric dengan sekotak pizza di tangannya. Aric yang menyadari kehadiran Kai langsung memandangnya garang. Kai sendiri hanya cengar-cengir seraya menyerahkan sekotak pizza kepada Aric. Dan dengan kening berkerut, Aric menerima sekorak pizza tersebut. Dengan begitu, aku rasa masalah di antara Aric dan Kai selesai. Semudah itu?     Nah, aku punya ide untuk mendekati Azel. Baiklah.     “Mau ke mana lo?” tanya Winni ketika aku bangkit dari posisi dudukku.     “Ketemu pangeran gue,” jawabku sembari merapikan rambutku yang kurasa tidak berantakan. Tapi demi Azel, aku akan tetap merapikannya.     “Tapi ada Aric tuh.” Winni memperingatkanku.     “Tenang, bakalan gue beresin dia.” Aku memandang ke arah Aric yang sekarang sedang melahap sepotong pizza. Matanya masih sibuk memperhatikan orang-orang yang sibuk menata panggung di hadapannya.    Winni mengernyitkan dahi bingung. “Mau lo beresin gimana?” tanya Winni tampak penasaran.     “Udah lihat aja,” ucapku tersenyum lebar ke arah Winni.     Dengan yakin aku berjalan menuju ke arah Azel, Aric dan Kai berada dengan mengendap-endap. Lapangan kini terlihat sangat sibuk dan ramai karena persiapan acara untuk besok malam. Jadi, besok malam bakalan ada konser dalam rangka penyambutan mahasiswa baru.     Kini aku sudah berada di belakang Aric yang masih sibuk dengan pizzanya. Aku melirik ke arah Azel yang masih sibuk juga dengan kameranya. Dan Kai yang berada di sisi kanan Aric sekarang sedang sibuk dengan ponsel di tangannya. Sempurna.     Oke, mari laksanakan misi menyingkirkan Aric demi kesempatan mengobrol dengan Azel.     Aku melangkah mendekat ke arah Aric dan memastikan mereka bertiga tidak menyadari kehadiranku. Terutama Aric. Karena jika ia menyadari kehadiranku, aku tak akan bisa melakukan ini.     Dug.     Dengan keras aku menendang kaki kanan bagian belakang Aric. Kini kulihat Aric tersedak pizza yang tengah ia makan. Rasakan!     “Ya Tuhan, Kai, lo nyari mati!” seruku dengan panik seraya memandang Kai yang sekarang menoleh ke arahku dengan ekspresi bingung. Aku melirik ke arah Aric yang saat ini tengah memandang Kai dengan tatapan kesal     “Apa?” tanyanya seraya menoleh ke arahku dan Aric secara bergantian.     “Lo benar-benar nyari mati!” ucap Aric berapi-api. Kai sendiri hanya terdiam dan menampakkan wajah kebingungan yang sangat lucu.     Tiba-tiba Aric menyerahkan sekotak pizza di tangannya ke arahku. Matanya masih fokus memandang garang ke arah Kai. Detik selanjutnya, kulihat Kai sudah lari menjauh dari Aric tanpa tahu apa yang terjadi. Tentu saja, Aric berjalan dengan cepat menyusul kepergian Kai. Dan akhirnya rencana Lula untuk menyingkirkan Aric berhasil.     Demi untuk berbicara dengan Azel, aku rela menjadikan Kai kambing hitam. Lagian, Kai pantas mendapatkannya. Dia selalu meledekku.     “Aric sama Kai kenapa?” Suara itu membuatku menoleh ke arah Azel yang ternyata tengah memandang kepergian Aric dan Kai dengan ekspresi bertanya-tanya.    Aku menggelengkan kepala.  “Nggak tahu." Aku tersenyum lebar ke arah Azel. “Hai,” sapaku masih dengan senyum lebar tanda bahwa aku sangat senang bisa bertemu bahkan bebicara dengannya.     Azel hanya membalas sapaan dengan anggukan sopan.     “Lula,” ucapku mencoba mengingatkan Azel siapa aku. Aku khawatir jika Azel sudah kembali melupakanku.      “Gue tau. Lo korbannya Aric tahun ini. Semua orang tahu lo,” katanya santai seraya mengotak atik kamera di genggamannya.     “Wow, gue terkenal. Mungkin sebaiknya gue berterima kasih sama Aric. Karena dia udah bikin gue terkenal kayak sekarang,” candaku yang membuatnya tersenyum tipis.     “Lo terkenal dengan hal-hal yang memalukan,” katanya.     “Ah, benar,” ucapku ketika menyadari apa yang Azel ucapkan itu benar. Aric memang membuatku terkenal sepenjuru kampus. Tapi terkenal karena hal-hal yang memalukan. Sungguh tak ada yang bisa dibanggakan dari keterkenalan ini.     “Lo ngapain di sini?” tanyanya seraya menoleh ke arahku.     Ngapain di sini? Maksudnya di kampus ini? Apa Azel sudah sadar bahwa aku adalah Lula teman masa kecilnya dulu? Dan karena itu, ia menanyakan kenapa aku di sini? Apa aku harus mengatakan hal yang sejujurnya mengenai kedatanganku ke kampus ini? Dan jika iya harus jujur, maka jawabannya adalah karena aku ingin menemukannya. Aku ke sini untuknya.     “Gue—”     “Lo ada perlu sama Aric?” tanyanya memotong ucapanku.     “Ha?” Aku memandangnya dengan ekspresi bingung.     Kenapa Azel menyebut nama Aric?     “Lo ke sini nyari Aric kan? Kalau lo ada perlu sama dia, cari aja nanti di bascamp anak Sinematografi. Dia pasti di sana.”     “Oh, oke.”     Jadi maksud Azel menanyakan keberadaanku 'di sini' itu ya di sini, saat ini? Bukan di sini, di kampus ini? Aku menghela napas panjang. Lagian, kenapa Azel berpikir aku mencari Aric? Mana ada korban bully nyariin orang yang ngebully dia. Terlebih aku sendiri tadi yang membuat Aric pergi dengan mengkambing hitamkan Kai.     “Apa lagi?” tanyanya dengan sebelah alis yang terangkat. Sepertinya Azel menginginkan diriku untuk segera pergi jika tak ada hal lain yang dibicarakan.     Aku tak menyangka Azel benar-benar tak mengingatku. Memangnya seberapa berubahnya diriku? Aku yakin wajah Lula si gadis kecil dan wajah Lula si gadis remaja yang beranjak dewasa masihlah sama.     Pernah lihat foto Selena Gomez saat kecil? Dan ketika dia sudah dewasa, wajahnya tidak berubahkan? Siapa pun pasti masih bisa mengenali bahwa itu Selena Gomez jika melihat fotonya waktu masih kecil. Atau Agnez Mo, kecil dan dewasanya masih sama. Masih bisa dikenali. Begitu juga denganku. Aku pun masih bisa dikenali.     Tapi kenapa Azel sama sekali tak mengenaliku?     Kulihat Azel semakin memandangku bingung beserta curiga yang membuatku tersenyum kaku.     “Pizza?” ucapku menawarinya pizza yang berada di tanganku. Azel menggeleng masih menampakkan wajah bingungnya. Sepertinya, dia benar-benar menungguku untuk pergi dari sini. ***     Tetesan air hujan tiba-tiba turun yang membuat semua orang berlari untuk mencari tempat berteduh. Aku pun melakukan hal yang sama.     Matahari yang semula bersinar sangat terang kini telah tertutup awan hitam. Langit yang tadi sangat cerah berubah menjadi kelabu. Aku tak menyangka cuaca dapat berubah secepat ini, tak terduga. Apa mungkin hal ini terjadi juga dengan Azel? Perubahan yang tak terduga terjadi kepadanya. Azel yang dulu sangat mengenalku tiba-tiba melupakanku.     Sekarang aku sedang berada di halte depan kampus. Niatku untuk segera pulang ke kontrakan terhenti karena hujan yang turun dengan mendadak ini. Padahal aku ingin segera beristirahat di kasurku yang sangat nyaman.     “Lula!” panggil seseorang dari arah samping kiriku. Aku menoleh ke arah tersebut. Di ujung sana, kulihat Fanda tengah tersenyum lebar dan melambaikan tangannya ke arahku. Segera aku membalas senyumnya dan berjalan ke arahnya.     Ada beberapa orang yang berteduh di halte ini. Dan satu dari beberapa orang tersebut ternyata adalah Fanda.     “Hai,” sapaku ketika aku sudah berada di sebelahnya. “Nunggu bus, ya?” tanyaku padanya.     “Iya nih, Dari tadi busnya nggak datang-datang. Mana ujan pula. Lo sendiri juga lagi nunggu bus?”     “Enggak, sih. Gue lagi jalan mau balik ke kontrakan. Eh, malah ujan. Ya udah, gue lari ke sini.”     “Kontrakan lo sekitar sini?” tanyanya penasaran.     “Iya. lumayan deket.” Aku tersenyum ke arahnya. “Kapan-kapan silakan main kalau mau.”   Fanda balas tersenyum.  “Wah, boleh-boleh,” timpalnya.     Sembari menunggu hujan reda, kami berdua mengobrol membicarakan banyak hal. Mulai dari perkuliahan, kontrakan, makanan di kantin, sampai Aric. Aric adalah satu-satunya topik yang membuat kami berdua nyambung. Maklum saja, kami berdua sama-sama korban dari kekejaman Aric. Jadi ya, bisa dibilang kami senasib.     “Sumpah, gue pernah hampir disuruh nyebur got gara-gara nggak sengaja nyepak sepatunya sampai kecemplung di got,” ujarnya.     “Terus lo nyebur got?” tanyaku penasaran.     “Hampir.” Fanda menampakkan wajah horror. “Tapi untung ada Azel. Dia nyelamatin gue.”     “Azel?” tanyaku.     Azelku kah yang dia maksud? Azel menyelamatkan Fanda?     “Iya Azel, cowok yang sering bareng Aric. Dia bilang ke Aric kalau bukan gue yang nyepak sepatunya, tapi Kai. Jadilah Kai yang nyebur ke got.”     “Kai?” tanyaku setengah kaget. “Azel numbalin Kai demi lo?”     “Iya,” jawabnya tersenyum kecil. “Azel itu pahlawan anak angkatan gue. Banyak yang dia selamatin dari keganasan Aric. Salah satunya itu ya gue.” Fanda tampak bangga ketika membicarakan Azel.     “Nggak ada yang nyelamatin gue,” ucapku mengerucutkan bibir.     Fanda terkekeh. “Lo kuat. Lo bisa nyelamatin diri sendiri. Buktinya lo masih nggak kenapa-napa sampai sekarang.”     “Apanya yang nggak kenapa-napa. Gue nggak sengaja lihat Aric aja langsung kena bentak.” Aku kembali mengingat kejadian kemarin di perpustakaan. Aric benar-benar membuatku ketakutan sendiri. Mana ada, orang dibentak-bentak cuma karena tak sengaja melihatnya.     “Lhah, ngapain juga lo lihatin dia? Lo naksir Aric?” tuduhnya yang langsung membuatku menggeleng.     Jangan sampai aku naksir orang kelewat gila macam Aric. Bisa-bisa hidupku berubah menjadi neraka.     “Nggaklah. Gue masih waras,” kilahku. “Kelakuannya cuma bikin orang yang liat dia bilang 'amit-amit'. Mana mungkin gue naksir sama orang kayak gitu.”     Fanda tergelak. “Lo beneran dendam sama Aric kayaknya.”     “Iya dong dendam. Dia jahat gitu,” ucapku kesal. Kini kenangan tak mengenakkanku yang berhubungan dengan Aric bermuculan di kepalaku. Kenangan yang terlewat pahit, juga memalukan.     “Ya udah, lo jauh-jauh aja dari dia.”     “Iya, gue juga nyoba jauh-jauh dari dia. Tapi ya gimana, orang satu kampus juga. Satu jurusan. Kayaknya setiap sudut kampus itu ada Aric.”     Kembali aku mengingat pertemuan tak sengajaku dengan Aric. Dan rasanya, setiap tempat yang kudatangi pasti ada sosok Aric di sana. Apakah Aric menguasai jurus seribu bayangan milik Naruto? Kadang aku suka heran sendiri.     “Iya, Aric orangnya suka kelayapan nggak jelas.”     “Lo sendiri gimana? Sering ketemu juga sama Aric?” tanyaku penasaran.     “Iya. Bodohnya malah gue satu UKM sama Aric,” jawab Fanda mengerlingku. “Lo jauh-jauh saja dari UKM yang diketuai oleh Aric.”     Aku mengguk setuju. “Oke.”     Ya, tentu saja aku akan jauh-jauh. Aku tak mau satu organisasi dengan Aric. Apalagi jika dia adalah ketuanya. Bisa habis aku di sana.     “Eh, busnya udah dateng. Gue duluan ya, Lul.” Fanda berdiri dari posisi duduknya, menatap ke arah bus yang sedang berhenti di depan halte. Setelahnya, ia pergi menaiki bus tersebut.     Ngomong-ngomong, Fanda ikut UKM apa, ya? Sebaiknya aku tidak mengikuti UKM yang diikuti oleh Fanda agar aku terbebas dari Aric.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD