Bab 7

2543 Words
    Sepertinya, malam ini akan kuhabiskan dengan meratapi nasib sialku seharian ini. Diuber-uber Aric benar-benar mimpi buruk sepanjang masa. Baru beberapa hari kuliah di sini hidupku sudah jungkir balik tak keruan.     Tok ... tok ... tok....     pintu depan diketuk yang membuatku terlonjak kaget. Aku tak tahu siapa yang bertamu malam-malam begini. Atau jangan-jangan itu Aric? Mampus! Tapi bagaimana Aric tahu alamat kontrakanku?     Apa yang harus kulakukan sekarang!     Tok ... tok ... tok....     Jika akan berakhir diteror seperti ini, lebih baik tadi aku diam dan tidak lari. Aku benar-benar menyesal.     Apa mungkin, sebaiknya aku diamkan saja ketukan di pintu tersebut dan pura-pura sedang tidak ada di rumah? Atau sebaiknya aku buka pintu itu dan langsung menyerahkan diri, damai.     Dengan ragu-ragu aku berjalan menuju ruang tamu. Jantungku kini sudah berdegup sangat kencang seperti ingin meloncat dari dalam rongga dadaku. Lihatkan, jantungku saja mau kabur membayangkan Aric mengetuk pintu rumahku.     “Lul, lo di dalam kan? Buka dong,” seru suara dari balik pintu.     Itu suara cewek. Tanpa sadar aku sudah mengembuskan napas lega mengetahui bahwa yang di depan pintuku itu bukanlah Aric, melainkan ... mungkin Winni. Suara tadi mirip suara Winni.     Segera kubuka pintu di hadapanku. Dan benar. Winni kini sudah berdiri di depan pintu dengan tatapan kesal.     “Astaga, gue ngetuk pintu lo dari tadi banget nggak dibuka-buka,” gerutunya sebal seraya meniup poni yang menutupi dahinya.     “Habis lo ngagetin aja. Gue kira lo Aric tau,” balasku mempersilakan Winni memasuki kontrakanku.     Kini aku dan Winni sudah berjalan menuju ke ruang tengah, di mana TV yang tadi tengah kutonton masih menyala.     “Aric? Kenapa lo ngira Aric?” tanya Winni bingung seraya menghempaskan diri  ke sofa. Aku pun ikut duduk di sofa bersebelahan dengannya.     “Dari tadi sore gue udah jadi buruannya Aric,” jawabku sambil mengembungkan pipi, menahan kesal.     “Kok bisa?” tanyanya lagi penasaran.     Dan akhirnya, aku menceritakan mengapa Aric sampai memburuku. Setelah Winni mendengarkan kisah tragisku tadi, ia langsung tertawa terbahak-bahak. Mungkin baginya penderitaaku sangat lucu, penuh dengan humor.     “Udah deh, nggak usah ngetawain,” kataku dengan decakan sebal.     Tawa Winni masih bertahan. “Habisnya, lo sial banget kalau ada Aric,” ucapnya yang memang adalah sebuah fakta.     Aku hanya bisa menghela napas kasar. Tak tahu juga kenapa aku bisa sial jika bertemu dengan Aric.     “Eh, lo ngapain malam-malam gini ke sini?” tanyaku bingung.     “Oh itu, gue mau ngajakin lo ke kampus buat nonton acara penyambutan mahasiswa baru. Kan ada beberapa band yang manggung.” Winni tampak bersemangat.     Malam ini memang ada acara penyambutan mahasiswa baru. Kalau tidak salah, ada salah satu band Ibu Kota yang akan menjadi bintang tamu untuk acara malam ini. Tapi aku benar-benar tidak berminat dengan acara-acara seperti itu.     “Nggak ah, males,” kataku mengalihkan pandanganku ke arah televisi yang sedang menampilkan iklan minuman rasa buah. “Gue mending tidur aja daripada nonton acara begituan.”     “Seru tau Lul acaranya. Ayoooo ... nonton dong, sama gue,” katanya setengah merengek.     Aku menggeleng malas. Tanganku kini sudah sibuk dengan remot TV. Mencoba mencari acara yang bagus.     “Lul, ayo.” Winni sudah masih merengek kepadaku.     bukan tak mau juga sih. Tapi aku takut jika nantinya di acara yang kurasa akan sangat ramai itu malah bertemu dengan Aric lagi. Jadi, kurasa aku akan lebih aman jika berada di rumah dan tidak menghadiri acara tersebut.     “Nggak mau. Pokoknya gue nggak mau.” Aku menggelengkan kepala seraya melirik Winni.     “Ayo Lul,” katanya lagi. “Please!”     “Nggak.”     “Ayo Lul.” Winni menggoyang-goyangkan lenganku, kembali merengek.     “Nggak.”     “Ayo Lul.”     “....”     “Ayo Lulaaa.”     “....”     “Ayo Lul.”     “....”     “Ayooooooo Luuuuuuuuuul.”     Ya Tuhan. ***     Kampus malam ini terlihat begitu ramai. Banyak orang yang berada di sini untuk sekedar nongkrong atau menonton acara konser.     “Win, gue nggak punya tiket masuknya,” kataku setengah berteriak kepada Winni yang berada di sebelahku. Suara musik yang mengalun keras dari arah lapangan membuatku harus berteriak-teriak untuk berbicara. Kini kami berdua tengah berjalan menuju lapangan di mana acara digelar. Dan setahuku, hanya orang-orang yang memiliki tiket masuk yang boleh memasuki area tempat tersebut.     “Tenang, gue udah beliin kok buat lo,” jawab Winni tersenyum lebar kepadaku.     Mendengar Winni mengucapkan hal tersebut membuatku lemas seketika. Aku benar-benar tak ingin berada di sini. Aku takut jika bertemu dengan Aric lagi.     Kurasakan bahuku ditepuk dari belakang yang membuatku terlonjak kaget. Aku menoleh dan kudapati Kai sedang tersenyum lebar ke arahku.     “Kaget gue,” kataku memegang dadaku, merasakan detakan jantungku yang mencepat.     “Lhah, kenapa kaget?” tanya Kai seraya merapikan jambul di kepalanya. Aku sempat berpikir jika Aric-lah pelakunya.     “Ya pokoknya kaget,” balasku tak acuh.     Kai tertawa mendengar ucapanku.     “Lo ngapain sendirian?” tanyaku pada Kai. Kukira Kai akan ke sini bersama teman perempuannya, entah siapa pun orangnya. Atau kalau tidak mungkin bersama gerombolannya yang beberapa hari yang lalu meledekku.     “Tadi gue sama Aric,” jawabnya yang membuat mataku melebar. “Tapi dia ninggalin gue gara-gara gue berisik kayak kucing kawin.”     Seketika Winni tertawa mendengar ucapan Kai. “Emang lo berisik kayak gimana sampai ditinggal Aric?” tanya Winni di sela tawanya.     “Gue nyanyiin Aric lagu dangdut,” jawab Kai cengengesan. "Selamat malam, duhai kekasih. Sebutlah namaku, menjelang tidurmu....”     Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan ajaib Kai. “Eh, lo berdua tunggu sini ya. Gue ke toilet sebentar,” kataku pada Kai dan Winni.     Kai masih menyanyikan lanjutan lagu tersebut dan menganggukan kepala. Winni dengan tawa yang terbahak-bahak juga menganggukkan kepalanya ke arahku. Kemudian aku meninggalkan mereka berdua untuk pergi ke toilet. Aku ingin mencuci mukaku agar tidak mengantuk. Karena sekarang, rasanya aku benar-benar ingin tidur. Aku capek.     Ketika hendak belok ke lorong di mana toilet berada, tiba-tiba kulihat sosok Aric berjalan ke arahku. Tuh kan, ketemu Aric lagi. Sebaiknya aku segera lari sebelum Aric melihatku. Aku harus kabur!     Aku berbalik dan langsung berlari mengurungkan niat untuk ke toilet. Aku berlari sekencang yang kubisa.     Bruk!     Kini tubuhku sudah jatuh karena menabrak seseorang. Pantatku rasanya sakit karena membentur lantai. Ada apa sih, antara aku dan nasib sial? Kok kayaknya berjodoh terus?     “Lula? Lo nggak apa-apa?” tanya suara di hadapanku. Segera aku mendongak dan kulihat Azel tengah mengulurkan tangannya ke arahku.     Akan kutarik lagi omonganku tadi. Ini bukanlah sebuah kesialan. Ini anugrah. Jatuh dengan p****t terbentur lantai adalah sebuah anugrah jika setelahnya aku bertemu dengan Azel.     Terima kasih, Tuhan.     “Nggak apa-apa,” jawabku tersenyum ke arahnya. Kuterima uluran tangannya, Azel menarikku, membantuku untuk berdiri.     “Lo ngapain lari-lari?” tanyanya bingung.     Karena Aric, Zel. Selalu karena Aric. Semua hal yang berhubungan dengan lari-larian pasti penyebabnya adalah Aric.     “Nggak ngapa-ngapain,” jawabku cengengesan.     Mungkin aku harus berterima kasih kepada Winni karena mengajakku ke sini. Karena jika tidak, aku tak akan bertemu dengan Azel malam ini.     “Azel!” teriak suara dari arah belakangku. Kontan jantungku berdegup kencang ketika sadar bahwa itu adalah suara Aric.     “Lo lihat Pinka nggak?” tanya Aric. Suaranya terdengar semakin dekat.     Gawat!     Segera aku berjalan dan bersembunyi di belakang Azel. Bahkan sekarang sudah kupegangi punggung Azel agar ia tidak berbalik ataupun menyingkir dari hadapanku.     “Lo ngapain di belakang gue?” tanya Azel kebingungan. Kepalanya menoleh ke arahku.     “Udah sana, jangan noleh ke gue. Hus ... hus!” kataku kepadanya.     Aku hanya tak ingin membuang kesempatan mengobrol dengan Azel. Dan aku tak akan membiarkan Aric merusak kesempatanku ini.     “Lo lihat Pinka, nggak?” tanya Aric lagi yang sepertinya sudah berada di depan Azel. Untung pencahayaan di koridor ini tak begitu terang. Beberapa lampu bahkan mati. Jadi, aku agak lega karena kemungkinan Aric tak akan menyadari keberadaanku.     “Nggak lihat,” jawab Azel singkat.     “HP gue kebawa sama Pinka tadi.”     Setiap kali Aric bersuara, jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Rasa takut langsung melingkupiku. Dalam hati aku berdoa agar Aric segera pergi, jadi aku bisa mengobrol lebih banyak dengan Azel.     “Di belakang lo itu siapa?” tanya Aric tiba-tiba. Kini badanku sudah menegang karena ketakutan.     “Nggak. Nggak ada siapa-siapa kok,” jawab Azel dengan santai.     “Pinka, ya?” tanya Aric lagi yang membuat Azel sedikit mundur, seakan menutupiku.     “Bukan.”     “Oh, Fanda pasti.”     Kini kucengkram kaos yang dipakai Azel agar aku dapat mengikuti gerakannya dengan mudah.     “Bukan Fanda,” jawab Azel lagi.     “Atau—”     “Bukan juga. Bukan siapa-siapa, Ric,” sahut Azel memotong perkataan Aric.     “Nggak percaya,” kata Aric terdengar curiga.     Tiba-tiba kurasakan tangan kananku ditarik dari arah depan. Karena kaget, aku langsung menjerit.     “Oh, ternyata—”     “Nggak! Bukan!” kataku panik. Aku masih mencoba menarik tanganku kembali.     “Ya, lo itu­—“     “Bukan!” teriakku kembali memotong ucapan Aric.     Aku dan Aric masih saling tarik. Ia masih mencoba menarik tangan kananku agar aku keluar dari persembunyianku—belakang Azel. Tangan kiriku mencegkram erat kaos Azel, mempertahankan posisiku yang masih di belakangnya. Bahkan kurasakan Azel membantuku menarik tangan kananku dari Aric. Aku dari tadi berteriak-teriak menyerukan kata 'nggak' menolak tarikan tangan Aric. Hingga pada akhirnya, tarikan Aric membuatku tertarik ke depan dan mengakibatkan Azel terdorong ke arah Aric membuat mereka berdua jatuh. Azel menimpa Aric dan aku pun ikut jatuh ke depan karena tarikan tangan Aric sehingga tubuhku menimpa Azel.     “Lo berdua udah deh, nggak usah lari-larian kalau ketemu!” seru Azel terdengar kesal. ***     Aku menunduk dalam. Rasanya ingin sekali aku kabur dari sini.     “Udah malam banget, nih. Gue balik duluan, ya?” kataku seraya berdiri dari posisi dudukku.     “Duduk,” perintah Azel yang duduk di sebelahku.     Segera aku kembali duduk dan takut-takut memandang ke arah depanku, di mana Aric berada. Aric kini memandangku tajam dengan tatapan penuh tanda tanya.     Sekarang kami bertiga tengah duduk di salah satu bangku di taman kampus. Tempat ini tidak begitu ramai karena kebanyakan anak sedang berada di lapangan, menonton konser. Juga, lokasinya agak jauh dari panggung konser yang berada di lapangan depan. Jadi, suara riuh tidak terlalu terdengar dari sini.     “Lo berdua kenapa, sih? Kalau ketemu pasti lari-larian.” Azel kini memandangku dan Aric bergantian.     “Tanya dia, Zel,” jawab Aric menunjukku dengan dagunya.     “Kok gue?” tanyaku bingung.     “Kan lo yang selalu lari kalau ada gue.”     Ya bagaimana tidak lari, kalau setiap bertemu dengannya aku selalu kena bully.     “Kan lo yang selalu ngejar-ngejar gue. Makanya gue lari,” kataku dengan suara yang semakin mengecil karena terintimidasi oleh tatapan Aric yang begitu dingin. Entah kenapa, sekarang rasanya aku seperti sedang disidang. Tapi aku salah apa?     “Gue ngejar-ngejar lo? Nggak kebalik?” tanyanya santai dengan wajah meremehkan.     Aku mengernyitkan dahi, kebingungan. Seingatku, aku tidak pernah sekali pun mengejar-ngejar Aric. Bahkan membayangkan mengejar-ngejarnya saja tidak pernah. Bagaimana bisa Aric menuduhku mengejar-ngejar dirinya?     Aric mencondongkan tubuhnya ke arahku yang membuat mataku membulat karena takut serta waspada. Wajahnya datar tanpa ekspresi.     “Lo suka kan sama gue?” tuduhnya dengan kepercayaan penuh.     “Suka?” tanyaku memastikan bahwa apa yang kudengar tidaklah salah.     Aric diam, tak menjawab pertanyaanku. Tapi dari tatapannya, aku tahu bahwa ia mengiyakan pertanyaanku.     “Haa?” Aku menatapnya tak percaya. Bahkan mulutku sudah terbuka karena terlalu kaget dengan tuduhannya itu.     “Nggak usah pura-pura sok kaget,” katanya menunjukku dengan telunjuknya, “lo suka kan sama gue,” lanjutnya semakin mendekatkan telunjuknya ke arah pipi kiriku, “maka dari itu, lo selalu ngekorin gue ke mana pun gue pergi.” Kini telunjuknya sudah menempel ke pipi kiriku yang membuatku tersentak.     Segera aku menggelengkan kepala. Kusingkirkan telunjuknya dari pipiku, dan kemudian kuusap pipiku dengan punggung tanganku. Kepalaku kini menoleh ke arah Azel yang ternyata sedang memandangku dengan kening berkerut seolah mempertanyakan ucapan Aric.     “Gue nggak suka sama dia, Zel. Serius. Demi apa pun deh, suer!” kata cepat-cepat kepada Azel.     “Bohong aja terus,” sindir Aric yang membuatku menoleh ke arahnya. Kini ia sudah tersenyum licik ke arahku. Sepertinya dia menikmati menyiksaku seperti ini.     Dosa apa yang telah kuperbuat sehingga aku dipertemukan dengan makhluk seperti Aric, ya Tuhan?     “Gue nggak bohong!” kataku memandang Aric kesal.      “Oh yaaaa?” tanyanya santai. “Kalau nggak bohong, kenapa suka banget ngekorin serta ngelihatin gue secara diam-diam?”     Aku menatapnya kaget. “Apa?” tanyaku hanya untuk mengkonfirmasi jika apa yang kudengar tadi sungguhan.      “Dia suka ngekorin lo?” tanya Azel kepada Aric. Aric mengangguk santai. Tatapannya masih tertuju kepadaku.     Sejak kapan aku suka ngekorin Aric?     Selama ini, pertemuanku dengannya itu karena ketidaksengajaan. Aku tak pernah sekali pun meniatkan diri untuk mengikutinya.  Semua pertemuan kami hanya kebetulan.     “Jadi, jadi lo suka sama Aric?” tanya Azel kepadaku. Aku memandangnya dan langsung menggeleng. Bahkan aku memasang wajah jijik ketika Azel melontarkan pertanyaan itu.     “Masih nggak mau ngaku. Dasar,” cibir Aric yang membuatku segera menoleh ke arahnya. "Kalau lo nggak suka sama gue, kenapa lo pura-pura pingsan di depan gue pas ospek dulu? Lo pengen narik perhatian gue kan?”     “Itu kan—“     “Dia pura-pura pingsan di hadapan lo?” potong Azel dengan nada tidak percaya yang dibuat-buat..     “Yap,” balas Aric masih dengan nada santai menyebalkannya.     Itu pura-pura pingsan karena aku tidak mau dihukum sama Aric! Pura-pura pingsanku bukan sengaja untuk menarik perhatian Aric.     “Gue juga pernah mergokkin dia ngelihatin gue terus pas di perpustakaan,” kata Aric lagi.     “Nggak! Gue nggak—”     "Oh, lihatin Aric di perpustakaan. Wah Lula curi-curi pandang,” goda Azel yang langsung membuatku menggelengkan kepala.     Waktu di perpustakaan dulu kan aku curi-curi pandangnya ke Azel, bukan ke Aric. Kenapa jadi Aric yang kepedean begini?     “Dia juga masuk sinematografi pasti karena dia tahu gue di sana,” kata Aric mengacungkan telunjuknya ke arahku.     “Sumpah, enggak! Gue—”     “Nah, gue juga baru ingat. Kemarin itu Lula nanyain lo ke gue pas di lapangan.” Azel menoleh ke arah Aric yang membuat Aric mengangguk-anggukkan kepala, seperti merasa bahwa tuduhannya itu benar.     Kenapa jadi salah paham begini?     “Ngaku aja kenapa,” komentar Aric.     “Iya, mending ngaku aja, Lul. Kali aja Aric juga suka sama lo.” Azel menepuk pundakku dan terkekeh.     Dari awal, yang kusuka itu Azel. Semua kesialanku selama ini juga demi Azel. Tapi kenapa Azel sama sekali tidak sadar dengan perjuanganku ini? Kenapa dia tidak peka?     “Dia bukan tipe gue,” balas Aric memandangku dengan tatapan tidak minat.     “Lo punya tipe?” cibir Azel.     “Punyalah ..., yang nggak kayak dia.” Aric menunjukku dengan dagunya.     Aku hanya bisa menghela napas kasar mendengar tuduhan dan hinaan yang terlontar dari mulut Aric.     “Loh, emang Lula kenapa? Dia cantik kok, Ric,” kata Azel kembali menepuk pundakku.     “Zel, udah. Nggak usah bikin perkara baru,” tegurku memandang Azel kesal. Azel hanya terkekeh mendengar teguranku.     Mungkin bagi Azel melihatku dibully Aric seperti ini sangatlah menghibur. Tapi bagiku, ini sangat menyebalkan. Kenapa Azel tidak membantuku? Kenapa dia malah ikut menyiksaku seperti ini?     “Bodo amat sama lo berdua,” kataku menatap Azel dan Aric bergantian. Aku sudah tak tahan lagi mendengar ejekan demi ejekan yang terlontar dari mulut Aric maupun Azel. “Gue mau balik!” Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka berdua. Tak kupedulikan panggilan Azel. Aric sendiri membiarkanku pergi dengan damai. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD