Dua Minggu yang lalu...
"Saya Terima nikah dan kawinnya Mutiara Azahra binti Arman Yusuf dengan Mas kawin 27 gram emas, uang tunai seratus juta rupiah, dan seperangkat alat sholat di bayar tunai."
Lautan manusia yang menggunakan pakaian berwarna putih di sebuah halaman yang luas, kompak mengucap kata sah ketika seorang laki-laki bernama Khavi Bintang Argantara 26 tahun mengucap ijab qabul untuk menikahi seorang wanita muda bernama Mutiara Azahra. Wanita muda yang usianya tujuh tahun lebih muda darinya.
Khavi dan Zahra sudah di jodohkan sejak satu tahun lalu, saat Zahra masih duduk di bangku tingkat SMA, lebih tepatnya, beberapa hari setelah Khavi meniduri Vanya untuk pertama kalinya. Perjodohan itu bukan sebuah paksaan, keluarga Khavi hanya menyarankan, hanya saja Khavi berat untuk menolak. Ia segan pada Kakeknya Albara Gustian Aditama yang sudah tua dan mengingunkan dirinya menikah. Saat itu, harapannya hanya satu agar perjodohan itu tidak terjadi, yaitu dengan Zahra yang menolaknya. Sayangnya harapan Khavi pupus setelah tahu yang pertama menyetujui perjodohan itu justru Zahra, dengan alasan yang bagi Khavi sangat egois. Dan pernikahan mereka hari ini terjadi setelah perdebatan panjang mereka satu tahun yang lalu.
"Pernikahan yang terjadi bukan karena keinginan untuk membina sebuah rumah tangga saya pikir bukan sesuatu yang baik untuk di lakukan Zahra."
"Aku mohon Mas, aku butuh pernikahan ini supaya aku bisa meraih cita-citaku. Aku bahkan sudah susah payah berusaha mendapatkan beasiswa supaya bisa kuliah tanpa mengeluarkan banyak biaya. Abi sama Umi menentang cita-citaku, tapi aku yakin mereka tidak akan bisa menentang keputusan Mas Khavi seandainya sudah jadi suamiku nanti."
"Tapi saya keberatan Zahra. Kamu cari laki-laki lain saja."
"Tapi pilihanku hanya jatuh pada Mas Khavi. Kenapa Mas Khavi menolak, apa ada pacar?"
"Tidak, tapi saya belum ingin menikah selain dengan wanita yang saya cintai."
"Baiklah kalau Mas Khavi keberatan, aku akan menyerahkan kelangsungan perjodohan ini sama Mas Khavi, tapi dengan catatan Mas Khavi yang menolak perjodohan ini ke orangtua kita."
"Tidak bisa Zahra, kalau tega sudah saya lakukan."
"Kalau begitu tolong aku, Mas. Aku janji dalam pernikahan kita tidak akan menuntut apapun, termasuk nafkah lahir dan batin. Tapi aku tidak akan menolaknya kalau Mas Khavi menginginkannya, asal jangan sampai membuatku hamil sebelum cita-citaku tercapai."
Permintaan Zahra membuat Khavi sakit kepala. Terdengar tidak merugikannya, tapi ia takut jika pada prakteknya tidak akan semudah itu.
"Apa kamu yakin tidak akan menuntut apapun dan semua ini akan selesai setelah cita-citamu tercapai?"
"Iya."
"Baiklah, tapi apa kamu tidak keberatan jika dalam perjalanan kita nanti baik sebelum atau sesudah menikah saya ada wanita lain dan mencintainya?"
Dengan cepat Zahra menggeleng. " Aku tidak akan ikut campur urusan itu Mas, cukup aku di izinkan melanjutkan pendidikanku sampai bergelar dokter. Setelah itu, Kak Khavi bahkan boleh menceraikanku dan menikah dengan wanita lain. Atau jika kuliahku belum selesai dan Kak Khavi menemukan wanita yang Kakak cintai dan ingin di nikahi, aku siap di poligami, untuk sementara waktu."
Meski keputusan itu berat di terima Khavi, akhirnya ia menerima perjanjian yang di ucapkan Zahra.
***
"Terimakasih Mas, aku seneng banget hari ini. Rasanya lega banget, akhirnya aku bisa melanjutkan pendidikan dan meraih cita-citaku." Zahra meluapkan kebahagiaannya setelah menjadi istri seorang Khavi Bintang Argantara, bukan karena yang menikahinya adalah cucu pemilik Yayasan dan pesantren tempatnya tinggal, melainkan karena kesepakatan yang sudah mereka buat.
"Zahra, untuk melancarkan cita-citamu, kita tidak akan melakukan malam pertama. Kita juga tidak akan tidur satu ranjang. Sesuai perjanjian yang kamu buat."
"Tidak masalah, tapi kalau Kak Khavi mau, boleh melakukannya, asal dengan cara yang aman." Ucap Zahra dengan wajah memerah. Mendengar banyaknya mahar yang di berikan Khavi untuknya, timbul rasa tidak tega.
"Apapun itu pencegahannya, tidak ada yang bisa menjamin seratus persen, Ra. Oh ya, kamu sudah pilih mau kuliah di Universitas mana?" tanya Khavi berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Udah dong, aku emang udah ada universitas yang kasih aku beasiswa. Dekat juga nggak perlu kost jadi bisa pulang pergi. Tapi Kak Khavi ngomong ke Abi nanti-nanti aja, jangan hari ini biar nggak ketebak ini kemauanku," jawab Zahra.
"Baiklah."
Zahra meremas kedua tangannya. Sebagai wanita yang belajar agama, ia merasa berdosa jika tidak melakukan tugas utamanya sebagai seorang istri.
"Mas?"
"Heum?"
"Beneran nggak mau melakukan malam pertama?" tanya Zahra memastikan.
"Kamu menginginkannya?"
"Hah? Bukan masalah aku pengin atau nggak, tapi bukannya ini kewajiban sebagai seorang istri? Aku jadi merasa berdosa," jawab Zahra.
"Dosa itu kalau kamu menolak Ra, kalau saya ikhlas buat tidak menyentuh kamu, nggak masalah."
"Beneran? Emangnya Mas Khavi nggak penasaran sama rasanya? Nggak apa-apa banget loh kalau emang mau, melakukan itu sekali dua kali nggak mungkin bikin aku hamil."
Khavi menyentil kening Zahra lembut.
"Ingat perjanjian kita satu tahun lalu, dan jangan sok tahu kamu. Kalau emang kamu pengin banget nerusin kuliah, fokus belajar aja dulu. Kuliah di bidang kedokteran kalau di seriusin itu cukup berat, Ra. Ini juga bukan masalah kalau punya anak akan menghambat cita-cita kamu, tapi urusan ranjang bisa mengubah jalan pikiran seseorang. Hal seperti itu bikin ketagihan Ra, bisa jadi kamu akan merelakan cita-cita kamu demi bisa ngamar siang malam."
Zahra melotot mendengar kata-kata laki-laki yang kini bergelar suaminya. "Ih, nggak mungkin aku segitunya." Ucap Zahra tidak terima.
"Kamu ngomong begitu karena belum pernah merasakan."
"Emangnya Mas Khavi udah?"
"Saya sudah dewasa Ra, sudah lebih banyak belajar soal begituan."
"Belajar secara teori atau praktek?" tanya Zahra penasaran.
"Ck, rahasia, anak sekecil kamu tidak perlu tahu."
"Kecil-kecil begini udah jadi istri orang."
"Istri yang nggak tulus karena menikah untuk kepentingan kamu sendiri. Ingat, pernikahan ini kamu yang memintanya, dan saya harap kamu tidak lupa dengan perjanjian kita."
Zahra tersenyum ringan, untuk saat ini mungkin dia masih bisa tertawa dan menjadikan situasi pernikahannya menjadi bahan candaan. Tapi apakah benar ia bisa menerima saat tahu laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya memiliki dan menyentuh wanita lain?