Menghabiskan Waktu Bersama

1436 Words
Setelah menyelesaikan tugasnya, Ryan bergegas menuju toko bunga dengan penuh semangat. Jika sebelumnya tempat itu adalah hal yang paling membuatnya malas untuk mengantar paket ke toko bunga karena Alexa yang selalu berusaha untuk mendekatinya dengan berbagai cara, berbeda halnya dengan sekarang, sejak Zeema hadir dan bekerja di sana. Di tengah perjalanan Ryan merasakan lapar karena siang tadi ia lupa untuk makan dan menerobos waktu istirahatnya agar pekerjaannya cepat selesai. "Laper banget rasanya. Apa aku ajak Zee saja ya untuk makan malam di luar?" gumam Ryan hingga ide itu tercetus. "Ah, iya deh. Mending aku makan bareng Zee biar ada teman ngobrol. Sekalian ada banyak hal yang mau aku tanya sama dia!" ucap Ryan memutuskan. Hingga akhirnya sepeda motor yang Ryan kemudikan tiba di parkiran toko bunga. Pria itu langsung melangkahkan kedua kakinya masuk ke dalam, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Zeema yang seharusnya sudah siap untuk pulang. "Zee, kamu di mana?" "Ryan, aku di sini!" jawab Zeema yang sudah hafal dengan suara Ryan, ia melambaikan tangan saat posisinya tengah mengunci pintu belakang toko. "Kamu sudah siap ya?" "Sudah dong, kerjaan kamu benar-benar sudah selesai ya?" tanya balik Zeema yang kini telah berdiri berhadapan dengan Ryan. "Sudah dong, kalau belum nggak mungkin aku ada di sini. Oh ya, teman-teman kamu yang lain ada di mana? Kok kamu sendirian saja tutup toko?" tanya Ryan yang sejak tadi tak menemukan keberadaan karyawan lainnya. "Oh, mereka sudah pulang sejak 15 menit yang lalu. Sejak awal aku memang kebagian tugas untuk buka dan tutup toko sendirian." "Loh, kok seperti itu sih? Itu namanya tidak adil dong! Masa kamu capek sendirian, yang lain malah datang dan pulang duluan," protes Ryan yang merasa keberatan mendengar jawaban Zeema. "Hei, kamu tidak perlu kaget begitu. Bukankah ini sudah hal biasa untuk karyawan baru sepertiku?" "Tidak, Zee. Dari mana peraturannya karyawan baru mendapat beban lebih berat dibanding karyawan lainnya? Kalian itu sama, sama-sama karyawan di toko bunga ini, seharusnya kalian bekerja sama dan mengerjakan semuanya secara bersama. Jelas aku sangat terkejut mengetahui pekerjaanmu di sini lebih berat dibanding yang lainnya. Kalau aku berada di posisimu, aku pasti akan marah dan protes!" "Ryan, sudah ya. Kamu jangan marah-marah. Lagipula aku tidak masalah kok dengan semua ini. Aku tidak merasa keberatan dan santai saja menjalani semuanya. Mending kita pulang sekarang yuk, kamu pasti capek dan butuh istirahat." Zeema coba meredam emosi Ryan dan mengajak pria itu untuk pergi dari toko tersebut. Ryan yang masih kesal dengan apa yang baru ia ketahui tentang beban Zeema di tempat kerjanya, pria itu pun akan mengajukan protes pada Alexa besok. Kini Ryan mengikuti Zeema yang mengajaknya pergi meninggalkan tempat tersebut. Setibanya di parkiran toko Ryan menyerahkan sebuah helm agar wanita itu kenakan. "Kamu pakai helm ya biar aman." Namun, raut wajah Zeema tampak kebingungan saat menerima helm tersebut. Kedua alisnya saling bertaut ketika menatap ke arah Ryan. "Kenapa, kok bengong?" tanya Ryan yang merasa gemas dengan raut gemas yang Zeema perlihatkan. "Cara pakainya gimana?" Walau dengan ragu Zeema terpaksa bertanya agar tahu cara mengenakan helm tersebut. "Serius kamu tidak tahu gimana caranya pakai helm?" Pertanyaan Ryan langsung mendapat jawaban dengan gelengan kepala Zeema. Ryan pun kembali mengambil helm tersebut dan memakaikannya pada Zeema dengan penuh kelembutan. "Nah, seperti itu caranya pakai helm. Maaf, apa ini pertama kalinya kamu naik motor?" Ryan yang penasaran pun menanyakan hal tersebut. Mau tidak mau Zeema mengangguk jujur bahwa ini pertama kalinya ia naik motor dan memakai helm. "Iya, karena biasanya aku ke mana-mana naik kendaraan umum. Maaf ya kalau aku merepotkan kamu." Ryan terkekeh sekilas setelah mengetahui alasan mengapa wanita itu tak dapat mengenakan helm. "Kenapa harus minta maaf? Kamu tidak salah kok. Ini serius kamu nggak masalah kalau aku ajak pulang bareng naik motor?" "Nggak masalah sama sekali kok. Justru aku senang karena bisa merasakan naik motor bareng kamu. Malah aku yang nggak enak karena harus repotin kamu." "Aku sama sekali tidak merasa direpotkan, jadi sudah ya, jangan bilang nggak enak terus. Ya sudah, naik yuk! Kita jalan sekarang." Ryan mempersilahkan Zeema untuk naik ke motornya. Pria itu sengaja meraih tangan Zeema dan menuntunnya untuk duduk di atas motor. Zeema merasa salah tingkah karena perlakuan Ryan, sejak pria itu mengenakan helm sampai menuntun tangannya. "Ya ampun, kenapa jantungku rasanya menari-nari saat diperlakukan seperti tuan putri oleh Ryan? Bodoh banget sih aku, kenapa hanya perkara pakai helm doang aku sampai nggak tahu caranya! Sungguh memalukan," gerutu Zeema di kedalaman hati. Ia sangat merasa malu, terlebih saat melihat ekspresi Ryan setelah mengetahui jika dirinya tidak pernah naik motor. "Zee, kamu sudah siap 'kan?" tanya Ryan memastikan sebelum melajukan sepeda motornya. "I-iya, Ryan. Aku sudah siap dari tadi." Ryan pun mulai melajukan kendaraannya dengan kecepatan sedang saat keluar dari area parkir toko bunga. Namun, tiba di jalan utama tiba-tiba saja Ryan terpaksa menarik rem kuat-kuat saat seorang anak kecil menyebrang tanpa melihat keadaan sekeliling, membuat Zeema terkejut dan kedua tangannya langsung memeluk erat tubuh Ryan karena takut terjatuh. "Zee, maaf ya. Anak kecil tadi menyebrang jalan begitu saja. Aku hampir saja menabraknya, dan mungkin aku menabraknya jika tidak cepat menarik rem. Kamu baik-baik saja 'kan, Zee?" tanya Ryan yang merasa cemas dengan Zeema yang baru pertama kali naik sepeda motor, akan tetapi ia malah menyuguhkan kejadian yang kurang enak. "Tidak apa-apa, Ryan. Kamu tidak perlu minta maaf, karena aku tahu bukan kamu yang salah. Mungkin anak tadi sedang terburu-buru makanya dia tidak lihat ke kanan dan ke kiri, tapi untung saja kamu mengerem tepat waktu, jadi tidak ada yang terluka." Zeema menjawab tanpa melepaskan kedua tangannya yang masih melingkar nyaman di tubuh Ryan. "Syukurlah kalau kamu tidak kenapa-kenapa. Kalau gitu kita lanjut ya. Kamu teruslah pegangan seperti ini, karena tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di depan sana. Jadi kita harus tetap berjaga-jaga!" titah Ryan sembari mengusap lembut permukaan punggung tangan Zeema yang melingkar di perutnya saat ini. "Oh, astaga. Maaf Ryan, aku tidak sengaja memelukmu. Tadi itu aku benar-benar refleks karena takut jatuh dari motor." Zeema yang beranggapan lain langsung mengurai dekapan tangannya dari tubuh Ryan. Ryan pun bergegas kembali meraih kedua tangan itu dan melingkarkannya di tempat semula. "Aku tidak mempermasalahkan hal itu, Zee. Aku memintamu untuk tetap berpegangan agar aman." "Benarkah? Ta-tapi bagaimana kalau kekasihmu marah jika mengetahui aku memelukmu?" tanya Zeema yang merasa gugup. "Hei, kekasih yang mana? Aku tidak punya kekasih, Zee." "Benarkah? Tapi bagaimana caranya aku percaya jika pria setampan dirimu tidak memiliki kekasih?" Seketika perkataan Zeema membuat Ryan menoleh ke belakang, hingga pandangan keduanya saling bertemu dan bertaut dalam. "Apakah aku baru saja mendengar kalimat pujian?" tanya Ryan dengan tersenyum tipis. "Eh, apa maksudmu?" Perasaan Zeema yang tengah tak karuan saat ini memalingkan wajah Ryan agar kembali menatap lurus ke depan. "Tapi jujur, Zee, aku memang tidak memiliki kekasih. Jadi jangan pernah merasa tidak enak saat kamu berpegangan kuat agar aman selama jalan bersamaku. Sampai di sini kamu paham 'kan?" Ryan coba menjelaskan agar Zeema tak salah paham dan menganggap dirinya memiliki kekasih. "Ok, baiklah. Ayo kita lanjut jalan lagi, nggak enak dari tadi dilihatin orang-orang karena berhenti di sini!" ajak Zeema yang langsung dipatuhi oleh Ryan. Ryan pun kembali melanjutkan sepeda motornya menuju restoran bintang 3 tanpa sepengetahuan Zeema, karena ia memang belum memberitahu wanita itu akan mengajaknya makan malam. Sementara Zeema asik bergumul dengan pergolakan batinnya sendiri begitu mengetahui jika pria yang memboncengnya saat ini belum memiliki kekasih. "Masa sih pria tampan dan sebaik Ryan tidak punya pacar? Apa dia sedang berbohong ya? Ah, aku rasa dia bukan tipe pria tukang bohong. Bahkan dari tatapan matanya saja aku bisa tahu kalau dia adalah seorang pria yang sangat jujur atas setiap ucapannya." Entah mengapa semburat merah muda mulai muncul menghiasi kedua pipi Zeema yang kini tersenyum atas pikirannya saat ini. "Kalau dia memang benar belum memiliki pacar, lalu apakah niatnya mendekatiku saat ini adalah untuk melakukan pendekatan? Kalau memang benar begitu, aku harus menjawab apa jika tiba-tiba dia mengungkapkan cinta dan mengajakku untuk menjalin hubungan? Oh tidak! Kenapa sekarang aku malah berpikir kejauhan dan merasa terlalu percaya diri kalau Ryan menyukaiku?!" Zeema berdecak kesal saat beragam pikiran mulai memenuhi isi kepalanya. Zeema coba menarik napas dalam-dalam dan merilekskan kembali pikirannya. Ia tak ingin berpikir yang tidak-tidak dan menduga hal-hal yang belum tentu benar. "Tenang, Zeema. Kamu harus tenang! Tolong sadar diri sedikit saja dan jangan terlalu percaya diri berlebihan. Sadarlah, di luar sana Ryan dikelilingi banyak wanita cantik yang memuja dirinya seperti yang Alexa katakan, jadi kamu jangan kepedean kalau dia suka sama kamu! Ryan mendekatimu saat ini karena dia hanya ingin berteman, bukan untuk menjalin hubungan spesial!" batin Zeema kembali memperingati hatinya agar dapat terkendali dan tidak asal jatuh hati pada pria yang masih cukup asing dalam hidupnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD