Bill telah mengantarkan Ryco sampai di depan pintu ruang rawat Jeff yang di dalamnya ada Lauren.
"Tuan, ini ruangannya. Silakan masuk, saya akan menunggu di sini."
"Terima kasih, Bill." Dengan sekali gerakan pintu ruangan pun terbuka. Ryco melangkah masuk ke dalam meninggalkan asistennya di luar, hingga pandangannya langsung tertuju ke arah pria yang tampak terbaring payah di atas ranjang pasien, dan wanita yang begitu berarti dalam hidupnya duduk setia menemani suaminya yang sakit.
"Ryco…" Suara wanita itu terdengar lirih saat memanggil nama yang sering ia sebut dalam doa-doanya setiap saat.
Lauren yang selama satu bulan ini merasa hidupnya hampa karena kehilangan putra semata wayangnya yang melarikan diri meninggalkan rumah, seketika bangkit dari duduknya dengan penuh semangat dan tampak berlinangan air mata.
"Mom, bagaimana kabarmu?" tanya Ryco yang tampak tegar tanpa memperlihatkan kesedihan sedikitpun walau sebenarnya ia merasa tersiksa jauh dari wanita yang telah melahirkannya ke dunia karena keinginannya untuk hidup bebas tanpa kekangan.
Seketika Lauren melabuhkan pelukan hangat pada putranya, melepaskan rindu yang tertahan selama satu bulan. Hingga air mata jatuh berderai dari kedua sudut matanya saat ia dapat merasakan sentuhan hangat dari kedua tangan Ryco.
"Mom sangat merindukan kamu, Nak. Setiap saat Mommy selalu mendoakan yang terbaik untukmu di luar sana. Mom selalu minta pada Tuhan untuk selalu melindungimu di mana pun kamu berada. Hari ini Mommy seperti mimpi karena akhirnya bisa bertemu kamu lagi. Kamu kembali tinggal di rumah ya, sayang, Mom mohon. Tolong jangan tinggalkan aku lagi, Nak. Hidupku tidak tenang jauh dari kamu, Ry." Dengan bercucuran air mata Laure memohon pada Ryco, berharap ia dapat meluluhkan hati sang putra yang terlanjur marah pada Jeff yang tidak pernah memberinya kebebasan.
Ryco terdiam, membiarkan sang ibu puas memeluk tubuhnya yang sangat merindukan pelukan itu selama jauh darinya. Hingga akhirnya ia mengurai pelukan itu secara perlahan, lalu menangkup kedua sisi wajah Lauren, menghapus bulir-bulir bening yang membasahi wajah cantiknya.
"Terima kasih karena Mommy selalu mau mendoakan anakmu yang telah melukai hatimu, tapi maaf Mom, aku pulang hanya untuk meyakinkanmu bahwa aku di luar sana baik-baik saja. Aku bahagia bisa lepas dari sangkar emas yang selama ini memenjarakanku. Aku bahagia bisa hidup mandiri dan selalu memutuskan sendiri untuk jalan hidupku ke depannya. Hapuslah air matamu, Mom, aku datang bukan untuk membuatmu terus menangis. Aku mohon, biarkan aku melanjutkan hidup di luar sana tanpa campur tangan Daddy, dan aku harap Mommy mau melepaskanku untuk memilih jalan hidupku sendiri."
"Apa kamu yakin bahagia di luar sana selama hidup jauh dari keluarga? Apa kamu tidak aku memaafkan kami dan kembali ke rumah, memberikan kami kesempatan untuk berubah?"
"Aku tidak marah padamu, Mom. Aku hanya kecewa pada Daddy yang selalu mengatur kehidupanku selama aku hidup di dunia ini. Mengertilah, Mom, biarkan anakmu yang sudah dewasa ini memilih jalan hidupku sendiri. Aku janji, aku akan sukses di luar sana walau tidak terlihat di matamu."
"Mommy tidak mau mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya dengan mengekangmu. Mom ingin kamu bahagia dengan pilihanmu sendiri, tapi seringlah pulang untuk mengobati rinduku padamu, Nak. Mommy kesepian jauh darimu."
"Terima kasih, Mom. Aku akan mengusahakan sering pulang menemuimu, asalkan Mommy sehat terus ya. Jaga dirimu baik-baik dan jangan terlalu memikirkan aku yang baik-baik saja."
Lauren mengangguk dengan penuh harapan dan berusaha mengulas senyuman. Namun, seketika senyuman itu pudar saat Jeff mulai bersuara.
"Daddy tidak akan membiarkan kamu pergi lagi, Ryco. Belajarlah untuk balas budi pada kami yang sudah merawatmu, hingga membesarkanmu. Selama menjadi anak satu-satunya di keluarga Bernard kamu tidak pernah hidup kekurangan. Selama ini aku selalu memberikan yang terbaik untukmu, dan tidak pernah sekalipun aku membiarkanmu untuk hidup dalam kesusahan. Tahu dirilah sedikit."
"Dad…" Lauren coba menghentikan suaminya yang begitu tega mengatakan hal itu pada anak semata wayang mereka, ia merasakan hati Ryco terluka mendengar kata-kata tajam itu terlontar.
"Biar saja, Mom. Biar dia sadar dan tahu diri sedikit. Aku mau membuatnya menjadi anak yang bertanggung jawab agar hidupnya tidak sia-sia setelah aku susah payah membesarkan dia."
"Dad, cukup! Jangan lanjutkan lagi kalimatmu!" pinta Lauren yang tidak sampai hati jika Ryco terluka.
"Apanya yang cukup, Mom? Biarkan saja aku mengatakan semuanya pada Ryco. Dia seharusnya tahu diri dan tahu caranya bersikap. Jangan malah bersikap kurang ajar dan malah membuatmu menangis sepanjang waktu."
Lauren terdiam, ia tak tahu harus bagaimana untuk meredam emosi sang suami yang memang sangat marah pada putra satu-satunya mereka.
"Aku tahu pengorbananmu selama ini, Dad. Makanya aku datang ke sini untuk mengucapkan terima kasih banyak karena kamu sudah mau merawat dan membesarkanku sampai sebesar ini. Terima kasih untuk semua kerja kerasmu untuk membahagiakanku selama menjadi putramu. Sekarang aku sudah besar, aku ingin hidup mandiri dan Daddy tidak berhak untuk mencampur kehidupanku yang sekarang."
"Kenapa tidak berhak? Aku adalah Daddy mu dan aku berhak atas segala kehidupanmu!"
"Tidak, Dad! Aku akan tetap melanjutkan hidupku tanpa kekangan darimu."
"Bisa apa kamu tanpaku, Ryco? Aku tidak yakin kamu bahagia hidup di luar sana tanpa campur tanganku. Jadi lebih baik ikuti perintahku atau aku akan menggunakan kekerasan untuk memberimu pelajaran!" Ancaman Jeff membuat Ryco tersenyum tipis, ia sama sekali tidak takut untuk melawan.
Sementara Lauren menggenggam erat salah satu tangan Ryco untuk membuatnya tenang dan tidak terpancing emosi.
"Ry, tenanglah. Jangan melawan Daddy mu dengan cara kekerasan. Kamu harus sabar ya."
Ryco menatap dalam kedua manik mata sang ibu yang selalu berucap lembut saat berbicara dengannya.
"Mom, jika kamu tidak ada di sini, mungkin aku akan memukul wajahnya beberapa kali untuk membuatnya sadar jika seorang anak pun memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, setelah puluhan tahun lamanya aku harus selalu mengikuti perintahnya."
"Tenang, Ry. Daddy bicara seperti itu karena dia sangat merindukanmu dan ingin kamu kembali ke rumah."
"Tidak, Mom. Aku tidak sudi untuk kembali ke rumah dan menjadi bonekanya lagi. Aku sudah cukup bahagia hidup apa adanya di luar sana. Sepertinya keputusanku untuk pulang salah, Mom. Seharusnya aku tidak perlu kembali hanya karena mendengar kabarnya yang jatuh sakit.*
"Kamu tidak salah, Nak. Apa kamu tidak bahagia bertemu dengan Mommy lagi di sini? Apa selama satu bulan pergi jauh kamu sama sekali tidak merindukanku?" tanya Lauren yang kedua matanya kembali berkaca-kaca. Ia pun merasa tertekan dengan sikap suaminya yang tidak pernah mau mendengarkan keluh kesah Ryco yang selama ini dipaksa mengikuti perintah dari Jeff dan tidak diperkenankan untuk membantah.
"Aku sangat merindukanmu, Mom. Di luar sana aku pun selalu mendoakan yang terbaik untukmu, Mom. Sudah ya, Mom. Lain waktu kita akan bertemu lagi, sekarang aku harus pergi sebelum darahku mendidih mendengar perkataan Daddy yang selalu berucap dengan seenaknya sendiri." Ryco pun menyerah karena ia tidak ingin perdebatan mereka akan terus berlangsung karena ia tak tega membebani pikiran sang ibu jika mendengar pertengkaran mereka di tempat ini.
"Berani kamu pergi meninggalkan ruangan ini walau hanya selangkah saja, maka aku akan membuat hidupmu susah di luar sana. Dasar anak tidak tahu diri!" umpat Jeff yang mengucapkannya dengan penuh penekanan.
"Aku sama sekali tidak takut dengan ancamanmu, Dad. Semoga cepat sembuh ya. Aku pamit!" Tanpa sempat menghampiri sang ayah yang terbaring di ranjang pasien, Ryco pun pergi begitu saja setelah memeluk singkat tubuh sang ibu untuk berpamitan.
"Ya Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caranya agar bisa merubah suamiku? Aku sangat ingin dia benar-benar berubah dan mengikhlaskan Ryco pergi mencari jati dirinya di luar sana. Aku hanya takut jika Daddy serius dengan ancamnya dan benar-benar akan membuat putraku kesusahan di luar sana," batin Lauren sembari memilin jemarinya yang terasa dingin karena sangat mengkhawatirkan Ryco yang ia sendiri tidak tahu di mana ia tinggal.