Vio sampai di depan kamar pondoknya. Tangannya sempat terhenti di gagang pintu, niatnya hendak masuk, tetapi suara lirih dari dalam membuat langkahnya membeku. "Apa yang aku pikirkan, sebenarnya?" terdengar gumaman Jarek dari balik pintu. Suaranya berat, penuh kebingungan. "Aku sudah punya Vio dan sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah. Tapi kenapa, kenapa wajah Nisa selalu terlintas di kepalaku?" Dada Vio berdegup kencang, darahnya berdesir cepat. "Apa iya, aku jatuh cinta padanya?" Jarek kembali bergumam, seolah sedang berbicara dengan dirinya sendiri. "Tidak, itu tidak mungkin. Aku hanya cinta pada Vio, hanya Vio. Tapi ..." ia menghela napas panjang, berat, penuh dilema, "... cinta kan bisa tumbuh pada siapa saja. Bukankah seorang laki-laki bisa berpoligami? Jadi, apa salahnya ka

