9. MoonCake

1554 Words
Tulungagung, 2011.  “Akhhh ….” Sahnum menghembuskan napasnya kasar. Perempuan itu tengah menumpu-kan kepalanya di pembatas besi yang ada di depan kelasnya. Kelasnya berada di lantai dua, membuat pinggiran lantainya terdapat pembatas besi agar murid-murid tidak jatuh.  “Kenapa kamu gak semangat gitu? Gak bawa uang jajan?” tanya Erlan memukul punggung Sahnum dengan kencang. Sahnum hanya mendengus. Erlan sanga tidak tahu suasana hatinya sangat buruk, pasalnya nilainya ulangan hariannya juara satu, tapi dari belakang. Sahnum merasa menjadi murid paling bodooh di kelasnya.  “Avatar, bisakah kamu pindahkan kepintaran Kabiru untukku?” tanya Sahnum menatap langit dengan nanar.  “Heh kalau mau pintar itu belajar, bukan ngerampok kepintaran orang,” ujar Erlan memukul lagi punggung Sahnum dengan bukunya yang ia gulung.  “Kamu gak ingat apa yang dikatakan Kabiru kemarin? Kabiru bilang kalau jangan memukul orang, karena pukulan berulang mengakibatkan peningkatan bahan kimia dalam cairan yang berspekulasi di sekitar otak. Juga berspekulasi di sumsum tulang belakang,” oceh Sahnum.  “Bukan berspekulasi, tapi bersirkulasi,” ucap Erlan dengan kesal.  “Iya itu pokoknya,” ucap Sahnum dengan cemberut.  “Kabiru bilang itu di bagian kepala, kalau di punggung itu tidak masalah. Kayak gini misalnya,” oceh Erlan memukul lagi punggung Sahnum bertubi-tubi.  Bukk! Bukk! Bukk! “Akhhh Erlan kurangajar!” teriak Sahnum mencoba menghindar. Namun bukan Erlan kalau menuruti ucapan Sahnum, Erlan terus memukul punggung Sahnum.  “Woy!” teriak seseorang membuat Erlan dan Sahnum menolehkan kepalanya ke arah pintu.  Di sana Fiya berdiri dengan bersedekap dadaa. Kepala gadis itu mendongak seolah menantang Erlan. Mata Fiya juga menusuk tajam.  “Oh wanita cantik di dunia pada akhirnya datang menolongku,” ucap Sahnum menghela napasnya lega.  “Siapa yang berani bully Sahnum?” tanya Fiya dengan tajam.  Erlan melirik kanan kiri, pria itu menghitung dalam hati … satu … dua … tiga … “Kabuuuur!” teriak Erlan yang berlari ke arah kiri. Fiya dengan cepat mengejar teman satu kelasnya yang sudah menjahati Sahnum.  “Jangan kabur!” teriak Fiya mengencangkan larinya, cewek tomboy itu menarik kerah seragam belakang Erlan dan menariknya kencang hingga membuat Erlan jatuh ke belakang.  “Akhhhh!” teriak Erlan dengan kencang.  “Apa-apaan kamu merundung Sahnum, hah? Kamu pikir kamu hebat sudah memukul Sahnum? Kalau berani pukul aku!” teriak Fiya memukul Erlan dengan membabi buta. teman-teman mereka yang melihat hanya tertawa karena menurut mereka, pertengkaran Fiya dan Erlan adalah pertengkaran terlucu, mereka sudah seperti kucing dan tikus yang saling serang.  “Akhhh!” teriak Erlan saat Fiya menggigit tangannya dengan kencang.  “Fiya, apa kamu ini keturunan vampire?” tanya Erlan dengan kesal. Erlan mencoba bangun, tapi Fiya tidak melepaskan begitu saja.  “Lepasin, Fiya!” ucap Erlan yang sudah merasa kesakitan karena dianiaya Fiya. Ini bukan pertama kalinya Erlan dianiaya oleh Fiya, bahkan ini sudah ke sekian kali. Kalau ada yang merundung Sahnum, siap-siap merasakan keganasan dari Fiya. Teman-teman yang berbeda kelas ada yang pernah membully Sahnum, tapi keesokan harinya langsung menjadi anjing yang patuh karena sudah dicakar oleh Fiya. Fiya lah yang selalu maju paling depan saat Sahnum dirundung.  “Jangan merundung Sahnum lagi!” pinta Fiya.  “Kenapa? Sahnum bukan anakmu,” jawab Erlan yang sengaja membuat Fiya marah. Fiya mengangkat tangannya tinggi-tinggi untuk memukul kepala Erlan, tapi Erlan segera menghindar dan kembali berlari. Fiya berteriak sekencang-kencangnya dan terus mengejar Erlan yang sangat menyebalkan.  “Awas saja kalau kena, aku tidak akan melepaskanmu!” teriak Fiya.  Sahnum semakin menghela napasnya, perempuan itu mengusap wajahnya dengan kasar. Sahnum kembali ke kelas dengan lesu, perempuan itu berjalan menuju ke bangkunya. Kabiru melirik Elya sekilas sebelum fokus pada hp keluaran dari negeri tetangga untuk memainkan game Mario Bros.  Brakk! Kabiru sedikit tersentak saat Sahnum duduk dengan kasar di bangkunya. Sahnum juga menghadapkan kepalanya ke arahnya, itu membuat Kabiru sangat canggung dan merasa diawasi oleh Sahnum.  “Huhhf!” Sahnum menghela napasnya dengan berat, terlihat sekali kalau gadis itu tengah frustasi.  Tit tit tit game over! Kabiru gelapan saat mendengar suara tanda berakhirnya game yang dia mainkan. Kabiru yang awalnya melirik Sahnum pun kini kembali fokus pada hpnya.  “Ahhh kalah,” ucap Kabiru.  “Enak ya orang pintar, main game tetap saja pintar,” celetuk Sahnum. Kabiru menaikkan sebelah alisnya.  “Andai aku yang main game, pasti pelajaran satu menit yang lalu sudah hilang dari ingatanku,” tambah Sahnum lagi.  Kabiru berdehem sebentar, remaja itu bingung untuk menimpali celetukan Sahnum.  “Avatar, bantu aku!” Sahnum terus berceloteh. Sekarang perempuan itu mendongakkan kepalanya dan menatap langit-langit kelasnya.  “Kamu kenapa?” Tidak tahan, Kabiru tidak tahan untuk tidak menanyai Sahnum. Sahnum tampak tidak baik-baik saja di matanya. “Menurutmu kenapa ada murid yang tidak pintar?” tanya Sahnum.  “Ya karena dia bodohh,” jawab Kabiru dengan datar.  “Bukan itu maksudku. Aku menanyakan alasannya,” kesal Sahnum menggebrak mejanya.  “Karena dia malas belajar,” jawab kabiru lagi.  “Kabiru,” panggil Sahnum yang dengan tiba-tiba memutar tubuhnya menghadap ke Kabiru, hal itu jelas membuat Kabiru kaget.  Tangan Sahnum dengan lancang menangkup wajah Kabiru, Sahnum menghadapkan wajah Kabiru untuk menghadap ke arahnya. Kabiru membeku, Kabiru bingung dengan reaksi tubuhnya yang menurut saja saat Sahnum menyuruh wajahnya menghadap ke gadis itu.  “Tatap aku, Kabiru!” pinta Sahnum.  “Lepaskan tanganmu!” pinta Kabiru balik yang kini bisa menguasai tubuhnya. Sahnum pun melepaskan tangannya dari wajah Kabiru. Rasa hangat bekas pipi Kabiru masih terasa di tangan Sahnum.  “Kabiru, lihat aku! Aku tidak malas belajar, setiap hari aku mendengarkan penjelasan guru selama tujuh jam, dan belajar di rumah selama satu jam. Menurutmu kenapa aku masih bodooh?” tanya Sahnum.  “Pertama, kamu salah menghitung jam pelajaran, kedua kamu tidak serius dalam mendengar materi guru,” jawab Kabiru sembari membenahi dasinya.  “Hah?” tanya Sahnum dengan bingung.  “Pertama, kamu di sekolah tidak mendengar materi guru selama tujuh jam. Karena kita masuk sekolah pukul tujuh, memulai pelajaran pukul tujuh lima belas menit. Jam mata pelajaran satu jamnya ada empat puluh lima menit. Satu hari kita ada tiga mata pelajaran, satu pelajarannya ada dua jam. Jadi kesimpulannya kita empat puluh lima menit dikali enam sama dengan dua ratus tujuh puluh menit, bila dijadikan dengan jam maka kamu hanya belajar empat jam setengah. Dan sisa jamnya untuk istirahat pertama dan kedua. Belum lagi keterlambatan guru,” oceh Kabiru yang membuat Sahnum membeo. Bibir Sahnum terbuka dengan mata yang melotot. Sumpah demi apapun kepala Sahnum terasa mau pecah karena bingung dengan analisa teman satu bangkunya.  “Kenapa harus sedetail ini?” tanya Sahnum.  “Karena semua harus dihitung dengan benar, terperinci, dan detail,” jawab Kabiru.  “Apa tidak bisa dibulatkan menjadi lima jam?” tanya Sahnum.  “Tidak. Itu namanya tidak terperinci,” jawab Kabiru yang kembali menghadap ke depan.  “Kamu kenapa menakutkan sekali?” tanya Sahnum bergidik ngeri. Teman sebangkunya ini sangat menakutkan. Sahnum berani bertaruh kalau Kabiru menjadi seorang bos, sudah pasti semua bawahan Kabiru akan bergidik ngeri saat menatap Kabiru. Sudah pasti mereka lebih memilih melihat hantu daripada Kabiru.  Sedangkan Kabiru memalingkan wajahnya berlawanan dari Sahnum. Pria itu mengusung senyumnya sedikit. Kabiru tersenyum seorang diri, dan itu karena Sahnum, teman sebangkunya.  Pukul dua siang bel tanda pulang sekolah berbunyi nyaring. Hal inilah yang ditunggu-tunggu oleh para murid. Setelah ketua kelas memimpin doa, satu persatu murid keluar dari kelasnya. Begitu pun dengan Sahnum yang langsung ditarik oleh Fiya untuk keluar kelas.  “Sahnum, kita minum es di dekat perempatan Tamanan, ya!” ajak Fiya.  “Aku tadi diantar ayah, kita naik apa ke sana?” tanya Sahnum.  “Aku bawa motor, husst!” bisik Fiya.  “Kamu bawa motor?” tanya Sahnum kaget. Fiya menganggukkan kepalanya.  “Kan kamu belum punya Surat ijin mengemudi, kita juga tidak boleh bawa motor,” ucap Sahnum yang bibirnya langsung dibekap oleh Fiya.  Di sekolah mereka ada peraturan kalau tidak boleh membawa sepeda motor sendiri. Harus diantar orang tua, naik sepeda atau bus sekolah yang sudah pasti akan menjemput seluruh murid yang butuh tumpangan “Aku titipkan ke pedagang soto yang ada lima meter dari sekolah, biar gak ketahuan guru,” bisik Elya. Sahnum pun menganggukkan kepalanya.  “Ekhem!” suara deheman membuat Sahnum dan Fiya menoleh. Mereka menatap Erlan dan Caesar yang juga menatap mereka.  “Kita ikut atau kalian akan mampus karena mulut kita akan ngadu ke guru,” ucap Erlan membuat Fiya melotot.  “Ini waktunya buat cewek-cewek, bukan buat laki,” ucap Fiya yang tidak mau Erlan ikut.  “Ayo, pokoknya kita ikut!” ucap Erlan merangkul bahu Fiya, sedangkan Caesar merangkul bahu Sahnum.  “Kita naik angkutan umum saja, kita sambil jalan-jalan ke aloon-aloon. Aku bawa jagung di tas, nanti kita kasih makan burung dara,” ucap Erlan yang menarik Fiya lebih cepat untuk jalan.  Kabiru yang sejak tadi berada di belakang mereka mencoba mencuri pembicaraan mereka, tapi telinga Kabiru tidak bisa menangkapnya. Kabiru mencengkram tasnya dengan erat, dengan langkah berat Kabiru mulai melangkahkan kakinya. Mengekori dari jauh empat temannya yang tampak asik berbicara sembari merangkul pundak layaknya seorang sahabat.  Kabiru ingin seperti mereka, tapi Kabiru tidak bisa. kabiru tidak bisa bergaul, Kabiru selalu merasa minder. terkadang orang yang pintar akan merasa bertinggi hati dan selalu menonjolkan kepintarannya. Namun berbeda dengan Kabiru, Kabiru merasa minder. Karena Kabiru hanya bisa belajar, tidak bisa melakukan hal lain seperti bersosialisasi misalnya. Rasa marah ada di hati Kabiru saat melihat ada pria yang merangkul pundak Sahnum. Kabiru tidak suka itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD