10. MoonCake

2950 Words
Kabiru Setya Fatahila, remaja enam belas tahun yang terkenal pintar dan pendiam. Dari TK, Kabiru selalu menjadi murid kesayangan guru. Penurut, pendiam, pintar dan tidak pernah neko-neko. Sayangnya Kabiru selalu menolak saat guru mengajukan namanya di organisasi sekolah. Saat kebanyakan murid berebut masuk di Organisasi Siswa Intra Sekolah atau Osis, beda dengan Kabiru yang sama sekali tidak tertarik. Padahal kalau Kabiru masuk Osis, Kabiru akan dicalonkan sebagai ketua. Namun lagi-lagi tidak ada sedikitpun niat di hati remaja itu.  Kabiru pulang sekolah dengan menaiki sepedanya. Sepeda cowok yang sepertinya masih baru. Kabiru menatap tersenyum kakinya yang tampak mengayuh sepeda barunya. Kabiru sangat senang bisa memiliki sepeda yang dia impikan. Sebelumnya ke sekolah ia hanya menaiki angkutan umum atau sepeda butut yang rodanya sudah berkali-kali kempes, rantainya sudah berkali-kali putus. Untuk mendapatkan sepeda barunya, Kabiru harus bekerja paruh waktu dan mengumpulkan sisa uangnya setelah kebutuhan rumahnya terpenuhi.  Kabiru yang sempurna hanya bisa dilihat saat di sekolah. Terlepas dari atribut sekolah, Kabiru hanya anak biasa yang hidup di keluarga broken home, anak orang menengah ke bawah yang semuanya serba pas-pasan.  Kabiru tinggal bersama ibunya yang bernama Safa dan adik perempuannya yang bernama Bintang. Usia Bintang sepuluh tahun, gadis kecil yang selalu menemani Kabiru belajar.  Kabiru mengayuh sepedanya ke rumahnya yang ada di kawasan Kedungwaru. Kabiru menghentikan sepedanya di depan rumah kecil yang ada di pinggir jalan. Kabiru memarkirkan sepeda-nya di depan sebelum mengetuk pintunya.  “Assalamualaikum,” sapa Kabiru mengetuk pintunya.  “Bintang, buka pintunya, Sayang. Kakak sudah datang.” Suara ibu Kabiru terdengar membuat Kabiru tersenyum kecil.  Ceklek! Seorang gadis kecil membuka pintu, ia Bintang, adik Kabiru. Bintang mengulurkan tangannya dan menyalami punggung tangan kakaknya itu. Bintang belum bisa berbicara karena gadis kecil itu mengidap penyakit Disartria Akustik, di mana penderita mengalami cedera otak dan membuat kemampuan berbicaranya lambat. Kabiru merendahkan tubuhnya, pria itu mengusap lembut wajah adiknya.  Adiknya adalah anugerah terindah yang Kabiru miliki. Meski semua orang memandang sebelah mata Bintang dan mengatakan kalau Bintang tidak sempurna, tapi bagi Kabiru Bintang adalah adik yang sempurna. Bintang lah alasan Kabiru bekerja keras selama ini. Kabiru yakin suatu saat ia bisa membawa adiknya berobat ke dokter. Untuk sekarang adiknya hanya mengonsumsi obat jalan dari puskesmas.  Disartria akustik menyerang Bintang saat Bintang berumur satu tahun, saat itu Bintang terjatuh dari ranjang dan mengakibatkan kepalanya terbentur hingga cedera.  Saat itu adalah saat-saat tersulit untuk Kabiru. Ayahnya adalah anak orang kaya, neneknya tidak suka saat Bintang lahir dengan keadaan yang katanya memalukan. Cucu orang kaya tapi cacat, kalimat itulah yang selalu diucapkan nenek Kabiru. Ayah Kabiru yang bernama Bahru pun juga suka selingkuh, membuat Ibu Kabiru menggugat cerai. Kabiru tidak keberatan tanpa figur seorang ayah, yang penting ibunya bahagia. Bagi Kabiru, kebahagiaan ibu adalah kebahagiaan anak.  “Bintang sudah makan?” tanya Kabiru pada adiknya. Bintang menggelengkan kepalanya.  “Yuk masuk, kita makan sama-sama,” ajak Kabiru. Namun Bintang menahan tangan kakaknya. Kabiru menatap Bintang mengisyaratkan tanya ‘ada apa? Bintang menunjuk-nunjuk sepeda baru kakaknya, Kabiru menatap bergantian sepeda dan Bintang.  “Bintang mau naik sepeda kakak?” tanya Kabiru. Bintang mengangguk. “Nanti sore kakak ajak kamu jalan-jalan naik sepeda. Sekarang kita makan, dan kakak juga harus bekerja,” ucap Kabiru. Bintang yang notabene sangat pengertian pun menganggukkan kepalanya seraya mengacungkan jari jempolnya.  Saat masuk rumah, harum masakan ibunya pun tercium di hidung kabiru. Ibu Kabiru hanya pekerja serabutan, kalau pagi Ibu kabiru akan berjualan jajan basah di pasar, saat siang akan menerima panggilan jahit dari satu rumah ke rumah. Upah yang lumayan cukup untuk membeli bahan makanan keesokan harinya.  “Kabiru cuci tangan dan ganti baju dulu, baru makan!” ucap Safa menyiapkan makanan di lantai yang sudah digelar tikar.  Sayur bening dan tempe goreng menjadi menu siang ini. Safa bersyukur kedua anaknya sangat menurut dan tidak pernah menuntut apa-apa. Mereka selalu makan apa yang Safa masakan. Bisa membeli lauk pauk saja Safa sudah bersyukur karena biasanya pun beras saja dia terlambat beli karena uangnya yang pas-pasan. Membuat jajan basah untungnya juga tidak sebanyak yang orang duga, belum lagi kalau yang laku hanya sedikit. Namun ia harus melakukannya untuk menambah penghasilannya. Sedangkan menjadi buruh jahit juga tidak setiap hari ada. Terkadang Safa juga akan menjadi buruh setrika. Apapun akan dia lakukan demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk melanjutkan sekolah Kabiru. Meski keadaannya pas-pasan, Safa akan berusaha untuk pendidikan Kabiru. Pendidikan Kabiru tidak boleh putus hanya karena biaya. Safa akan mendukung impian dan cita-cita anaknya. Safa tahu kalau di benak Kabiru terdapat cita-cita yang ingin Kabiru wujudkan. Egois bila Safa tidak merestuinya hanya karena biaya, sebagai orangtua, Safa akan melakukan yang terbaik untuk anak-anaknya. Safa juga tidak membeda-bedakan Kabiru dan Bintang, ia sangat menyayangi keduanya.  Setelah cuci tangan, berganti seragam dan menjalankan kewajibannya, Kabiu segera menuju ke tikar yang sudah digelar untuk makan.  Kabiru masih ingat dulu saat dia kecil, ia akan makan dengan makanan yang enak-enak dan duduk di meja makan yang luas di rumah ayahnya. Kasih sayang nenek dan kakeknya pun selalu membuatnya merasa dimanja. Namun, itu dulu, sebelum akhirnya ia terdampar di rumah kecil yang tidak ada meja makannya. Namun Kabiru memilih di sini daripada ikut ayahnya, karena Kabiru sadar ia lah kekuatan ibu dan adiknya untuk terus bertahan.  Kakek dan nenek Kabiru sangat menyayangi Kabiru dan memaksa tinggal di sana, tapi Kabiru menolak. Kabiru merasa tidak adil saat dia disayangi tapi adiknya selalu digunjing. Kabiru memilih hidup pas-pasan asal bisa menopang ibu dan adiknya.  Setelah makan, Kabiru menuju ke samping rumahnya. Di mana ada satu becak yang selalu Kabiru gunakan seusai pulang sekolah. Kabiru mendorong becaknya ke jalan, pria itu mulai menaiki-nya dan mengayuh becaknya menuju ke aloon-aloon kota Tulungagung.  Seusai pulang sekolah, Kabiru akan menarik becak ke sana untuk menunggu penumpang datang. Penumpang biasanya dari kota sebelah dan akan dia bawa keliling aloon-aloon, melewati perempatan Tulungagung Teater, ke timur melewati Pemda, belok kiri melewati ruko-ruko dan belok kiri lagi melewati perpustakan daerah. Dengan ongkos setiap putaran lima belas ribu rupiah, Kabiru selalu menerimanya dengan rasa syukur yang dalam. Setengah hari ia biasa membawa tiga sampai lima penumpang.  Kabiru tidak pernah mengeluh kepada hidupnya. Ini sudah jalan yang digariskan, Kabiru hanya menjalani. Kabiru tidak apa-apa tidak ikut main bersama teman sebayanya, tidak bermain di warnet atau nongkrong di warung kopi. Yang Kabiru butuhkan saat ini adalah, uang yang banyak untuk pengobatan adiknya.  Kabiru menghentikan becaknya di aloon-aloon, remaja itu mengusap wajahnya dengan lengan-nya yang tersengat matahari.  “Mas!” sapa seorang perempuan sembari menggendong anak kecil.  “Iya, Bu. Mau naik?” tanya Kabiru.  “Iya, Mas,” jawab ibu itu sembari tersenyum. “Silahkan, Bu!” ucap Kabiru. Ibu itu menaiki becak bersama anaknya yang semula cemberut menjadi sangat senang. Kabiru mulai mengayuh becak-nya untuk mengelilingi aloon-aloon.  “Mas ini terlihat masih belia, umur berapa, Mas?” tanya ibu asing itu sembari melihat ke belakang ke arah Kabiru.  “Enam belas tahun, Bu,” jawab kabiru.  ‘“Wah benarkah? Masih sekolah?”  “Iya, sekolah di SMA 1 Tulungagung.”  “Cita-cita menjadi apa, Mas?”  “Menjadi animator,” jawab Kabiru.  Ibu-ibu itu mengangguk. Dalam hatinya teriris pilu melihat anak seusia Kabiru yang sudah bekerja. Seharusnya usia enam belas tahun masih masa pergantian ke masa remaja, di mana seorang anak masih labil-labilnya dan masa nakal-nakalnya, tapi beda dengan Kabiru yang terlihat anak baik-baik.  Mereka terus berbincang-bincang santai, anak kecil yang merupakan anak ibu itu pun juga tampak ikut berceloteh meski dengan bahasa yang tidak bisa Kabiru artikan. Kabiru membelokkan becaknya melewati perpustakaan daerah. Mata Kabiru bersih tubruk dengan mata beberapa temannya yang akan menyebrang dari aloon-aloon ke perpustakaan.  Kabiru melambatkan laju becaknya, teman-temannya tampak menatapnya dengan terbengong. Namun satu yang menjadi fokus Kabiru, yaitu Sahnum. Sahnum menatapnya tanpa berkedip.  Kabiru melanjutkan kayuhannya, pria itu mengayuh becaknya ke tempat semula. Setelah benar-benar berhenti, ibu itu memberikan uang satu lembar lima puluhan. Kabiru ingin memberikan kembalian, tapi ibu itu memaksa Kabiru menerima semuanya.  “Bu, ini kebanyakan,” ucap kabiru.  “Buat kamu saja. Jangan lupa untuk main sesekali sama teman kamu. Oh iya nama Ibu Putri, ibu akan cari kamu satu tahun yang akan datang. Ibu akan bawa kamu meraih cita-cita kamu,” ucap Ibu yang diketahui bernama Putri. Bu Putri itu segera pergi membawa anaknya. Kabiru menatap punggung itu penuh tanya. Ia tidak paham apa maksud Bu Putri.  “Kabiru!” teriak teman-teman Kabiru membuat kabiru menolah.  Dari kejauhan dia melihat Sahnum, Fiya, Erlan, Caesar dan beberapa teman sekelasnya yang lain yang  masih mengenakan seragam.  ***** Siang ini Sahnum, Fiya, Erlan, dan Caesar menaiki angkutan umum untuk menuju ke aloon-aloon. Fiya terpaksa harus mengiyakan Erlan dan Caesar ikut karena kalau mereka dilarang pasti akan mengadu ke guru Bimbingan Konseling dan dia akan mendapatkan masalah. Membawa motor mendapat hukuman point tiga puluh dan panggilan orang tua, bisa-bisa orangtua Fiya akan ngamuk besar.  Saat sampai di aloon-aloon, ternyata teman sekelas mereka banyak yang di sana, membuat mereka berkumpul dan bercanda tawa di samping kolam ikan.  Masa putih abu-abu adalah masa paling indah, di mana saat  itu mempunyai kesempatan berteman dengan orang banyak. Saat ini Sahnum sesekali melempar jagung ke arah burung dara yang langsung membuat burung dara itu berkumpul menjadi satu untuk saling berebut makanan. “Bagaimana kalau kita ke perpustakaan?” tanya Frisly, teman Sahnum yang terkenal ratu julid.  “Ayo yok ke perpustakaan. Biar sesekali dilihat pintar,” jawab Atta dengan antusias. Atta cowok yang kelakuannya sangat minus.  “Ya sudah yok!” ajak Caesar merangkul pundak Sahnum. Mereka berhamburan menuju ke perpustakaan. Namun belum sempat menyebrang, mata mereka membulat sempurna saat melihat teman sekelas mereka tengah mengayuh becaknya.  “Kabiru,” ucap Erlan dan Caesar secara bersamaan. Kabiru mengayuh becaknya lagi dan menghentikan di pangkalan.  Dengan buru-buru Sahnum menarik Fiya untuk mendatangi Kabiru.  “Kabiru!” teriak Sahnum, Fiya, Erlan dan Caesar. Mereka berempat paling semangat menghampiri Kabiru, sedangkan yang lainnya mengikuti.  Kabiru tampak canggung saat ketahuan mengayuh becaknya oleh teman-teman mereka, terlebih Sahnum. Kabiru menduga kalau Sahnum akan memandangnya dengan pandangan mencemooh.  “Kabiru, kamu gak bawa handuk buat usap keringat? Aku ada, ini belum aku pakai seharian,” ucap Sahnum menarik tasnya untuk ia pakai di depan, Sahnum mengambil handuk kecil berwarna pink dan menyerahkannya pada Kabiru. Sahnum biasa membawa handuk untuk mengusap keringatnya saat menulis. Keringat di tangan Sahnum selalu muncul saat menulis dan membuat bukunya kotor.  Kabiru menatap handuk yang disodorkan oleh Sahnum. Pria itu menatap Sahnum yang tampak berharap kabiru menerimanya.  “Belum aku pakai, kok. Keringat kamu banyak, pasti gerah,” ucap Sahnum lagi. Dengan ragu, Kabiru menerimanya. Handuk kecil berwarna pink yang sangat lucu.  “Eh Erlan, botol minumku di tas kamu, kan? Ayo kasihkan ke Kabiru!” pinta Sahnum.  “Tidak perlu,” jawab Kabiru.  “Kabiru aku tidak mengasihanimu, Kok. Aku hanya memberikannya sebagai seorang teman.” ucap Sahnum menatap manik mata Kabiru. Sahnum tahu mungkin Kabiru merasa dikasihani, dan Sahnum tahu Kabiru terlihat seperti orang yang tidak ingin dikasihani.  “Eh Kabiru, kamu yang sempurna di sekolah ternyata kamu hanya tukang becak,” celetuk Atta yang membuat Sahnum, Erlan, Fiya dan Caesar menatap ke Atta.  “Terlihat sempurna di kelas, ternyata hanya tukang becak. Heheh … maaf, aku tidak jadi mengagumimu dan menyukaimu,” ucap Frisli ikut menimpali.  Sahnum menatap tajam Atta, perempuan itu mendorong bahu Atta dengan kencang.  “Kenapa kalau tukang becak, hah?” tanya Sahnum dengan garang.  “Iya tukang becak. Pantas saja tidak pernah mau diajak main,” jawab Atta.  “Jangan menghina pekerjaan orang kalau kamu masih menjadi beban keluarga. Hanya kamu bilang? Tukang becak bukanlah pekerjaan yang hina. Hina lah kamu yang masih minta orang tua tapi tidak pernah bersyukur dengan apa yang kamu miliki. Pergi kamu dari sini kalau kehadiranmu hanya buat orang sakit hati!” desis Sahnum dengan tajam.  “Kenapa kamu membela dia? Bukannya kamu pernah mendapat nilai nol gara-gara dia?” tanya Atta.  “Itu kesalahanku. Sekarang pergi!” bentak Sahnum.  “Sahnum, kamu kenapa sih? Kamu seharusnya tidak dekat dengan Kabiru, karena itu mempengaruhi reputasimu sebagai gadis yang paling disukai teman-teman cowok,” ucap Frisli.  “Kamu juga pergi sana. Kalau punya mulut hanya buat julid, mending gak usah punya mulut!”  “Kamu kok nyolot sih? Aku kan bicara baik-baik. Aku cuma bilang gak jadi suka sama dia.”  “Kabiru juga gak suka kamu!” desis Sahnum dengan marah. Wajah gadis itu sudah merah tatkala semua teman-temannya terus melontarkan kalimat tidak baik untuk Kabiru. Kenapa memangnya kalau tukang becak? Bagi Sahnum itu pekerjaan yang mulia. Mereka tidak mencuri, mereka tidak melakukan tindak kejahatan.  “Sahnum, sudah!” ucap Fiya menarik Sahnum. Kabiru salah menduga, ia pikir Sahnum yang akan mengoloknya. Namun Sahnum membelanya.  “Besok akan jadi topik terpanas di kelas kalau Kabiru tukang becak,” ucap Frisli sebelum mengajak Atta pergi.  “Silahkan saja kalau kalian mau tangan kalian patah satu persatu!” teriak Sahnum dengan kencang. Napas Sahnum memburu, perempuan itu mengambil batu di bawahnya dan akan melemparnya ke arah Atta. Namun buri-buru Kabiru mencegahnya.  “Eh eh eh … jangan!” ucap Kabiru. Erlan pun ikut memegangi tangan Sahnum.  “Lagian kamu kenapa hanya diam? Memangnya kenapa kalau tukang becak? Kamu bekerja halal, tidak nyakitin orang dan malah buat orang senang karena diajak keliling,” oceh Sahnum menatap Kabiru dengan kesal.  Erlan dan Fiya saling berpandangan. Ada apa dengan Sahnum sampai semarah ini?  “Tidak apa-apa,” jawab Kabiru,  “Eh iya, ini minum!” ucap Erlan mengambil botol minum Sahnum yang ada di tasnya. Pria itu menyerahkannya ke Kabiru.  “Tidak perlu repot,” ucap Kabiru.  “Ah gak apa-apa. Minum saja!” paksa Erlan. Kabiru menerimanya, ia menatap botol mineral yang airnya masih utuh. Dengan ragu Kabiru meneguknya. Erlan, Fiya, Sahnum dan Caesar menatap Kabirul. Terbesit rasa kagum di hati mereka pada Kabiru. Ternyata selain pintar, Kabiru sangat pekerja keras.  Suara gemuruh dan kilatan petir menyambar-nyambar membuat mereka menatap ke langit.  “Yah mendung,” ucap Fiya cemberut. Mereka belum puas main di aloon-aloon, tapi keadaan tidak mendukung.  “Iya mendung, kalian pulang saja sebentar lagi hujan,” ucap Kabiru.  “Lalu kamu?” tanya Erlan.  “Aku sepertinya juga akan pulang. Tadi ada rezeki, satu kali narik dapat lima puluh ribu,” jawab Kabiru.  “Ya sudah kita pulang bersama,” ucap Erlan merangkul Kabiru.  “Rumah kita gak sama arah, dan aku harus bawa becak untuk pulang,” kata Kabiru.  “Eh biar aku saja yang goes. Kamu naik sana!” ucap Erlan.  “Enggak usah. Kalian pulang saja,” kata Kabiru.  “Eh ayo kita naik, biarkan Erlan yang goes,” ucap Caesar menarik paksa Kabiru dan mendudukan Kabiru di atas becak. Erlan dengan cepat mendorong becak Kabiru dan mengayuhnya dengan cepat.  “Heh, kita gimana?” teriak Fiya dan Sahnum bersamaan.  “Kejar kami!” teriak Erlan. Fiya dan Sahnum berlari mengejar Erlan, Erlan dengan cepat mengayuh becaknya lebih kencang.  Sahnum dan Fiya berteriak sembari mengejar Erlan, begitupun dengan Caesar yang berteriak menyemangati Erlan untuk menggoes becaknya. Dengan susah payah dan semangat empat lima, Erlan menggoes becaknya untuk meninggalkan Fiya dan Sahnum. Mengayuh becak tidak sesulit yang Erlan bayangkan, dia langsung bisa dan dengan kecepatan tinggi.  “Welk, kejar kami welk!” ucap Erlan mengejek. Kabiru tersenyum, pria itu menatap ke belakang, melihat Erlan yang semangat mengayuh dan kedua gadis yang tengah mengejarnya.  “Erlan tungguin!” teriak Sahnum.  Hujan deras turun dengan tiba-tiba membasahi mereka. Bukan-nya berteduh, Erlan semakin mengayuh becaknya. Erlan dan Caesar tertawa dengan puas, sedangkan Fiya dan Sahnum ikut tertawa melihat ketiga teman cowoknya. Kabiru pun ikut tertawa kecil.  “Hentikan becaknya, giliran aku yang goes,” ucap Caesar. Kabiru dan Erlan turun, mereka menanti Sahnum dan Fiya mendekat.  “Ahh capeknya,” ucap Sahnum dengan ngos-ngosan.  “Ayo kalian naik!” ucap Caesar. Sahnum dan Fiya langsung naik, Caesar mulai menggoes becaknya, sedangkan Kabiru dan Erlan mendorong dari sisi kanan dan kiri.  Kini hujan deras membasahi tubuh kelima orang itu yang sedang tertawa bersama karena menaiki becak dengan kencang. Ketiga cowok itu dengan semangat menggoes dan mendorong becaknya dengan kencang membuat kedua cewek yang sedang naik itu tertawa dengan bahagia. Hujan deras sudah tidak mereka hiraukan, dengan begini mereka sangat bahagia. Untungnya jalanan sangat sepi dan membuat mereka dengan bebas mendorong kencang becak Kabiru.  Untuk pertama kalinya tawa Kabiru terbahak lepas. Ini semua karena teman-temannya yang semula ia jauhi, ternyata mereka semua baik. Sahnum, Fiya, Erlan dan Caesar, mereka sangat baik dan alasan ia tertawa untuk saat ini. “Ayo lebih cepat!” ucap Erlan mendorong lebih semangat.  “Sahnum, Fiya, pegangan!” teriak Caesar.  Tawa lepas dari remaja enam belas tahun itu mengisi jalanan yang sepi yang disertai hujan deras. Tidak mereka hiraukan tubuh masing-masing yang sudah basah kuyup, mereka tertawa bersama, dan saling melempar senyum. Sahnum melirik ke belakang, melihat Kabiru yang tertawa, sangat tampan dari biasanya. Sahnum tersenyum manis, ia bahagia. Sahnum bahagia melihat senyum dan tawa Kabiru, terlebih ia juga bahagia bersama teman-temannya yang mau membela Kabiru.  “Untuk selamanya kita berlima adalah teman baik!” teriak Sahnum dengan kencang. Mendengar teriakan itu membuat Kabiru menatap teman-temannya yang lain.  “Iya, kita berlima adalah teman baik,” teriak Erlan, Fiya dan Caesar menatap Kabiru. Siapa yang menyangka, ada air mata Kabiru di antara air hujan yang turun dengan deras.  Awalnya ia tidak ingin berteman, tapi untuk kali ini ia merasakan kehangatan dari pertemanan.  “Terimakasih,” ucap kabiru dengan lirih, bahkan sampai tidak terdengar di telinga teman-teman mereka. Rasa haru itu ada di hati Kabiru, untuk pertama kalinya ia memiliki teman dan empat sekaligus. Mereka juga bilang kalau saat ini dan selamanya mereka adalah teman baik. Air mata Kabiru bercampur dengan air hujan, cowok yang selalu mengandalkan muka datarnya pun masih sama-sama memiliki hati seperti temanya yang lain, bisa merasakan kebahagiaan dan rasa haru.  Jalanan Kedungwaru kali ini sangat indah, karena Kabiru melewatinya bersama dengan teman-teman baiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD