“Bagaimana hasilnya?” tanya Andre tanpa basa-basi
“Memang dia pelakunya” jawab Bryan kesal, matanya menatap langit-langit ruangan kerjanya yang luas dan tinggi. Mereka berdua duduk di sofa yang terdapat di ruangan kerja Bryan, segelas jus jeruk berada di depan mereka bersamaan dengan beberapa cemilan.
Setelah pertemuan tegangnya dengan pelaku berita hoax, Andre segera datang ke kediaman Bryan dan berniat mengantarkan sanderanya pulang, ternyata Cassandra telah pergi lebih dulu sebelum Andre datang.
“Meskipun begitu, teganya kau membiarkannya pulang sendiri” kata Andre sambil sedikit mendenguskan napasnya kasar.
“Cih, nggak ada urusannya sama gue” jawabnya malas “Tapi gue rasa ada yang salah” kalimat menggantung Bryan membuat Andre penasaran
“Apa? Jangan bilang kau percaya kalau bukan dia pelakunya” terka Andre curiga
“Tidak, hanya gue sedikit heran saat dia bertemu gue tadi. Dia juga terkejut saat membaca namanya sebagai penulis berita itu, seakan-akan dia telah dijebak” sanggah Bryan pelan “Harusnya sedari awal dia mengenali wajah gue saat mata kami bertemu, gue adalah korban berita hoax buatannya”
“Memang apa yang dia lakukan saat bertemu denganmu?” tanya Andre mulai gusar
“Nyapa gue” jawab Bryan malas sambil memutar kepalanya
Andre mengusap wajahnya dengan kasar dan meminum habis segelas jus jeruk di depannya “Lalu bagaimana dengan surat gugatannya?”
“Tahan dulu, minta Apollo untuk tidak mengirimkan berkas itu hari ini” kata Bryan tegas
“Bryan-“
“Perintahkan Apollo dan beberapa orang terbaikmu untuk mencari tahu informasi tentang gadis itu” perintahnya makin tegas
Mau tak mau Andre harus menuruti apa kata sang CEO meskipun Andre sendiri sangat paham seperti apa bosnya, Bryan tidak mau gegabah soal memenjarakan seseorang, inilah salah satu sifatnya yang di kagumi oleh Andre. Meskipun terkenal raja tega di kalangan para pebisnis, tetapi Bryan orang yang sangat adil.
“Baiklah, aku akan kembali nanti” ucap Andre sambil berjalan keluar ruangan Bryan
“Satu lagi, bagaimana bisa kau bertemu dengannya di club?” tanya Bryan tiba-tiba tanpa menoleh pada Andre “Apa kau mengunjungi wanita itu lagi?”
Andre yang berada di ambang pintu seketika mematung mendengar pertanyaan Bryan “Aku sengaja memutar jalan untuk menghindari macet” jawabnya singkat “Kebetulan aku melihat gadis itu keluar dari sana” setelah melanjutkan kalimatnya, Andre langsung keluar tanpa menunggu pertanyaan lanjutan dari Bryan.
*****
Cassandra duduk termenung di balkon apartemen peninggalan teman ayahnya, meskipun sederhana dan tidak banyak perabot, tetapi Cassandra dengan senang hati merawat dan melunasi sisa pembayarannya. Langit siang ini terlihat begitu cerah bagi Cassandra, tetapi bentuk awannya sangat kacau sama saja dengan suasana hatinya saat ini.
Dua jam yang lalu setiba Cassandra di apartemen, pihak perusahaan menghubunginya dan meminta penjelasan tentang berita yang dia buat. Mereka sangat marah karena kini perusahaan media cetak kecil itu terancam akan bangkrut karena pihak Anderson Future Group cepat atau lambat pasti berencana melayangkan gugatan ke pengadilan. Mereka juga mempertanyakan mengapa Cassandra tidak menyerahkannya pada pihak redaktur terlebih dahulu.
Cassandra mencoba menjelaskan apa yang terjadi karena kasus ini hanya kesalahpahaman saja, tetapi pihak pimpinan terlanjur marah besar tidak ingin mendengar ocehannya dan meminta Cassandra untuk berdiam diri di rumah selama seminggu. Cassandra sedang di skors, para pemimpin sedang merapatkan apa yang akan dilakukan jika gugatan dari pihak AF Group terjadi, setelah itu mereka membahas apa yang akan dilakukan pada Cassandra, entah hanya memberinya skors atau memecatnya, mengingat Cassandra baru beberapa hari bekerja disana.
“Aku tidak nafsu makan” gumamnya sambil menumpukan tangan ke pagar pembatas balkon, Cassandra memang lapar, tapi makanan yang telah disiapkannya sejak tadi telah dingin tak tersentuh. Segala permasalahannya datang membabi buta tanpa ampun menghujam dirinya.
“Sepertiya dunia memang bersekongkol untuk membenciku” gumamnya lagi, kini bulir-bulir bening mulai berkumpul di pelupuk matanya siap untuk jatuh kapan saja.
Tiba-tiba handphonenya berdering sangat nyaring, mau tidak mau Cassandra harus mengusap air matanya dan menjawab si penelepon. Cassandra menghenbuskan nafasnya kasar saat tahu siapa yang menelponnya, seseorang yang tidak ingin dia ingat untuk saat ini.
“Halo” ucapnya pelan
“Kau tidak lupa denganku bukan?” ucap seseorang di seberang teleponnya tanpa ucapan salam
“Tidak, aku hany-“
“Waah, kau pandai sekali bersembunyi. Sangat sulit mencari keberadaanmu, heh” katanya lagi dengan nada mengejek
“Rasya, aku-“
“Tapi aku bangga padamu, kau pasti punya banyak uang sekarang. Kau sangat pandai menipu orang, berita hoax buatanmu menghasilkan banyak uang bukan? Pantas saja kau menghindariku selama ini!” pria bernama Rasya itu tidak hentinya mengolok-olok Cassandra dari seberang telepon.
Deg.. hatinya makin remuk mendengar ucapan Rasya
“Apa kau menghubungiku hanya untuk mengatakan hal itu?” tanya Cassandra pelan, ia tidak ingin meladeni sindiran Rasya
“Beri tahu aku alamatmu segera atau perjanjian kita batal” pinta Rasya ketus
“Aku akan kembali sesuai kesepakatan awal, jadi kau tidak perlu datang menemuiku ke Jakarta” jawab Cassandra mencoba tetap tenang
“Gadis bodoh! Apa kau lupa kau telah di-“
“Aku ingat, jadi jangan terus menerus mengatakan hal itu untuk memojokkanku” ucapan Cassandra berhasil memotong kalimat yang tidak ingin di dengarnya dari mulut Rasya “Seperti yang ku katakan sebelumnya, aku akan kembali jika saatnya telah tiba jadi kau tidak perlu khawatir”
Cassandra segera menutup sambungan teleponnya sepihak karena otaknya sangat penuh dengan masalah sekarang, telepon dari Raysa tidak pernah membuatnya bersenang hati, apalagi sekarang semua rekannya dikantor membully dirinya.
Hujan tangis terpecah saat itu juga, air matanya mengalir tak dapat Cassandra hentikan “Hiks.. hiks.. Andai kalian masih disini, aku tidak sanggup menghadapi semua ini sendirian” tangisnya makin menjadi-jadi ketika ia teringat kedua orangutan dan seorang adik lelakinya yang telah meninggal.
*****
“Oooh kepalaku” erang gadis cantik sambil memegangi kepalanya yang masih utuh, kaki jenjang nan mulus miliknya turun dari ranjang besar
“Ya Tuhan, gadis lain akan bangun jika matahari masih tidur” gadis cantik berambut coklat keoranyean menoleh ke sumber suara, ia memutar matanya malas ketika melihat seorang wanita paruh baya bersender di pintu kamarnya
“Lihat sudah jam berapa ini? Matahari hampir terbenam sekarang!” teriaknya makin keras, wanita tadi berjalan cepat mendekat dan menarik tangannya
“Mamaaaa..” ucapnya pelan
Wanita tersebut tidak mendengarkan rengekan keras anak gadisnya, ia menyeret paksa turun menuju lantai satu. Sesampai di lantai satu, Farah menggosok wajah Ellaine dengan air dingin pada handuk basah. Farah tak habis pikir bagaimana bisa seorang gadis baru bangun pada jam satu siang, pakaian yang dikenakan Ellaine pun masih sama yaitu blazer lengkap dengan kemeja dan span pendeknya.
“Mama apaan sih? Sakit tau muka aku” rengek Ellaine manja
“Ellaine!” sapaan berat dari seorang pria dari arah ruang tengah membuat Ellaine bergidik
“Iya, Pa” jawabnya lemah, ia melangkahkan kakinya gontai ke sofa dekat Papanya berada diikuti oleh langkah Mama Ellaine.
“Lihat nih, Pa. Anak kesayangan kamu jam segini baru bangun! Marahin gih!” Farah sangat marah hingga tidak habis pikir lagi, suami gagahnya hanya memandang putri mereka nanar, penampilannya sama sekali tidak mencerminkan seorang pewaris Rumah Sakit Johanson.
“Semalam kamu darimana?” tanya Johanson tajam
“Sudah jelas main kan, Pa” jawab Ellaine malas, ia enggan menatap wajah Papanya
“Ellaine! Lihat kemana kalau sedang bicara dengan Papamu!” bentak Farah
Hal itu malah membuat Ellaine makin jengah berada di sekitar orangtuanya “Memangnya kenapa kalau aku mabuk?” tanya Ellaine ganti, kedua orangtuanya mampak terkejut dengan reaksi yang diberikan putri semata wayangnya, baru kali ini mereka mendengar Ellaine membantah.
“Ellaine, dengarkan Papa”
“Aku bosan mendengar omelan kalian” potong Ellaine dan membuang muka menghindari tatapan kedua orangtuanya
Menghadapi kepala batu Ellaine bukanlah perkara yang mudah, bahkan dengan ancaman pun Ellaine akan mudah membalikkan keadaan
“Baiklah, Papa yang mengalah kali ini” Ellaine tertarik dengan kalimat Papanya barusan “Papa akan menuruti semua yang kau inginkan selama ini Ellaine” sontak Farah yang berada di sebelah Angga terkejut bukan main “Lagi pula kamu sudah dewasa, pasti bisa memilah mana yang terbaik untukmu bukan?” ucapan Angga yang mendadak kalem tidak serta di percayai Ellaine
“Darl!” ucap Farah pelan
“Papa akan mengijinkanmu menjalani profesi pilihanmu” mata Ellaine berbinar sempurna mendengar ucapan orangtuanya “Dengan satu syarat” nah sudah Ellaine duga akan sulit baginya untuk meraih mimpinya
“Berhentilah berhubungan dengan lelaki tak bertanggung jawab sepertinya, maka Papa akan membiarkanmu untuk pergi ke London” kata Angga tegas
Ellaine tahu betul siapa yang sedang dibicarakan Papanya “Tanpa Papa minta pun aku sudah kulakukan” tapi tidak Ellaine pungkiri, kehadiran Dia mampu menghangatkan hatiya dalam sekejap
“Lalu bagaimana bisa dia mengantarmu pulang semalam? Jangan bilang kalian mabuk bersama lagi Ellaine?” gertak Angga marah
“Kami tidak sengaja bertemu di club. Ah sudahlah, Ellaine jelasin kayak gimanapun pasti Papa sama Mama gak bakal percaya” Ellaine mulai kesal karena arah pembicaraan mereka mengarah pada Dia.
“Berjanjilah pada Papamu, Ellaine. Papa ingin kau bertemu dengan orang yang lebih baik dari dia”
Permohonan Farah mulai menggoyahkan hati Ellaine lagi, bagaimana bisa Ellaine melupakan cinta pertama yang begitu ia rindukan? Selama dua tahun ini keadaan Ellaine sangat menyedihkan, beberapa pria mapan siap untuk menikahinya selalu ditolak oleh Ellaine. Entah apa yang ia pikirkan hingga bayang-bayang Dia sangat mempengaruhi kehidupannya.
“Bagaimana dengan pria yang Mama kenalkan dulu itu?”
*****