Koper yang Tertukar

1115 Words
Satu jam kemudian, di apartemen Adrian. Ia baru selesai mandi dan membuka koper untuk merapihkan pakaiannya. Tapi saat resleting terbuka— "... eh?" Isi koper itu penuh dengan barang-barang yang ... bukan miliknya. Tumpukan kosmetik kecil, boneka gantungan, kaus bergambar kartun ... dan satu hal yang bikin Adrian langsung menutup koper dengan cepat. Satu set lingerie warna lavender. Adrian menatap langit-langit apartemennya. “Ya Tuhan ... ini koper Nayla.” Sementara itu, Nayla di kamar kos-nya juga mengalami hal yang sama. Ia membuka koper dan langsung disambut setelan kemeja kerja, buku catatan berbahasa Jepang, dan ... satu pak boxer warna gelap. “OH MY GOD.” Ia menutup koper cepat-cepat. Wajahnya merah padam. “Ini ... ini koper Pak Adrian.” Rani yang kebetulan sedang video call langsung tertawa keras. “Wah, kalian udah level tukar pakaian ya? Ini romansa edisi laundry?!” “RANIII!” *** Tak lama kemudian, ponsel Nayla berbunyi. Adrian: Kamu buka koper saya? Nayla: Bukan saya yang buka ... koper itu yang membuka AIB saya sendiri. Adrian: Kita tukeran tempat tidur aja sekalian? Soalnya boxer saya barusan dipelototin boneka domba kamu. Nayla menjerit pelan dan mengubur wajah ke bantal. Nayla: Besok ... saya balikin. Jangan liat isinya. Serius. Adrian: Saya nggak liat kok. Cuma ... lavender, ya? Nayla: PAK ADRIANNN! *** Besok paginya mereka bertemu di parkiran kampus, masing-masing membawa koper. Sama-sama menunduk. Sama-sama malu. Saat koper ditukar kembali, Nayla melirik Adrian. “Jangan cerita ke siapa-siapa. Sumpah.” Adrian menahan senyum. “Saya akan bawa rahasia ini ... sampai skripsi kamu selesai.” Dan di balik rasa malu yang membakar pipi Nayla, ia tahu—kedekatan mereka sudah sampai ke titik ... tak bisa dibalikkan lagi. *** Kampus kembali seperti biasa. Hiruk-pikuk mahasiswa lalu-lalang, obrolan hangat di koridor, dan suara dosen yang memanggil nama saat absen. Tapi buat Nayla, semuanya terasa berbeda. Ia memasuki kelas Psikologi Komunikasi dan melihat Adrian sudah berdiri di depan, mengenakan kemeja biru muda yang sangat cocok dengan kulitnya yang bersih. Tidak ada sapaan. Tidak ada senyum istimewa. Hanya pandangan sekilas. Datar. “Selamat pagi. Kita mulai dengan pembahasan minggu lalu soal non-verbal expression, siapa yang mau recaps?” Suara Adrian terdengar seperti biasa—tenang dan berwibawa. Tapi Nayla tahu, pria itu sedang menahan banyak hal. Rani menyenggolnya pelan dari samping. “Lo yakin lo nggak salah tafsir? Dia biasa banget, Nay.” Nayla hanya memutar matanya. “Gue juga bingung.” Saat kelas berakhir, semua mahasiswa mulai bubar. Tapi Adrian memanggil pelan dari depan ruangan. "Nayla. Sebentar." Ia mendekat dengan hati berdebar. “Iya, Pak?” Adrian mengeluarkan map dari tasnya dan menyodorkannya. “Ini laporan seminar kemarin. Kampus minta dokumentasi lengkap, kamu bantu input ke sistem, ya.” Tangannya menyentuh tangan Nayla tanpa sengaja. Tapi tak satu pun dari mereka menarik diri. Sejenak mata mereka bertemu. Ada banyak yang ingin diucapkan. Tapi tak ada satu pun yang keluar. Nayla menarik tangannya pelan dan mengangguk. “Baik, Pak.” Adrian tersenyum tipis. “Selamat datang kembali di dunia nyata.” Dan dunia nyata memang tak semudah mimpi. Karena Nayla tahu, satu hal tak bisa dipungkiri lagi. Ia mulai jatuh. Dalam. Ke seseorang yang seharusnya tetap jadi dosennya. Dan Adrian, meski tak pernah berkata ... mulai merindukan senyum mahasiswinya itu lebih dari yang ia kira. *** Senin pagi datang lebih cepat dari yang diharapkan Nayla. Setelah kejadian absurd di Tokyo—dari salah duduk di pesawat, jetlag, sampai ciuman romantis di tengah gemerlap Shibuya—kini dia kembali duduk di bangku kelas, menghadapi kenyataan: menjadi mahasiswa semester akhir, yang belum mengumpulkan tugas analisis komunikasi antarbudaya. “Woy, Nay, lo ke mana aja sih minggu lalu?” Suara Fani menyentak lamunannya. Teman sekelasnya itu langsung menarik bangku ke sebelah Nayla, sementara Dito ikut duduk di belakang mereka, ikut-ikutan nimbrung. “Jangan bilang lo liburan diam-diam?” “Ya ampun, enggak ....” Nayla berusaha memasang wajah datar. “Gue ikut seminar, kok.” “Seminar?” Fani mengangkat alis. “Yang bareng Pak Adrian itu?” Nayla tersedak kopi dalam tumblernya. “Dari mana lo tahu?” “Yah ... semua dosen udah ngobrol di ruang jurusan. Katanya asisten yang ikut itu mahasiswa dari angkatan kita. Terus gue tanya-tanya ... dan cuma lo yang ngilang seminggu.” Nayla menutup wajahnya pakai map. “Tolong jangan bahas, gue malu.” “Eh, tapi jujur ya,” Dito ikut berbisik dengan nada menggoda, “Lo sama Pak Adrian tuh kayak pasangan drama Korea versi lokal. Yang cowoknya dingin tapi manis kalau lagi sendirian.” “Dito!” Nayla mencubit lengan cowok itu, sementara pipinya mulai memanas. Namun sebelum Fani atau Dito bisa menyambung, pintu kelas terbuka. Dan masuklah penyebab semua kekacauan hormon Nayla—Adrian, dengan setelan biru dongker, kemeja putih yang digulung di lengan, dan ekspresi datar penuh aura dosen-cool-misterius. Seisi kelas hening. Dan Nayla langsung merasa perutnya mual bukan karena kopi, tapi karena satu: cowok itu menatap ke arahnya. Sebentar. Tapi cukup lama untuk membuat jantung Nayla berdebar seperti anak SMA baru lihat kakak kelas ganteng. “Selamat pagi,” suara Adrian terdengar tegas. “Kita mulai sesi presentasi kelompok hari ini. Saya minta semua siap, karena saya akan lebih banyak menilai performa komunikasi dan struktur analisis kalian.” Kelas kembali normal. Kelompok pertama maju, dan Nayla berusaha memfokuskan diri pada catatannya—tapi gagal total, karena setiap kali Adrian melangkah mendekati whiteboard, aroma parfum maskulinnya menyeruak, mengingatkan Nayla pada lorong hotel di Tokyo. Dan cara dia menyelipkan tangan ke saku sambil sedikit tersenyum ... oh, itu membunuhnya pelan-pelan. “Baik, kelompok tiga—Nayla, Dito, dan Rani, silakan maju.” Nayla melangkah ke depan dengan lutut gemetar. Saat giliran dia menjelaskan bagian tentang konteks budaya dan komunikasi personal, lidahnya tiba-tiba terpeleset. “... dan tentu saja, konteks ini penting untuk menghindari miskomunikasi dalam situasi lintas budaya, apalagi kalau itu semacam, hmm... date, eh ... maksud saya debate!” Kelas meledak tertawa. Adrian hanya menaikkan satu alis, lalu menuliskan debate vs. date: freudian slip? di whiteboard. Wajah Nayla merah padam. Rani di sebelahnya nyaris pingsan menahan tawa. Setelah kelas usai, semua mahasiswa mulai bubar. Nayla membereskan catatan sambil menahan napas. Adrian menghampirinya di meja dosen, membawa satu map biru tua. “Ini, laporan seminar dan beberapa dokumen dari panitia. Sudah saya tanda tangani. Tolong dikembalikan ke bagian TU nanti.” Nayla mengangguk gugup, menyodorkan tangan untuk mengambil map itu. Jari mereka nyaris bersentuhan. Sesaat. Dan keduanya langsung menarik tangan masing-masing, seperti tersengat listrik. “Eh, iya, Pak. Siap, Pak,” ujar Nayla tergagap. Adrian hanya mengangguk singkat, lalu mengambil tasnya dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Tapi langkahnya sempat terhenti di depan pintu. Sekilas, ia menoleh. Matanya bertemu dengan mata Nayla. Tidak lama. Tapi cukup.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD