Kesiangan.

1136 Words
Paginya, "Astaga ...!" Adrian terduduk dari tempat tidur. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamar hotelnya. Dia menoleh ke jam digital di nakas. 08:12. Penerbangan mereka pukul 10:00. "Nayla!" serunya panik, lalu buru-buru memakai hoodie dan keluar kamar. Dia menghampiri resepsionis dengan napas terburu. "Excuse me! I need a spare key for room 611. Urgent! My student is still sleeping and we're going to miss our flight!" Resepsionis tampak kaget tapi segera memberi kunci cadangan setelah Adrian menunjukkan ID-nya. Dengan langkah tergesa, Adrian membuka pintu kamar Nayla. "Nayla! Bangun! Kita telat!" Nayla terlompat dari tempat tidur, rambut awut-awutan dan wajah penuh kantuk. "Hah? Apa? Kenapa panik?" "Jam delapan lewat. Kita harus di bandara sekarang!" Dalam hitungan menit, kamar itu berubah jadi medan perang. Nayla lompat-lompat sambil menyisir rambut dan memasukkan barang ke koper, Adrian sibuk telepon resepsionis minta bantuan taksi cepat. Mereka berlari keluar hotel dengan koper masing-masing, Adrian sempat terjatuh saat berusaha menutup ritsleting koper sambil jalan. Nayla tertawa di tengah paniknya. “Ini kayak adegan drama Korea bagian episode terakhir!” “Kalau kita ketinggalan pesawat, kita nggak punya episode berikutnya!” jawab Adrian sambil menarik lengan Nayla masuk ke dalam taksi. *** Bandara Narita penuh sesak pagi itu. Mereka tiba tepat saat proses boarding terakhir dipanggil. Dengan napas tersengal dan paspor yang nyaris terjatuh di eskalator, mereka akhirnya duduk di kursi pesawat. Hening. Lelah. Tapi tertawa. “Next time,” ujar Nayla sambil memejamkan mata, “bangunin saya lebih pagi.” Adrian menyandarkan kepalanya ke sandaran. “Next time, kita nonton film siangnya aja.” Dan dalam hening itu, pesawat perlahan membawa mereka kembali ke tanah yang penuh realita—meninggalkan malam Tokyo yang akan mereka simpan diam-diam dalam hati. *** Pesawat sudah tinggal landas selama lima belas menit ketika Nayla menyadari ada yang salah. “Pak, saya ... saya kayaknya duduk di kursi orang,” bisiknya panik ke Adrian. Adrian yang duduk di sebelahnya mengangkat alis. “Maksudnya?” Nayla membuka boarding pass-nya. “12B. Ini ... 14A. Saya salah baris.” Adrian menghela napas panjang, menatap ke arah lorong. Seorang pria paruh baya berdiri di dekat pramugari, menunjuk ke arah mereka. “That’s my seat,” katanya dalam bahasa Inggris, ekspresi tak sabar. “Ya ampun,” desis Nayla. “kenapa kita bisa pisah duduk sih?!.” “Tenang,” jawab Adrian. “Kamu bisa bertahan sendirian di Shibuya, masa pindah kursi aja panik.” “Beda. Di Shibuya nggak ada orang nontonin!” Pramugari menghampiri dengan sopan. “Miss, would you kindly return to your seat?” Nayla bangkit dengan pipi memerah. Semua mata di sekitar menoleh. Beberapa penumpang tersenyum geli. “Pak, saya ke sana dulu,” katanya sambil merunduk seperti maling ayam. Baru saja dia mengambil langkah pertama, koper kabin di atas kursi terbuka setengah—dan tepat saat Nayla lewat, satu bantal leher jatuh tepat ke kepalanya. Bruk! “Aduh!” “Ya Tuhan,” Adrian berdiri cepat, menahan tawa sambil membantu mengambil bantal itu. “Kamu nggak kenapa-napa?” “Bantal. Bukan meteor,” sahut Nayla, wajahnya makin merah. Seluruh penumpang di baris tengah ikut tertawa kecil. Bahkan pramugari tampak geli. Setelah Nayla pindah kursi, Adrian melirik ke belakang. Nayla duduk di baris ke-12, tepat satu kursi dari jendela. Mereka bertukar pandang. Nayla mengangkat dua jari membentuk huruf “V”—tapi lebih mirip sinyal “selamat tinggal, hidup.” *** Dua jam kemudian, saat lampu kabin diredupkan untuk penerbangan malam, Adrian berjalan ke belakang untuk ke toilet. Saat kembali, dia sempat berhenti di sisi kursi Nayla. “Masih hidup?” bisiknya. “Baru aja nyembuhin harga diri,” bisik Nayla balik. Adrian tersenyum. “Saya ada camilan. Mau?” Nayla mengangguk cepat seperti anak kecil ditawari es krim. Adrian kembali ke tempat duduk dan menyelipkan sebungkus wafer ke kursinya. Beberapa menit kemudian, saat pramugari membagikan selimut tambahan, Nayla sempat menuliskan catatan kecil di tisu dan menitipkannya: “Kalau saya mati karena malu, tolong jangan bilang ini gara-gara bantal pesawat.” Saat Adrian membaca catatan itu, dia tertawa kecil. Lalu menulis balasan di bagian belakang: “Saya akan bilang penyebabnya: over-cute student.” Nayla membacanya dan langsung menenggelamkan wajah ke bantal. Untung lampu sudah gelap. Karena wajahnya—lagi-lagi—merah total. *** Langit Jakarta tampak kelabu saat pesawat yang membawa Nayla dan Adrian akhirnya mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi dekat jendela, Nayla menunduk, berpura-pura memeriksa sabuk pengamannya, padahal pikirannya tak bisa tenang sejak kejadian malam itu di Tokyo. Ciuman itu. Ciuman yang awalnya tak disengaja, tapi berubah menjadi sesuatu yang lebih. Ia melirik ke arah Adrian yang sibuk membaca layar ponselnya. Sikapnya tenang, bahkan terlalu tenang. Sejak pagi, tak banyak kata yang keluar dari pria itu, selain sekadar, “Sarapan dulu,” dan “Paspor kamu jangan sampai ketinggalan.” Suasana Bandara Soekarno-Hatta riuh seperti biasa. Adrian dan Nayla baru saja mendarat dari Tokyo, masih jetlag, masih dengan kepala setengah tertinggal di Jepang. Di tengah kelelahan, mereka mengambil koper masing-masing dan langsung menuju taksi tanpa banyak bicara. Tapi ada satu kesalahan kecil. Koper mereka—sama persis. Warna hitam, ukuran medium, dan sama-sama ada stiker lucu bergambar anime khas Jepang yang Nayla tempelkan saat di Jepang. *** Perjalanan pulang yang seharusnya menjadi momen mengenang kebersamaan di Tokyo justru berubah jadi serangkaian keheningan yang bikin jantung Nayla makin tak karuan. "Kamu langsung pulang ke kos?" tanya Adrian akhirnya, ketika mobil mulai bergerak meninggalkan bandara. Nayla mengangguk pelan. "Iya." Adrian hanya mengangguk. Hening kembali menguasai kabin mobil. Nayla menggigit bibir, menimbang-nimbang apakah dia harus membahas apa yang terjadi. Tapi, mulutnya terlalu berat untuk terbuka. Setelah perjalanan hampir satu jam, mobil akhirnya berhenti di depan kosan Nayla. "Terima kasih untuk bantuannya selama di Tokyo," kata Adrian, menoleh padanya. Sorot matanya masih tenang, tapi dalam diamnya, Nayla merasa ada sesuatu yang ditahan. "Aku juga ... terima kasih udah ngajak aku." Nayla membuka pintu mobil, mengangkat tas ranselnya. Tapi sebelum ia sempat benar-benar keluar, Adrian memanggil pelan, "Nayla." Ia menoleh. "Sampai bertemu di kampus, ya. Istirahat yang cukup." Nayla hanya mengangguk pelan. Tanpa tahu harus membalas apa. *** Kamar kos Nayla masih sama—berantakan dengan catatan kuliah dan tumpukan buku yang belum dibuka. Tapi yang berbeda adalah isi hatinya. Ciuman itu masih terulang seperti kaset rusak di kepalanya. Sentuhan tangannya. Cara Adrian menarik tubuhnya pelan. Tatapan matanya sebelum bibir mereka bertemu. Ponselnya berbunyi. Satu notifikasi w******p. Adrian: Sudah sampai kamar? Nayla: Udah. Terima kasih, Pak Adrian. Tak lama kemudian, suara bel depan kos berbunyi. Tetangga kamar sebelah yang kebetulan lewat membuka pintu. "Nay! Kiriman buat lo! Dari kurir, katanya titipan atas nama Adrian!" Nayla buru-buru keluar kamar. Di depan pintu, sebuah kotak kecil dengan pita warna biru muda tergeletak. Ia membuka pelan, dan menemukan satu buket bunga baby breath putih dan secarik kartu kecil: [Terima kasih sudah menemaniku. - A.] Nayla menutup kotak itu pelan. Pipinya menghangat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD