Nayla membuka matanya perlahan. Langit-langit kamar hotel tampak asing, tapi aroma lembut teh dari luar membuatnya sadar bahwa ini bukan mimpi. Tokyo. Seminar. Makan malam. Jembatan. Dan—
Ciuman.
Astaga.
Dia langsung menegakkan tubuh dan menyentuh bibirnya. Masih hangat. Atau cuma sugesti. Tapi tetap saja, semalam itu nyata. Adrian. Ciuman mereka. Dua kali.
Bahkan sekarang pipinya panas seperti rice cooker baru mateng.
Ponselnya bergetar. Satu pesan dari Adrian:
"Saya udah di lobi. Sarapan jam 8 ya. Jangan lupa bawa passport."
Formal. Netral. Sangat dosen. Padahal baru tadi malam ... ya ampun. Nayla mendesah keras, lalu menenggelamkan wajah ke bantal.
"Kenapa semalam nggak ada sensor sih, Nay?" gumamnya.
Setengah jam kemudian, dia turun dengan sweater abu-abu dan jeans bersih. Rambut dikuncir seadanya. Tas selempang berisi paspor dan peta lipat wisata. Mencoba tampil netral. Biasa. Seperti asisten dosen. Bukan cewek yang semalam nyosor dosennya sendiri.
Adrian sudah duduk di sofa lobi, membaca brosur museum dengan wajah tenang. Kaos hitam dan coat panjang membuatnya seperti model iklan parfum. Nayla nyaris berbalik dan kabur.
Tapi ia memaksa kakinya maju.
"Pagi, Pak."
Adrian mendongak dan tersenyum kecil. Senyum itu ... lesung pipit sialan itu lagi.
"Pagi. Sudah sarapan?"
"Belum."
"Ayo. Kita ke resto lantai dua."
Dan seperti itu saja, mereka kembali jadi tim seminar. Tidak ada pembicaraan soal semalam. Tidak ada ulas ciuman. Hanya kopi, telur orak-arik, dan diskusi soal presentasi kampus lain.
Setelah sarapan, mereka naik kereta ke lokasi seminar sesi hari kedua. Nayla setengah berharap Adrian akan menyentuh topik semalam. Bahkan candaan pun tidak. Tapi tidak. Adrian seperti sengaja menjaga jarak aman.
Di sela presentasi panel, Nayla duduk di kursi pojok dan membuka laptop. Adrian datang dan duduk di sebelahnya. Diam sejenak.
Lalu akhirnya berkata, pelan, tanpa menoleh:
"Semalam ... bukan kecelakaan."
Jantung Nayla langsung ngedrum. Dia menoleh. "Pak?"
Adrian tetap menatap ke depan. "Saya nggak mabuk. Saya juga nggak nyesel. Tapi ... saya dosen kamu, Nayla. Dan ini bukan Indonesia. Kita tetap jadi sorotan."
Nayla menggigit bibirnya. Hening. Lalu, dengan suara pelan, dia berkata,
"Saya nggak minta apa-apa sekarang, Pak. Tapi ... saya juga nggak nyesel."
Tatapan mereka bertemu. Dan senyum kecil muncul di sudut bibir Adrian.
"Setidaknya kita sepakat."
Dan seperti itu, Babak Baru dimulai. Dengan janji yang belum jelas bentuknya. Dengan perasaan yang perlahan tumbuh. Dan dengan seminar internasional yang tiba-tiba jadi latar belakang kisah yang (mungkin) bakal bikin kepala pusing tujuh keliling.
Tapi untuk pagi itu, cukup hanya satu hal:
Mereka berdua ... tidak menyesal.
***
Malam Terakhir di Jepang,
Malam itu, Tokyo tampak seperti kota dari dunia lain. Gemerlap lampu neon membanjiri jalanan Shibuya, dan udara dingin akhir musim semi membuat napas terlihat seperti kabut tipis. Adrian dan Nayla berdiri di pinggir trotoar, masing-masing memegang cup kopi hangat dari vending machine.
"Kita beneran pulang besok?" tanya Nayla pelan, menatap lalu lintas pejalan kaki yang tak pernah sepi.
Adrian mengangguk. "Sudah waktunya kembali ke realita."
"Tapi rasanya belum siap," kata Nayla sambil tersenyum. "Tokyo terlalu menyenangkan."
"Atau mungkin karena di sini kamu bisa bolos kelas tanpa rasa bersalah."
Nayla tertawa. “Jahat.”
Adrian melirik jam tangannya. “Masih ada waktu untuk satu hal terakhir. Mau nonton?”
***
Lampu-lampu kota Tokyo masih menyala cerah saat mereka masuk ke bioskop kecil di sudut Shinjuku. Bioskopnya bukan yang megah—justru terkesan lawas dan sederhana, dengan poster-poster film bergaya retro dan aroma popcorn mentega memenuhi udara.
"Kamu yakin ini filmnya ringan?" tanya Nayla sambil melihat tiket di tangannya. "Soalnya judulnya kayak ... melodrama sedih."
"Review-nya bilang lucu dan mengharukan," jawab Adrian. "Kita butuh dua-duanya sekarang."
Mereka duduk di barisan tengah. Nayla sibuk membuka jaket dan menyimpan minuman ke tempat gelas, sementara Adrian ... terlalu sibuk memperhatikan Nayla.
"Kenapa ngelihatin saya begitu?" bisik Nayla.
"Kamu mirip orang Jepang yang lagi nyasar."
"Lucu banget, Pak. Saya bisa nyasar ke hati orang juga, loh."
Adrian tersedak tawa pelan. "Kamu mulai belajar gombal, ya?"
"Saya banyak talenta tersembunyi."
Film dimulai. Lampu padam. Di layar, cerita mengalun dengan cepat: seorang perempuan Jepang yang jatuh cinta pada penjual ramen, penuh komedi situasi dan dialog lucu.
Tapi sepuluh menit pertama, Nayla sudah berjuang menahan tawa—dan gagal. Ia tertawa kecil, lalu makin keras sampai menutup mulut dengan tangan.
"Aduh ... kucingnya beneran bisa main piano!" bisiknya tergelak.
Adrian tak menahan senyum. "Jangan bikin kita diusir, Nayla."
Tapi lima menit kemudian, gantian Adrian yang menahan napas menahan tawa saat karakter utama jatuh dari sepeda langsung ke kolam ikan hias.
Mereka saling melirik dalam gelap. Sama-sama menahan geli. Sama-sama menikmati.
Setengah jam berjalan. Suasana di layar mulai haru—karakter utama mengungkapkan perasaannya di bawah hujan.
Tiba-tiba Nayla bersin kecil. "Hacchi!"
Adrian otomatis mengulurkan tisu dari sakunya. Nayla menerimanya dengan bisik, “Wah, persiapan kayak ibu-ibu.”
“Dosen siaga,” sahut Adrian.
Beberapa menit kemudian, Nayla sedikit menguap. Kepalanya tanpa sadar miring ke arah Adrian. Dan sebelum ia sadar, pelipisnya sudah menyentuh bahu lelaki itu.
Adrian menoleh pelan. Tidak menegur. Tidak bergerak.
Hanya menatap layar, dengan senyum kecil yang tidak pernah ditunjukkan di ruang kelas.
Film berakhir. Lampu kembali menyala. Nayla terbangun dengan mata setengah terbuka.
"Hah? Udah selesai?"
Adrian mengangguk. "Kamu tidur setengah jam terakhir."
"Serius?!" Nayla panik. "Aduh malu banget. Saya ... saya nempel ke bahu, ya?"
Adrian berdiri sambil merapikan jaket. “Iya. Tapi nggak apa-apa. Bahu saya suka dipakai tidur orang bingung.”
Nayla meringis. “Jahat.”
Saat mereka keluar dari bioskop, angin malam Tokyo menyambut. Nayla menarik napas panjang.
“Ini salah satu malam paling menyenangkan selama di sini.”
Adrian menatapnya sesaat. “Saya juga. Jarang ada yang ketawa kayak kamu di bioskop. Kayak anak kecil yang baru tahu film.”
“Lain kali, saya ajak Bapak nonton kartun, ya.”
“Kalau sama kamu, film apapun boleh.”
Dan untuk beberapa detik, waktu benar-benar terasa diam di antara mereka.
***
Mereka keluar dari bioskop kecil di kawasan Shinjuku. Film Jepang yang mereka tonton membuat mereka tertawa dan terharu. Nayla menggigil kecil saat angin malam menerpa.
Tanpa banyak kata, Adrian melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu Nayla.
"Kedinginan bilang, jangan sok kuat," katanya.
"Terima kasih," jawab Nayla pelan, menatap matanya sesaat lebih lama dari seharusnya.
Langkah mereka melambat menuju hotel. Tidak ada percakapan besar, hanya suara langkah di trotoar basah dan sesekali tawa kecil. Semua terasa nyaman, seperti waktu ikut menahan nafas agar momen ini tidak cepat berlalu.
***