Seminar Internasional dan Bahasa Tubuh

1269 Words
Langit Tokyo pagi itu cerah, dengan suhu sejuk yang memaksa Nayla mengenakan coat tipis. Di dalam taksi menuju lokasi seminar, ia sibuk memandangi catatan yang Adrian berikan semalam. “Jangan tegang,” ujar Adrian sambil melirik dari balik tablet-nya. “Kamu cuma bantu observasi. Duduk, dengar, dan catat. Nggak perlu presentasi.” “Siap, Pak. Tapi kalau saya ketiduran di tengah sesi gimana?” “Kamu saya tinggal di Jepang,” balas Adrian tenang. Mereka tiba di Tokyo International Convention Center tepat waktu. Bangunan kaca besar itu dipenuhi peserta seminar dari berbagai negara. Di pintu masuk, seorang panitia wanita menyapa Adrian dengan bahasa Inggris lancar. “Welcome, Professor Adrian Reinaldi. We’ve been expecting you.” Nayla tersedak napas. Profesor? Sejak kapan dia profesor? Adrian hanya tersenyum kecil, lalu memperkenalkan Nayla. “This is my assistant, Nayla Anindya.” Panitia wanita itu menatap Nayla sambil mengangguk sopan. Tapi matanya sempat melirik Adrian dengan cara yang ... tidak profesional. “Please come in. You’re seated at the second row.” *** Di dalam aula, sesi pertama baru dimulai: topik tentang “Behavioral Trauma and Social Reintegration.” Seorang profesor dari Kanada sedang berbicara panjang lebar. Nayla berusaha menyimak, tapi aksen Inggrisnya terlalu cepat. Matanya mulai terasa berat. Lalu, dengan sangat tidak sengaja, kepala Nayla terjatuh ke arah bahu Adrian. 'Bruk.' Adrian yang sedang menulis, menoleh perlahan. “Nayla?” Nayla terbangun dengan sentakan. “Iya, Pak! Siap, Pak! Saya catat semuanya, sumpah!” Beberapa peserta menoleh. Adrian tertawa pelan. “Kamu mimpi dibentak dosen, ya?” Nayla menutupi wajah dengan tangan. “Saya mau pulang. Tolong deportasi saya sekarang juga.” *** Sesi coffee break menjadi semacam pelarian. Mereka berdiri di pojok aula dengan secangkir teh hijau masing-masing. “Kamu harus lihat muka kamu sendiri pas bangun,” kata Adrian. “Lucu banget.” “Pak Adrian ... kenapa nggak kasih saya kopi aja dari awal?” “Karena kamu bisa makin hiperaktif dan pingsan saat tanya jawab.” “Berarti saya bikin malu ya?” Nayla cemberut. “Enggak,” kata Adrian sambil menyeruput tehnya. “Kamu justru bikin saya lebih tenang. Lucunya pas, kagoknya jujur. Dunia akademik perlu itu.” Nayla terpaku. Jantungnya berdebar sedikit lebih kencang. Sore harinya, setelah sesi selesai, mereka berjalan pulang ke hotel. Tokyo yang berkilau di waktu senja membuat suasana menjadi lembut. “Besok kita ikut sesi workshop,” kata Adrian. “Tapi kamu bisa pilih mau ikut semua atau sebagian.” “Saya ikut semua, Pak. Sekalian nambah ilmu.” Adrian meliriknya. “Ambisius.” “Saya cuma nggak mau tidur di bahu dosen dua kali. Sekali udah cukup untuk dihina seumur hidup.” Adrian tertawa. “Kamu memang beda.” Nayla memutar wajah ke arah trotoar, berusaha menyembunyikan pipi yang mulai panas. Tapi senyum itu … tidak bisa ditahan. Tokyo malam hari bersinar seperti lautan cahaya. Lampu-lampu jalan, kios makanan, dan suara tawa dari pedestrian area di Shibuya bercampur menjadi suasana yang hidup. Adrian berjalan santai dengan tangan di saku coat-nya, sementara Nayla setengah lari kecil mengejar langkahnya. “Pak! Kita mau ke mana sih?” tanya Nayla sambil membetulkan syal merahnya yang nyaris lepas. “Jalan-jalan. Kita dapat malam bebas, kan? Nikmati,” jawab Adrian ringan. “Kamu pernah ke Tokyo?” “Belum pernah keluar Bekasi bahkan, Pak,” sahutnya dengan nada dramatis. “Ini udah kayak ke planet lain buat saya.” Adrian tertawa kecil, lalu menunjuk ke sebuah restoran kecil bergaya izakaya di sudut gang. Lampu kertas menggantung di depan pintu kayu geser. “Makan di situ, yuk. Tenang aja, ini halal-friendly. Udah saya cek.” Nayla terdiam sesaat. "Pak Adrian serius banget, ya ... nyari restoran halal." “Kalau ngajak orang, harus bertanggung jawab,” jawab Adrian ringan, tapi ada sesuatu di balik nadanya. Sesuatu yang lembut. *** Mereka duduk di meja kayu dekat jendela, memesan beberapa menu lokal yang aman—yakimeshi, tempura, dan ocha hangat. Restoran kecil itu punya suasana cozy dan agak remang. Tak ada suasana resmi seperti saat seminar tadi. Hanya ada mereka berdua. Dan percakapan yang perlahan berubah dari basa-basi menjadi sesuatu yang lebih personal. “Boleh nanya sesuatu, Pak?” Nayla mencondongkan tubuh sedikit ke depan, wajahnya serius. “Boleh.” “Kenapa Bapak nggak pernah serius sama siapapun di kampus? Maksud saya ... semua orang naksir Bapak, tapi Bapak cuek.” Adrian diam sebentar. Jari-jarinya menyentuh gelas teh. “Karena pernah terlalu serius, dan berakhir terlalu menyakitkan.” Nayla menelan ludah. “Mantan mahasiswa?” Adrian menatapnya. Lama. Lalu mengangguk pelan. “Waktu saya masih dosen muda. Sama-sama dewasa, sama-sama setuju, tapi tetap aja … ujungnya salah saya.” Suasana mendadak hening. Nayla merasa bodoh sudah membahas itu. “Tapi itu masa lalu,” Adrian melanjutkan. “Dan sejak ada kamu ... semua jadi lebih ... berisik sih. Tapi menyenangkan.” Mereka tertawa, dan canggung kembali melayang tipis. *** Setelah makan, mereka keluar menyusuri jalanan Tokyo yang kini mulai sepi. Angin malam dingin menyentuh kulit. Nayla menggigil. “Dingin, ya?” tanya Adrian sambil meniup tangannya, lalu tanpa pikir panjang menggeser langkahnya sedikit lebih dekat ke Nayla. Nayla mengangguk pelan, menggigil, “Dingin banget. Harusnya aku tadi ambil jaket yang tebal, bukan yang ini.” Adrian tanpa kata membuka coat-nya, lalu menggantungkannya ke bahu Nayla. “Kamu nggak bawa jaket yang cukup tebal.” “Pak … ntar Bapak kedinginan,” protes Nayla, tapi diam-diam hatinya meleleh. “Nggak apa-apa. Saya kebal cuaca,” jawab Adrian sambil tersenyum. Tiba-tiba, langkah mereka melambat di depan jembatan kecil di atas sungai kecil dengan lampu-lampu LED biru menyala di airnya. Suasana sepi. Sunyi. Dan indah. Nayla berhenti. “Pak Adrian .…” “Heum?” “Kalau saya bilang saya suka ... Bapak bakal kabur?” Adrian menatapnya. “Kalau saya bilang saya juga suka, kamu bakal kabur?” Detik itu, angin membawa aroma teh dan yakimeshi entah ke mana. Yang tersisa hanya degup jantung. Dan ... entah siapa yang mendekat lebih dulu. Atau siapa yang mulai. Tapi bibir mereka bersentuhan. Lembut. Salah posisi sedikit. Lalu mereka saling menarik diri—kaget, gugup, nyaris minta maaf. Tapi sebelum ada kata-kata keluar, Nayla justru tertawa gugup. “Ya Tuhan … itu tadi ....” Adrian menatapnya. Tatapan itu dalam, hangat, dan kali ini ... tanpa keraguan. “Kalau kamu nggak nolak ...,” bisiknya. Nayla hanya menatap—dan menjawab dengan mendekat lagi. Kali ini, ciuman itu bukan lagi sebuah kebetulan yang kikuk atau keraguan yang terburu-buru. Bukan sekadar bibir yang saling menyentuh lalu cepat-cepat menjauh, takut salah atau terlalu cepat menyesal. Tidak ada lagi kecanggungan, tidak ada lagi keraguan arah. Ciuman itu dalam. Penuh rasa. Tepat, seolah sejak awal memang ditakdirkan. Dalam dan perlahan, seperti mereka berdua sedang mencoba menghafal rasa masing-masing—dengan lidah, dengan napas, dengan seluruh pori-pori yang mendadak hidup. Ada sesuatu yang berubah dalam tarikan napas mereka, dalam cara tubuh mereka saling mendekat, dalam cara dunia seolah berhenti di sekeliling mereka. Ciuman itu bukan hanya tentang hasrat. Itu pengakuan. Penyerahan. Luka yang dibuka dan diterima. Jari-jari mereka saling mencari, seakan perlu pegangan untuk bisa menerima apa yang baru saja pecah di antara mereka. Dunia di sekeliling memudar—tak ada suara, tak ada waktu. Hanya denyut jantung yang saling menanggapi, satu sama lain, membentuk irama baru yang belum pernah mereka izinkan tumbuh sebelumnya. Dan ketika akhirnya mereka melepaskan napas, perlahan dan berat, keduanya tahu: ini bukan sekadar ciuman. Ini adalah titik balik. Titik di mana mereka tak bisa lagi berpura-pura tak peduli. Sesuatu telah berubah, yang tak lagi bisa kembali seperti semula. Dan tak ada jalan untuk kembali. Entah cinta, atau ... awal dari sesuatu yang lebih rumit. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD