Nayla membuka matanya perlahan. Langit-langit kamar hotel tampak asing, tapi aroma lembut teh dari luar membuatnya sadar bahwa ini bukan mimpi. Tokyo. Seminar. Makan malam. Jembatan. Dan— Ciuman. Astaga. Dia langsung menegakkan tubuh dan menyentuh bibirnya. Masih hangat. Atau cuma sugesti. Tapi tetap saja, semalam itu nyata. Adrian. Ciuman mereka. Dua kali. Bahkan sekarang pipinya panas seperti rice cooker baru mateng. Ponselnya bergetar. Satu pesan dari Adrian: "Saya udah di lobi. Sarapan jam 8 ya. Jangan lupa bawa passport." Formal. Netral. Sangat dosen. Padahal baru tadi malam ... ya ampun. Nayla mendesah keras, lalu menenggelamkan wajah ke bantal. "Kenapa semalam nggak ada sensor sih, Nay?" gumamnya. Setengah jam kemudian, dia turun dengan sweater abu-abu dan jeans bersih. Ram