“Nayla, sini. Mama udah bikin sarapan,” panggilnya hangat. Nayla menghampiri, duduk dengan hati-hati. “Pagi, Ma. Maaf enggak bantu di dapur.” Riana tersenyum, menuangkan teh ke cangkir Nayla. “Kamu tamu … eh, bukan tamu lagi ya sekarang. Menantu. Jadi enggak perlu sungkan. Nanti kalau sudah betah, baru Mama suruh bantu.” Keduanya tertawa kecil. Namun, begitu tawa mereda, obrolan itu terasa berbeda—lebih pelan, lebih hati-hati. Riana menatap Nayla dengan pandangan yang lembut tapi penuh selidik. “Adrian berangkat pagi-pagi sekali. Katanya takut macet,” ujar Riana sambil mengoles selai ke rotinya. “Dia juga cuma sempat makan sepotong roti, itu pun sambil pakai sepatu.” Nayla mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, dia memang enggak suka telat.” Ada jeda. Riana lalu berkata, “Mama senang kam