Dua

1336 Words
Indira sudah menyiapkan keperluannya untuk menginap di Bali selama tiga hari, dia membawa tas ransel besar. Jangan tanyakan tentang koper, karena dia jelas saja tak memilikinya. Dia juga sudah menyiapkan makanan untuk seharian ini. Kini dia menghampiri Izan yang menatap dirinya dengan pandangan pilu. “Kakak berangkat kerja dulu ya,” ucap Indira. Irvan yang memakan snack yang dibeli di warung dekat rumah itu tampak asik menikmati makanannya. Indira bahkan membayar lunas hutang mereka pagi tadi sehingga tak ada celotehan yang terdengar dari ibu pemilik warung itu lagi. Kemarin dia membayar biaya perpisahan dan ujian Izan, uangnya masih tersisa dan dia akan mendapat uang lagi nantinya. “Maafin Izan ya Kak, karena Izan kakak harus kerja padahal ini hari libur kakak,” tutur Izan merasa bersalah. Indira memegang bahu adiknya, tinggi tubuhnya bahkan sudah melampaui tinggi Indira. “Enggak apa-apa, lagi pula kakak juga butuh uang untuk kita semua. Lihat-lihat bapak ya kalau bapak butuh sesuatu, mata bapak kan kurang jelas melihatnya. Kakak pergi selama tiga hari, kakak tinggalin uang di dompet pouch kamar kakak untuk beli makanan atau minuman selama kakak pergi, jaga Irvan ya,” ucap Indira mengacak rambut adiknya. Izan hanya mengangguk. “Izan janji, nanti kalau Izan sudah kerja, Izan balas semua kebaikan kakak,” tutur Izan seraya mengangkat wajah menatap kakaknya. Indira hanya mengangguk pelan. Ojek online yang dipesannya sudah datang. Dia pun berjalan menuju abang ojek itu dengan tatapan mata sedih. Dia tak menyangka akhirnya dia kini resmi menyandang gelar ani-ani atau sugar babby seperti yang diucapkan teman-temannya dulu ketika menggodanya. Indira melambaikan tangan ke arah dua adiknya ketika dia sudah dibonceng di sepeda motor matic itu. Sepanjang perjalanan menuju mall dia merasakan kegelisahan, namun ada rasa lega sekaligus. Karena dengan uang ini dia bisa membebaskan keluarganya dari hutang di warung, juga bisa membayar biaya sekolah adik-adiknya. Dia sempat berkilah, selama ini dia melakukan karena cinta namun kini karena uang. Seharusnya tidak ada perbedaan, kini dia tidak dirugikan sama sekali tidak seperti sebelumnya kan? Indira menghampiri Efrain yang sudah menunggu di dekat lobby, Efrain mengerutkan kening melihat penampilan Indira. Jeans belel dengan jaket tebal, juga tas ransel. Apa yang dia pikirkan? Dia menarik napas panjang dan memaksa senyumnya. “Sini aku bawa,” ucap Efrain. Ransel Indira sepertinya berat. “Makasih, Mas,” jawab Indira menyerahkan ransel itu. “Kamu enggak punya koper?” tanya Efrain. Indira menggeleng. “Kita beli koper kecil dulu ya,” ucapnya kemudian. Indira hanya mengekor. Efrain langsung menuju penjual tas dan koper, tanpa banyak tanya diambil koper yang bisa dikendarai. Pasti wanita itu senang, lagi pula mereka akan sering bepergian nantinya. Setelah membayar, Efrain mengajak Indira ke toilet dan di satu sudut mereka memindahkan barang-barang Indira dan memasukkan dalam koper berwarna pink itu. “Ini yang bisa dikendarai ya?” tanya Indira. Efrain hanya mengangguk seraya menyeret koper itu. “Kamu kasih alasan apa ke keluarga kamu?” “Kerja sampingan,” ucap Indira, ya ketika dia berpamitan pada ayahnya pun dia mengatakan bahwa dia ada kerja sampingan ke Bali. “Kalau gitu kamu harus pakai baju seperti orang kerja dong,” ucap Efrain. Indira menggeleng, nanti uangnya akan terpotong kan? Koper tadi saja cukup mahal. Bagaimana kalau dipotong dari uang bayarannya? Sedangkan dia memiliki banyak hal yang ingin dilakukan termasuk mengajak dua adiknya jalan-jalan. “Saya pakai ini saja Mas,” tutur Indira. “Tidak bisa, saya di sana akan bertemu kolega saya, tidak mungkin mengajak kamu dengan pakaian santai seperti itu, tenang saja ini diluar uang perjanjian kita kok,” ucap Efrain seperti sangat paham dengan apa yang dikhawatirkan Indira. Indira tersenyum tidak enak. Efrain melihat jam tangannya, waktunya tidak terlalu banyak, dia tak mau ketinggalan pesawat. Karena itu dia langsung bergegas masuk ke toko pakaian executive yang menjual pakaian kerja dan pakaian formal lainnya. Dia mengambil setelan blazer dan celana untuk wanita berwarna cream. Lengkap dengan blouse untuk di dalamnya. Dia segera membayarnya dan meminta Indira mengganti di kamar ganti. Sementara Indira mengganti pakaiannya, dia pun membelikan gaun berwarna hitam yang tersedia di tempat itu. Barang kali bisa dipakai nanti untuk gala dinner. Indira sudah terlihat jauh lebih baik terkecuali rambutnya yang dikuncir tinggi, namun tak masalah, dia bisa menggerainya nanti di pesawat. Mereka pun berjalan cepat menuju lobby, mobil Efrain sudah menunggu di depan. Sopir Efrain turun untuk membantu membawa koper. Efrain dan Indira duduk di belakang. “Mas, kebut ya, waktu kita tidak banyak.” Efrain terlihat tegas memberi perintah. Sopirnya mengiyakan, Efrain meminta Indira memakai sabuk pengamannya dan sopir mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Mobil itu sangat stabil karena memang dirancang untuk hal seperti ini. Seperti dewi keberuntungan berada bersama mereka, jalanan menuju bandara tidak macet sama sekali. Efrain dan Indira kini mengantri untuk pengecekan tiket pesawat. Lalu mereka berjalan menuju pesawat tanpa menunggu lagi karena memang waktunya sangat pas. Indira tampak gugup di kursi pesawat. Dia berkali-kali mengeratkan kukunya diserang kepanikan. “Ini kali pertama?” tanya Efrain. Indira mengangguk. “Santai saja, anggap kamu sedang naik wahana permainan,” tutur Efrain membuka tablet kerjanya. Pramugari menanyakan beberapa hal mengenai kenyamanan dan Efrain menjawabnya dengan lugas. Indira masih terlihat gugup sepeninggal pramugari tersebut hingga Efrain memutuskan menemaninya berbicara. “Pacar kamu tahu kamu mau ke Bali?” “Tahu, dia hanya bilang hati-hati,” jawab Indira mengerucutkan bibirnya, bahkan setelah pertanyaan tentang meminjam uang yang tak diberinya itu, kekasihnya masih saja bersikap cuek dan dingin seolah tak peduli dengan kesusahan Indira. “Mas Rain, sudah terbiasa jadi sugar daddy seperti ini?” tanya Indira membuat Efrain melebarkan senyumnya. Ya dia terbiasa dengan kata itu, bahkan beberapa wanita menamai kontaknya dengan sugar Daddy, ponsel dengan nomor yang berbeda dengan yang diberikan pada Indira. Dia lupa untuk memberi kartu nama yang lain, yang diberi justru kartu nama nomor formalnya kemarin. “Kamu tidak namain saya pakai kata Sugar Daddy kan?” Efrain jadi teringat, bagaimana jika dia memberi nama seperti itu? Karena akan terlacak di sistem aplikasi penamaan ponsel kan? “Enggak, saya tulis nama dokter Efrain,” ucap Indira. Sepertinya pembicaraan ini membuat Indira sedikit lebih tenang. “Bagus. Ya saya sudah biasa, tapi saya tetap menjaga kebersihan dan kesehatan para sugar babby saya kok. Mereka check up rutin untuk HIV dan penyakit lainnya. Kamu kapan terakhir cek?” tanya Efrain. “Bulan lalu ada pengecekan dari puskesmas setempat untuk semua perempuan yang belum menikah, hasilnya bagus saya tidak terkena penyakit apa-apa. Mungkin karena saya menggunakan kondom,” ucap Indira meskipun cukup tabu mengatakan ini. “Saya tidak mau mengenakannya.” “Nanti kalau hamil bagaimana?” tanya Indira bingung. “Karena itu saya biasanya meminta mereka memakai pil KB, untuk kali ini saya akan beri pil KB darurat nanti,” ucap Efrain santai. Indira hanya melihatnya dengan pandangan takjub. Dia sangat tenang dan profesional untuk hal seperti ini. “Terakhir berhubungan kapan?” tanya Efrain karena Indira hanya terdiam. “Tahun lalu,” jawabnya. Memang mereka menjalani hubungan long distance dan kekasihnya itu jika bertemu sangat jarang memintanya. Kecuali ketika mereka saling berkirim pesan, terkadang mereka mengirim pesan dewasa untuk Farhan agar bisa mengeluarkan hasratnya. “Hmmm berarti jarang ya?” tanya Efrain lagi. Indira hanya mengangguk. “Kamu bisa bawa kendaraan?” “Bisa, motor,” jawab Indira. “Nanti les mengemudi mobil ya, kalau kamu butuh mobil bisa pakai punya saya.” “Apa mas selalu sebaik ini pada Sugar Baby Mas?” tanya Indira. Efrain terkekeh. Pesawat mulai terbang meninggalkan landasan. Betul dugaannya, pembicaraan seperti ini membuat Indira tidak terlalu gugup bahkan saat landing. “Enggak semua, tergantung babynya,” kekeh Efrain. “Mas belum menikah?” “Saya memutuskan tidak menikah.” “Kenapa?” tanya Indira. Efrain mengangkat bahunya acuh. “Saya tidak percaya pernikahan, untuk apa? Having seks bisa dilakukan tanpa menikah, kehidupan saya tetap bisa stabil tanpa istri.” “Oh,” jawab Indira pelan. Efrain menatap lurus ke depan. Menikah? Pemikiran konyol apa itu? Sampai kapan pun dia tak akan mau menikah. Sebaiknya dia mati dalam keadaan single dari pada harus berkeluarga. Arti keluarga pun dia tak mengerti. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD