Di bandara Ngurah Rai, Bali. Seorang pria memakai setelan jas perlente menunggu kedatangan mereka. Senyumnya merekah ketika melihat Efrain berjalan ke arahnya. Dia menyalami Efrain dengan penuh hormat.
“Selamat datang pak Efrain,” tutur pria itu.
“Terima kasih, oiya ini istri saya,” ucap Efrain memegang bahu Indira. Indira tersenyum dan membalas jabat tangan dari pria itu tanpa menyebutkan namanya.
“Saya sudah menyiapkan kamar hotel untuk istirahat, acaranya masih dimulai dua jam lagi, perjalanan mungkin akan memakan waktu sekitar setengah sampai satu jam menuju hotel,” tutur pria itu.
“Iya tidak masalah, masih ada waktu, istri saya nanti akan mendampingi saya untuk rapat,” ucap Efrain. Indira yang berjalan di sampingnya tidak terlihat canggung. Meskipun heels yang dikenakannya sesekali membuat kakinya seperti ingin terpeleset.
Pria yang menjemput Efrain mengemudikan mobilnya, Efrain duduk di sampingnya sementara Indira di belakang. Dia merasakaan perasaan aneh yang menyenangkan, dia tak pernah keluar kota sebelumnya terkecuali saat perpisahan sekolah dulu.
Kini dia bisa menjejakkan diri di Bali, hal yang bahkan tak pernah terlintas dalam mimpinya sekali pun. Dia berada dalam mobil mewah, dengan pakaian dan sepatu yang bagus, dan berada di tempat yang indah.
Butuh waktu sekitar empat puluh lima menit sampai ke hotel yang berada tak jauh dari bibir pantai. Koper Efrain dan Indira dibawakan petugas hotel menuju kamar. Indira langsung melihat keseluruhan kamar VVIP itu. Dia membuka pintu yang menuju ke balkon dengan dua ranjang nyaman. Balkon menghadap ke pantai yang sangat indah. Udara siang ini cukup sejuk meski matahari bersinar cerah.
“Saya mandi dulu,” ucap Efrain. Indira mengangguk, apakah dia ingin melakukannya sekarang? Indira membuka blazernya, dalaman tanpa lengan dengan kerah turtle neck itu terlihat pas dikenakannya. Dia mematut diri depan cermin. Merapikan rambutnya dan juga make upnya.
Efrain keluar dari kamar mandi sudah memakai pakain kerja formal, lengkap dengan setelan jas juga dasinya. Efrain menoleh ke arah Indira.
“Pakai blazer kamu, kita harus ke ruang meeting,” ucap Efrain.
“Oh, saya pikir,” ujar Indira menggantung kalimatnya, Efrain tersenyum miring, senyuman yang sangat mempesona siapa pun yang melihatnya.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Enggak ada,” ucap Indira, dengan cepat dia memakai blazernya kembali. Mengambil ponselnya dan ikut Efrain ke luar kamar.
Efran mengambil tangan Indira dan menyematkan di lengannya sehingga mereka tampak saling mengaitkan tangan. Beberapa orang menyalami Efrain dengan hormat, senyum tipisnya membuatnya terlihat jauh lebih berwibawa.
Dia kemudian duduk di kursi yang mejanya berbentuk setengah lingkaran, banyak orang-orang yang berpakaian sama sepertinya setelan jas dengan dasi, hanya ada beberapa wanita yang mungkin adalah sekretaris dari para audience yang hadir.
Indira duduk di sebelahnya, menatap ke sekeliling. Hingga moderator memulai rapat. Indira tampak bosan. Efrain mendekatkan wajah ke arahnya, “ambil foto untuk status kamu, habis itu kamu bisa jalan-jalan ke luar,” bisik Efrain.
“Saya boleh meninggalkan tempat ini?” balas Indira berbisik di telinga itu, bahkan dengan jarak sedekat ini dia bisa menghirup aroma parfum mahal milik Efrain yang tidak mencolok namun membuatnya tertarik untuk dekat dengannya.
“Ya,” balas Efrain, “bawa dompet tidak?” tanyanya.
“Enggak, tapi saya bawa uang cash dan ada qris.”
“Ok,” ucap Efrain. Seorang maju ke depan untuk menjelaskan rencananya, mereka membahas hal mengenai bisnis di luar pekerjaan Efrain sebagai dokter, bisnis yang juga mencakup tentang ilmu medis atau kesehatan juga. Efrain mengerutkan kening tampak kurang setuju dengan pernyataan pria itu, namun dia masih menahan diri.
Setelah mengambil beberapa gambar, Indira pun keluar dari ruangan itu. Dia ingin berjalan-jalan di sekitar hotel hingga dia mendapat notifikasi pesan dari Efrain. Mengirim bukti transfer senilai dua puluh juta seperti yang dijanjikan. Bahkan Indira belum melakukan seluruh pekerjaannya kan? Indira tersenyum senang menuruni lift, dia memberi pesan ucapan terima kasih dan berjalan riang menuju lobby hotel.
Efraim mengunci layar ponselnya setelah membaca pesan dari Indira. Dia langsung mengangkat tangannya seraya menatap tajam pada pria yang berbicara di depan.
“Saya tidak tahan untuk tidak mengatakan ini, namun semua yang anda katakan adalah kebohongan yang besar!” ujar Efrain membuat suasana yang semula tenang menjadi tampak riuh. Moderator yang juga pria penjemput Efrain tadi tersenyum tipis, bangga akan kehadiran Efrain di tempat ini.
Sementara itu, Indira dihampiri oleh manager hotel yang mengenalnya sebagai tamu VIP di hotel ini.
“Siang ibu apa ada yang ibu butuhkan?” tanya manager itu.
“Saya hanya ingin jalan-jalan saja, akses menuju pantai itu lewat mana ya?” tanya Indira.
“Saya antar ya,” ucap manager wanita itu. Indira hanya mengangguk saja. Dia pun diantar oleh manager itu menuju pantai yang terhubung langsung dengan hotel.
“Baik sampai sini saja enggak apa-apa, terima kasih ya,” ucap Indira.
“Sama-sama, jika ibu ingin berbelanja aksesoris khas Bali, ibu tinggal ikuti jalan dengan batuan ini ke arah kanan, nanti ada banyak penjual pernak pernik dan aksesoris khas Bali, jika ibu ingin ke anjungan tunai mandiri itu tepat terletak sepuluh meter sebelumnya,” ucap sang manager.
“Wah terima kasih ya,” ucap Indira. Seperti manager itu tahu yang dibutuhkan.
Indira pun berjalan menuju penjual aksesoris, dia melihat tas rajut dari bahan seperti bilah bambu yang diserut halus, berbentuk lingkaran. Sangat pas untuk dompet dan ponsel, dia membuka penutup ponselnya dan mengeluarkan selembar uang seratus ribu untuk membeli tas itu. Dia tak membawa dompet dan hanya uang itu di selipan ponsel. Dia akan mengambil uang untuk sedikit berbelanja di sini.
Setelah mengambil uang, Indira pun jalan-jalan di sekitar para penjual yang menjajakan barang jualannya. Dia membeli gelang mutiara air tawar yang sangat indah dan terbilang cukup murah. Dia merasa tak nyaman dengan heelsnya sehingga dia membeli sandal.
Secara tiba-tiba tangannya sudah dipenuhi kantung belanja karena dia membeli kain Bali, celana ketat dan juga kaos tanpa lengan yang mungkin akan dipakai nanti.
Indira juga membeli makanan ringan dan membawanya menuju bibir pantai dekat hotel, dia duduk di kursi panjang dibawah payung. Petugas hotel yang juga mengelola restoran menghampirinya. Indira memesan minuman dan makanan berat. Dia merasa lapar sekarang, lagi pula Efrain tak mengirim pesan lagi.
Indira melepas blazernya dan menikmati makan siang tersebut dengan pemandangan khas Bali. Statusnya sudah dilihat oleh Farhan yang tidak membalas sama sekali. Jelas sekali Indira melakukan pencitraan dengan menulis caption. “Kerja sampingan sekaligus ilmu baru.” Ilmu apa? Ilmu menjadi simpanan om-om empat puluh tahun kah?
***
Cukup sore ketika Efrain menghampirinya, Indira sudah melepas blazer dan berbaring di kursi panjang itu, suasana semakin sejuk di sore hari, banyak para turis yang bermain di pantai. Efrain berdiri di samping kursi Indira.
“Sudah makan siang?” tanya Efrain.
“Sudah, Mas. Bagaimana tadi meetingnya?”
“Alot, telat satu jam dari jadwal selesai seharusnya, ayo ke atas, kita massage dulu ya,” ucap Efrain. Indira mengangguk, mengambil tentengan belanjaannya. Efrain lagi-lagi mengamit tangan Indira agar memegang tangannya. Bukan berpegangan tangan. Apa mungkin dia menyukai pegangan seperti ini? Padahal Indira lebih suka bergandengan tangan. Ah lagi pula mereka tidak berpacaran secara resmi.
“Belanja?” tanya Efrain.
“Iya, habis jenuh,” kekeh Indira.
“Beli apa aja?” tanya Efrain dan percakapan mengalir sampai mereka menuju kamar.
Efrain tampak menelepon resepsionist dan setengah jam kemudian dua orang therapist massage masuk membawa meja dorong berisi alat-alat untuk memijat.
Mereka merapikan ranjang di balkon yang ternyata memang diperuntukkan untuk hal ini selain untuk bersantai.
“Silakan dibuka bajunya, pakai kemben saja ya,” ucap salah satu therapist yang usianya tampak sudah sangat matang mungkin di atas lima puluh tahun, keduanya memang terlihat tua namun wajah mereka bersih dan mereka terlihat kuat.
Indira membuka pakaiannya kecuali celana dalam dan memakai kemben, sementara Efrain memakai celana pendek saja.
Mereka berbaring nyaman di balkon itu, therapist mulai membalurkan minyak zaitun dan memijat lembut tubuh mereka berdua. Indira merasa seperti mimpi. Berada di tempat indah, tubuhnya dipijat dan terasa sangat nyaman.
“Indira,” panggil Efrain. Indira yang memejamkan mata itu membuka matanya dengan berat.
“Ya, Mas?”
“Sudah pernah waxing?” tanya Efrain.
“Belum, paling cukur aja.”
“Diwaxing sekalian ya,” pinta Efrain. Indira hanya bisa mengiyakan karena dia harus menuruti perintahnya kan? Dia sudah dibayar mahal untuk ini.
Setelah serangkaian pijat, bahkan mereka pun dilulur dan Indira melakukan waxing bagian ketiak dan kewitaannya. Terasa perih dan menyakitkan, dia sampai menjerit karena tak tahan ketika semua bulunya tercabut meskipun, setelah itu dipakaikan cream untuk menyamankannya.
Indira kemudian mandi s**u di bathtub yang disiapkan oleh therapist itu, baru lah pukul tujuh mereka turun untuk makan malam.
Mereka berdua menyempatkan diri jalan-jalan setelah makan, menonton pertunjukan kesenian dan masuk ke kamar tengah malam.
Efrain membersihkan diri dan langsung tidur, sepertinya dia sangat kelelahan. Indira cukup bingung. Mengapa dia tidak melakukannya malam ini? Bukankah Efrain membayarnya untuk hal itu?
Indira berbaring di ranjang nyaman yang sama, dia menghadap ke arah Efrain yang tertidur pulas dengan suara napasnya yang teratur. Tak ada pesan dari Farhan sama sekali. Sebaiknya seperti itu karena jika dia mendapat pesan, dia akan bingung berbohong padanya.
***