10. Supaya Bisa Dijual Mahal

1541 Words
"Mengubah kehidupan aku?" gumam Yuta tidak mengerti. "Betul sekali!" Dani mengangguk dramatis. "Apa yang bakal kamu lakuin?" tanya Yuta hati-hati. Dani mengangkat bahunya santai. "Banyak." "Misalnya apa?" "Banyak nanya deh, ah!" Dani berdecak sebal. "Emangnya Mas Lau belum bilang apa-apa sama lo?" Yuta menggeleng ragu. "Mas Lau cuma bilang tunggu arahan selanjutnya." "Nah!" Dani menjentikkan jarinya yang gemulai. "Arahan selanjutnya udah siap di depan mata." "Mas Dani, bisa tolong jelas-" Sayang Yuta tidak sempat menyelesaikan ucapannya karena keburu dihardik oleh Dani. "Jangan berani-berani panggil gue Dani!" teriak Dani berang. Satu-satunya orang yang dia izinkan memanggilnya ‘Dani’ hanya Lauritz. "Maaf, maksud aku Mas Anjani," ralat Yuta panik. "Jangan berani pake embel-embel 'mas'!" hardik Dani lagi. "Lagian lo pikir ada mas mas namanya Anjani?" Yuta hanya bisa memandangi sosok lelaki kemayu di hadapannya dengan frustrasi. Akhirnya, dia bertanya bodoh, "Maaf, jadi aku harus panggil apa?" "Panggil Anjani," sahut Dani penuh kebanggaan. "Tanpa embel-embel mas atau mbak. Cukup Anjani. Kalau kepanjangan, boleh disingkat jadi Ann. Paham?" "Oke." Angguk Yuta patuh. Akan diingatnya baik-baik hal ini. Jangan sampai terulang lagi kesalahan bodoh yang bisa membuat Dani terlihat ingin menerkamnya seketika. "Sekarang, cepetan bangun!” Dani membuka selimut Yuta dengan kasar, lalu menarik lengan gadis itu. “Jangan kebanyakan mikir karena lo enggak punya waktu lagi buat ngelamun mulai detik ini." Menguap sudah dan terlupakanlah pertanyaan yang ingin Yuta sampaikan tadi. Meski kebingungan, dia terpaksa turun juga dari tempat tidur. Apalagi Yuta memang tidak kuat melawan tenaga Dani yang besar. Sekali tarik saja Yuta sudah berhasil terseret. "Kamu mau apa?" tanya Yuta panik saat Dani menariknya terus, padahal dia sudah berdiri. "Seret lo ke kamar mandi," jawab Dani cuek. Sontak Yuta berusaha mengerem langkahnya. "Buat?" "Ya buat mandi dong, ah! Masa gitu aja mesti dijelasin. Enggak mungkin kan gue bawa-bawa lo dalam keadaan bau iler kayak sekarang?" sembur Dani sewot sambil mendorong Yuta ke kamar mandi. "Sana masuk! Lo bisa mandi sendiri, 'kan? Atau perlu gue panggil pelayan buat mandiin lo lagi?" "Aku bisa sendiri!" seru Yuta panik. Cepat-cepat dia masuk ke kamar mandi dan menguncinya. Bergidik rasanya mengingat kejadian saat dia dimandikan beberapa hari lalu di tempat ini. "Bagus!" Dani tertawa puas melihat Yuta yang ketakutan setelah diancam olehnya. Kemudian, dengan suara keras Dani bertitah. "Enggak pake lama, oke? Lo berhak mandi lama dan bersantai kalau semua kerjaan udah selesai. Kalau sekarang, lo dilarang santai-santai!" Yuta yang masih kebingungan hanya diam tanpa menanggapi. Baru saja hendak mandi, Yuta segera tersadar kalau dia tidak membawa apa-apa ke dalam. “Kenapa keluar lagi?” Suara galak Dani langsung terdengar begitu Yuta membuka pintu kamar mandi. “Baju ganti aku …,” ujar Yuta takut-takut. Wajah Dani sungguh galak dan ketus, membuat nyali Yuta ciut setiap kali bertatapan dengannya. “Mandi dulu aja, nanti gue pilihin,” titah Dani. “Aku pilih sendiri saja.” “No way!” larang Dani galak. “Kenapa?” tanya Yuta bingung. “Nanti seleranya enggak sesuai standar gue.” Kepala Yuta langsung pusing seketika. Memangnya pakaian seperti apa yang sesuai standar Dani? Perlahan gambaran-gambaran menakutkan mulai berseliweran dalam benak Yuta. Dia teringat pada pakaian-pakaian serba terbuka dan membuatnya tidak nyaman yang biasa Fadi pilihkan. Melihat Yuta malah bengong, Dani langsung mengentakkan kaki. “Udah cepetan!” Seketika Yuta terbirit masuk kembali ke kamar mandi. Dia mandi secepat mungkin karena teringat pesan galak Dani. Daripada dia terus kena dimarahi, lebih baik Yuta berusaha meminimalisir kesalahan. Selesai mandi, Yuta membuka pintu hati-hati dan mengintip keluar. Dilihatnya Dani sedang duduk santai di kursi dekat jendela sambil membaca majalah. Yuta jadi serba salah. Haruskah dia keluar, atau menunggu terus di kamar mandi karena saat ini dirinya hanya mengenakan lilitan handuk di sekeliling tubuh. Rupanya Dani menyadari kepala Yuta yang melongok dari pintu. "Ngapain diam di situ?" Perlahan Yuta bertanya hati-hati, “Maaf, di mana baju ganti aku?” “Tuh! Di ranjang!” “Ngg …." Yuta tampak bingung. Masa dia keluar dengan berlilitkan handuk saja, sementara ada seorang lelaki di kamarnya? “Kenapa lo diam aja di situ?” tanya Dani tidak sabar. “Gimana aku ambilnya?” tanya Yuta bodoh. “Ya jalan dong!" seru Dani gemas. "Gitu aja nanya!” “Kamu bisa keluar dulu?” tanya Yuta dengan nada memohon. “Buat apa?” sahut Dani malas. “Aku malu.” “Tenang aja, gue enggak napsu liat lo!” ujar Dani sambil mengibaskan tangan. “Lagian lo kan model, di backstage juga udah biasa kali ganti baju rame-rame. Masa masih malu aja?” Kalau dipikir-pikir benar juga. Saat sedang peragaan busana, berganti pakaian sudah tidak lagi mengenal kata malu. Siapa juga yang memikirkan malu saat pergantian busana harus dilakukan dengan sangat cepat? Karena dalam satu acara peragaan, seorang model bisa kebagian membawakan dua hingga tiga, terkadang malah lebih. Akhirnya, Yuta berusaha mengabaikan rasa malunya dan berjalan menghampiri tempat tidur. Di sana, dia menemukan sebuah terusan cantik selutut berwarna kuning lemon dengan potongan sederhana yang terlihat cerah sekaligus elegan. Sama sekali berbeda dengan pakaian yang biasanya Fadi pilihkan. “Ini baju siapa?” tanya Yuta bingung. “Baju lo," jawab Dani datar. “Bukan." Yuta langsung membantah. "Ini bukan baju saya.” “Kalau gue bilang baju lo, ya artinya itu baju lo!” desis Dani heran. “Tapi ….” “Aduh, cerewet!" sembur Dani tidak sabar. "Cepetan pake atau perlu gue yang pakein?" “Aku pakai sendiri!” Cepat-cepat Yuta menyambar pakaian itu dan berlari kembali ke kamar mandi. “Heran. Bebal amat ini cewek!" Dani menggerutu panjang lebar saking kesalnya kepada Yuta. "Mas Lau ngapain sih nyuruh gue ngurusin cewek kayak dia? Bisa mati muda gue ngurusin cewek ini!” Sepanjang omelan Dani mengalir, selama itu juga Yuta mendekam di kamar mandi. Kesal karena Yuta begitu lamban, Dani berjalan menghampiri kamar mandi dan menggedornya keras-keras. “Udah selesai belum?” Seketika pintu langsung terbuka. “Udah.” “Ayo, turun!” Tanpa basa basi Dani menarik tangan Yuta dan menyeret gadis itu keluar kamar. “Udah telat nih!” “Mau ke mana?” “Pergi," jawab Dani ketus. “Ke?” “Nanya mulu!” hardik Dani jengkel. Akhirnya, Yuta tidak berani bertanya lagi. Dia diam saja saat diseret oleh Dani memasuki sebuah mobil berwarna merah terang dan dibawa pergi entah ke mana. Yuta baru bersuara lagi saat mobil sudah berhenti di tujuan. “Kenapa saya dibawa ke rumah sakit?” tanya Yuta hati-hati. “Buat menjalani pemeriksaan.” Hanya jawaban irit yang Dani berikan. “Pemeriksaan apa?” “Menurut lo apa?” balas Dani sinis. “Kalau tau enggak mungkin aku tanya," gerutu Yuta yang lama-lama kesal juga dijudesi terus oleh Dani. “Eh, berani juga dia!” desis Dani sebal. Nanun, akhirnya dia memberi penjelasan juga meski masih tergolong singkat. “Lo itu mau diperiksa kesehatannya. Sehat enggak lo itu secara fisik dan mental.” “Gunanya buat apa?” tanya Yuta lagi. “Bentar, deh!" potong Dani heran. "Lo tuh nanya mulu, emangnya sama sekali enggak tau apa-apa?” Yuta langsung menggeleng pelan. Dani mengerjap heran. “Mas Lau beneran enggak jelasin apa-apa sama lo?” Yuta kembali menggeleng. Dani mengembuskan napas keras. Lauritz memang paling senang membuatnya susah. Namun, dengan bodohnya Dani selalu menuruti keinginan pemuda itu. “Kalau gitu gue juga ogah kasih penjelasan," ujar Dani malas. "Lo ikutin aja deh semua yang gue suruh.” Begitu banyak tanya dalam kepala Yuta, tetapi dia tahu mengutarakannya kepada Dani akan berujung sia-sia juga. Dani pasti tidak akan mau memuaskan keingintahuannya. Jadi, dia hanya bisa pasrah saja mengikuti semua yang Dani suruh. Yuta menjalani pemeriksaan menyeluruh di rumah sakit, melewati berbagai macam tes, bahkan sempat juga berbincang-bincang dengan seorang psikolog. Hampir enam jam Yuta menghabiskan waktu di rumah sakit sebelum akhirnya Dani membawa gadis itu menuju tempat lain. “Sekarang mau apa lagi?” tanya Yuta lesu saat mobil Dani berhenti di sebuah salon kecantikan. Lagi-lagi Dani menjawab ketus, “Mau rombak tampilan lo." “Tapi aku enggak mau potong rambut!” tolak Yuta panik. Dia sangat menyayangi rambut hitam panjangnya. Bagi Yuta, rambutnya adalah kebanggaannya. Dani berdecak sebal. “Siapa juga yang mau potong rambut lo?” “Kalau gitu kenapa ke salon?” tanya Yuta bingung. Dani menggeleng keki. “Lo kira ke salon cuma buat potong rambut?” Yuta mengangguk lugu. “Aku kira begitu.” "Gue kasih tahu ya sama lo," ujar Dani sambil mengembuskan napas kencang. "Salon itu bukan cuma buat potong rambut. Banyak hal lain yang bisa lo lakuin di salon. Contohnya creambath, rebonding, keriting, styling, ngecat, de el el, de el el! Ngerti?" Sesungguhnya Yuta tidak terlalu paham penjabaran Dani, tetapi dia memilih manggut-manggut saja. "Terus rambut aku mau diapain?" Dani menyentuh rambut panjang Yuta dan memainkannya di jemari. “Rambut lo itu emang bagus. Panjang, tebal, hitam. Tapi kurang perawatan. Rambut lo harus diurus biar berkilau.” Yuta menunduk melihat rambutnya sendiri. Baru pernah ada orang yang mengatakan rambutnya kurang terurus, padahal selama ini Yuta selalu menuai pujian. Tangan Dani berpindah ke lengan Yuta dan membelainya. “Kulit lo juga perlu digosok biar kinclong.” “Kenapa harus begini?” bisik Yuta ngeri. Di benaknya mulai terbayang rencana busuk yang mungkin Lauritz siapkan untuknya. “Penampilan lo harus bagus," ujar Dani angkuh. "Kalau lo dekil, lo enggak bisa dijual mahal."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD