"Bangun!” seru Dani sambil melenggang masuk ke kamar Yuta.
Sama seperti kemarin siang, tidak ada sahutan. Yuta tidak bereaksi dengan panggilan Dani. Malas berteriak lagi, Dani meniup peluit. Namun, gadis itu masih tetap memejamkan mata meski mulai terlihat sedikit menggeliat.
Woy, buset!” teriak Dani senewen. Belum pernah dia menemui orang yang sedemikian sulitnya untuk dibangunkan. Kembali Dani meniup peluit, kali ini dengan jarak sangat dekat dari tempat tidur.
“Yuta! Maha! Rani! Bangun!" Dani menjeritkan penggalan nama Yuta sambil mengguncang tubuh gadis itu. Penggalan nama yang salah karena seharusnya Maharumi bukan Maharani. "Parah edan!"
Baru setelah diguncang keras-keras oleh Dani, Yuta mulai membuka matanya. Kepala Yuta pening seketika karena dibangunkan paksa oleh guncangan disertai suara melengking. Sebenarnya sejak pertama peluit dibunyikan, Yuta sudah mendengarnya. Namun, gadis itu tidak kuasa membuka mata. Selalu seperti itu, bawah sadarnya sudah lebih dahulu mendengar, tetapi tubuhnya tidak bisa bereaksi.
"Ada apa lagi ini?" bisik Yuta lesu.
"Bangun! Udah pagi!” jerit Dani keki. “Lo mau tidur sampai jam berapa?"
“Memangnya sekarang jam berapa?” Belum ada cahaya matahari yang menerobos masuk ke dalam kamar membuat Yuta berpikir sekarang masih tengah malam.
“Jam lima!” sahut Dani galak.
“Baru jam lima,” erang Yuta lirih.
“Bukan baru, tapi udah. Ayo, bangun!” seru Dani jengkel.
"Kenapa kamu ada di sini lagi sepagi ini?" tanya Yuta kebingungan.
"Emang kenapa?" balas Dani ketus.
"Kemarin kan sampai malam kamu juga masih di sini."
"Terus masalahnya apa?"
"Kapan kamu datangnya?"
Dani mendengkus heran. "Gue itu tinggal di sini juga."
"Oh …."
"Persis di sebelah kamar lo," imbuh Dani.
"Oh …."
"Jangan oh oh oh aja!” sentak Dani geregetan. “Enggak sabaran gue lihat lo!"
"Kamu mau suruh aku ngapain lagi pagi ini?" tanya Yuta tanpa minat.
"Bangun!" Lagi-lagi Dani menarik paksa selimut Yuta seperti kemarin.
Meski terpaksa, Yuta turun juga dari tempat tidur seperti perintah Dani. Begitu kakinya menjejak lantai, Yuta langsung berjalan lurus melewati Dani.
Refleks Dani menyambar lengan Yuta. "Eh, mau ke mana lo?"
"Mandi," jawab Yuta datar.
"Enggak usah!” larang Dani. “Cuci muka sama sikat gigi aja."
"Mandinya?" Yuta mengernyit heran. Kemarin dia dipaksa mandi, sekarang tidak perlu. Sebenarnya apa mau Dani?
"Nanti aja.” Dani mengibaskan tangannya cepat. “Habis ini juga gue mau ajak lo kotor-kotoran lagi. Habis selesai baru deh lo mandi."
Yuta mengerjap panik. "Kotor-kotoran gimana?"
"Nanti juga lo tahu sendiri." Dani mengedik malas.
Seperti kemarin, Yuta memilih diam dan menuruti saja semua perintah Dani. Secepatnya dia membersihkan diri di kamar mandi. Benar-benar dalam artian cepat karena Dani menghitung keras-keras dari luar kamar mandi dan hanya memberi Yuta waktu 30 hitungan saja.
Dalam hati Yuta menggerutu. Dia tak ubahnya seperti tengah mengikuti pelatihan militer saja. Semua harus serba cepat dan di bawah tekanan.
Yuta bertambah tertekan ketika mengetahui alasan Dani menyeretnya ke luar saat matahari belum lagi muncul.
"Kita mau apa subuh-subuh begini keluar rumah?" tanya Yuta waswas.
"Olahraga." Dani menjawab santai sambil mulai mengayunkan kakinya. Dia segera menoleh ke belakang ketika tidak terdengar langkah kaki Yuta mengikuti. "Ayo, ikut!"
Rasanya Yuta ingin menangis saja. Dia benci olahraga. Apalagi di saat dirinya masih mengantuk seperti sekarang, tetapi daripada diteriaki lagi oleh Dani, Yuta memilih ikut lari dengan pasrah.
Namun, setelah mencoba mengikuti Dani selama lebih dari 15 menit, Yuta mulai keteteran. Derap kakinya makin melambat dan Yuta bertanya sambil terengah, "Ann, ini masih berapa lama lagi aku harus lari?"
"Sampai mencapai target," jawab Dani singkat.
"Targetnya berapa?"
"Buat hari ini cukup 30 menit dulu aja. Dan asal lo tahu, ini bukan lari tapi joging." Dani mengoreksi ucapan Yuta yang baginya terdengar salah.
"Apa bedanya?" tanya Yuta polos.
"Jelas beda!" sahut Dani sewot. "Lari itu ngebut, joging sih santai. Lari langkahnya gede-gede, joging kecil aja."
Yuta mengangguk cepat. Sesungguhnya dia tidak peduli dengan penjelasan Dani. Hal yang Yuta pikirkan hanya satu. Kapan ini akan berakhir?
Yuta memberanikan diri untuk bertanya, "Setelah mencapai target aku boleh pulang?"
"Tentu belum." Dani menggeleng sadis. "Masih ada lagi."
"Hah?" desah Yuta lemas.
"Lanjut jalan santai selama 30 menit lagi."
Refleks gerak kaki Yuta terhenti total. Dia tidak sanggup lagi melanjutkan.
"Buat apa sih aku harus begini?" tanya Yuta lemas. Suaranya terdengar seperti hampir menangis.
"Biar sehat. Biar body lo bagus. Emang enggak mau punya body goals kayak gue?" tanya Dani pongah sambil memamerkan tubuh bugarnya.
Yuta terdiam memandangi Dani. Harus diakui tubuh lelaki itu memang bagus. Langsing dan kencang. Bahkan perempuan pun akan iri melihatnya.
"Aku benci olahraga," keluh Yuta pelan.
"Mulai sekarang lo harus cinta sama olahraga karena itu bakal jadi makanan lo sehari-hari," ujar Dani dengan nada memaksa.
"Kenapa harus repot-repot begini sih, Ann?" tanya Yuta putus asa. "Bukannya tinggi dan berat badan aku udah cukup ideal?"
Sejak dirinya mengenal dunia model, Yuta tidak pernah dituntut untuk berolahraga. Tidak ada juga yang memintanya mengubah bentuk tubuh. Semua orang mengatakan Yuta memiliki tubuh yang indah, nyaris sempurna.
"Berat sama tinggi badan doang enggak bisa jadi patokan. Bentuknya yang penting," ujar Dani tegas. "Kalau cuma jadi model, kurus ceking emang bagus. Tapi lo enggak bisa gitu. Badan lo harus padat, kencang, kelihatan sehat. Lo harus punya badan super bagus, aduhai, memikat, pokoknya yang bakal bikin semua orang iri."
Ucapan Dani membuat pikiran Yuta kembali melayang. Dia masih ingat soal kemarin ketika Dani mengatakan dirinya harus bisa 'dijual mahal'. Sebenarnya akan dijadikan apa dirinya? Benarkah Lauritz akan membuatnya menjadi artis, atau jangan-jangan ada maksud lain?
***
Setelah satu jam yang begitu penuh siksaan, akhirnya Yuta bisa kembali ke kediaman Lauritz. Hal pertama yang Yuta lakukan begitu kembali adalah segera menuju arah dapur. Sayang, lagi-lagi teriakan Dani terdengar.
"Hei, mau ke mana?"
"Minta makan sama Mbok Sasmi," jawab Yuta lirih.
"Enggak boleh!" larang Dani kejam.
"Hah?" Sontak Yuta melongo dan nyaris pingsan di tempat. Sudah dirinya lelah bukan kepalang, perutnya melilit sampai rasanya nyaris mati kelaparan, kini mau makan pun dilarang. Apa jangan-jangan Dani ingin membunuhnya secara perlahan?
"Lo baru beres exercise. Enggak boleh langsung makan!" tutur Dani tegas.
"Jadi, kapan aku boleh makan?" bisik Yuta hampir menangis.
"Nanti. Tunggu setengah jam dulu."
"Kalau minum boleh?"
"Boleh, tapi jangan banyak-banyak."
Yuta tertunduk pelan, padahal dia sudah berencana ingin minum sebanyak-banyaknya sampai perut terasa penuh. Namun, yang terjadi dia hanya dapat jatah minum satu gelas saja. Itu pun harus dilambat-lambat.
"Kalau mandi sekarang boleh, 'kan?" tanya Yuta usai menghabiskan air di gelas.
"Mandi sih jelas enggak boleh!" hardik Dani kesal.
"Kenapa?"
"Enggak bagus!"
"Jadi, apa yang boleh?"
"Diem aja." Dani mengedik ke arah ruang baca milik Lauritz. "Sambil baca buku juga boleh."
Lewat 30 menit, sesuai janji Dani, lelaki itu mengajak Yuta ke meja makan.
"Nih, makan!" Dani menyorongkan piring berisi potongan apel.
Yuta mengerjap tidak percaya. "Cuma ini?"
Dani berkacak pinggang di depan Yuta. "Emang apa yang lo harap?"
"Nasi mungkin?" tanya Yuta tidak yakin.
Dani tersenyum sinis. "Pake apa?"
"Apa aja yang ada." Yuta menjawab sambil menghirup napas dalam-dalam. Aroma harum dari dapur membuatnya pusing. Perutnya berteriak minta diisi dengan segala kelezatan yang berasal dari olahan tangan Sasmi. "Kayaknya Mbok Sasmi lagi goreng ikan. Ada aroma sambal juga."
Terbit sudah liur Yuta membayangkan kelezatan yang pasti membuatnya makan dengan lahap itu.
"Ngimpi aja sana!" bentak Dani sewot.
"Kenapa?"
"Mulai hari ini, ucapin selamat tinggal sama gorengan. Paling lo bisa ketemu gorengan sebulan sekali."
"Hah?"
"Nasi juga bakal jarang-jarang muncul di menu makan lo."
Air mata yang sejak tadi Yuta tahan-tahan, akhirnya meleleh juga. Rasanya dia begitu kesal dan frustasi sampai tangisnya tidak bisa dibendung.
"Sebenarnya aku itu mau dijadiin apa sih? Kenapa disiksa begini?" bisik Yuta putus asa.
"Lo tanya sendiri aja nanti sama orang yang kasih perintah," jawab Dani tidak peduli.