Setelah satu minggu berada di Belanda, Lauritz akhirnya kembali. Hari sudah petang saat mobil Lauritz memasuki halaman. Dari kejauhan, dia sudah melihat Yuta yang tengah duduk sendirian di undakan menuju teras. Keningnya langsung mengernyit.
Sudah hampir satu jam Yuta duduk melamun sendirian. Begitu melihat mobil terparkir dan Lauritz turun, dia langsung cepat-cepat berdiri.
"Lagi apa kamu di sini?" tegur Lauritz ketika menyadari Yuta tengah menatapnya sedemikian rupa.
"Nunggu kamu pulang,” jawab Yuta sambil terus menatap mata Lauritz.
Kening Lauritz berkerut dalam. "Nunggu aku?"
"Betul." Yuta mengangguk mantap.
"Ada masalah?" tanya Lauritz heran.
"Aku mau menuntut penjelasan," sahut Yuta berani.
"Aku baru pulang dan capek banget.” Lauritz menggeleng malas, lalu langsung melewati Yuta begitu saja. “Jangan cari masalah dulu."
Yuta dengan berani mengejar Lauritz dan mengadang langkah pemuda itu. "Aku juga capek banget selama kamu enggak ada."
"Mas Lau baru sampai?" sapa Dani ceria.
"Hm." Lauritz mengangguk malas.
"Lo ngapain di sini?" Dani tampak heran saat menyadari Yuta sedang berdiri mengadang langkah Lauritz.
"Dia bilang mau menuntut penjelasan dari gue," ujar Lauritz heran.
"Ngaco aja anak ini!” tandas Dani galak. Segera disambarnya lengan Yuta dan membawa gadis itu menjauh dari Lauritz. “Udah gue bilang jangan macam-macam! Ayo, ikut!"
"Enggak mau!” bantah Yuta berani. Dia mengeraskan lengan dan memijak lantai kuat-kuat agar tarikan Dani tidak berhasil membuatnya terseret. Yuta saat ini terlihat sangat keras kepala dan penuh tekad. “Aku mau dengar dulu penjelasan dari Mas Lau."
"Nanti bisa, 'kan?" tanya Dani galak. Ditariknya lagi Yuta kuat-kuat. Namun, melihat tekad Yuta yang sangat kuat, Dani segera beralih kepada Lauritz. "Mas Lau, masuk dulu sana! Biar anak ini gue yang urus."
Lauritz kembali menggeleng heran, lalu melewati Yuta dan langsung menuju ke dalam.
"Kenapa menghalangi aku bertanya?" tanya Yuta kesal. Matanya saat ini terlihat sangat marah.
"Bukan menghalangi, Maharani!”
"Nama saya Maharumi bukan Maharani!" jerit Yuta kesal. Kalau dalam keadaan biasa, dia masih bisa diam saja saat Dani memanggil namanya dengan sesuka hati. Namun, di kala sedang dongkol setengah mati, Yuta jadi ingin mengamuk.
"Enakan Maharani," sahut Dani tidak peduli. "Dan gue bukan menghalangi lo, cuma menjaga supaya lo enggak bikin Mas Lau naik darah."
"Siapa yang mau buat Mas Lau naik darah?" tanya Yuta jengkel.
Dani mengetuk kening Yuta dengan santai. "Lo."
"Aku enggak berniat begitu," bantah Yuta sebal.
"Lo mau tanya kenapa selama beberapa hari ini lo gue siksa terus, 'kan?" ujar Dani sambil tersenyum meremehkan.
“Memangnya salah?” balas Yuta keki.
"Nah, itu bakal bikin Mas Lau naik darah, Maharani!" desis Dani sambil mendelik.
Dani sudah sangat paham tabiat Lauritz. Oleh karena itu, meski suasana hati Lauritz sering tidak jelas dan pemuda itu kerap memberi perintah aneh-aneh, Dani sama sekali tidak takut kepadanya. Bagi Dani, Lauritz yang terpaut dua tahun lebih tua darinya itu sudah ibarat kakak saja. Herannya lagi, Lauritz juga tidak pernah bisa marah kepada Dani semenyebalkan apa pun kelakuannya, bahkan tidak jarang mendengarkan saran lelaki kemayu itu.
Kesal karena tujuannya tidak tercapai, Yuta segera naik menuju kamar dengan langkah kasar. Jengkel sekali hatinya saat ini. Begitu sampai di kamar, Yuta langsung mengurung diri dalam selimut. Hanya itu satu-satunya tempat dia bersembunyi karena Dani selalu bisa keluar masuk seenaknya di kamar yang Yuta tempati.
Di balik selimut, Yuta bisa mendengar langkah Dani memasuki kamar. Lelaki itu sepertinya duduk di kursi dekat jendela. Mungkin berjaga agar Yuta tidak lari ke luar seenaknya dan kembali menemui Lauritz untuk menuntut penjelasan. Sekitar setengah jam kemudian, Yuta mendengar suara Lauritz di depan kamar.
“Dani, ajak dia ke meja makan!” ujar Lauritz sambil melirik sepintas ke arah tempat tidur.
“Oke!” Dani langsung melonjak dari kursi, lalu menghampiri tempat tidur. Diguncangnya tubuh Yuta cukup keras. “Maharani, kita turun!”
Yuta diam saja. Dia malas merespon.
“Jangan pura-pura tidur!” Dani menarik kasar selimut yang membungkus tubuh Yuta hingga kepala.
“Mau apa?” tanya Yuta sinis begitu mereka bertatapan.
“Diajak makan sama Mas Lau.”
“Kamu aja. Aku enggak mau,” tolak Yuta sebal.
“Lo yakin enggak mau makan?” goda Dani kejam. “Hari ini Mbok Sasmi masak makanan yang enak-enak banget.”
“Percuma.” Yuta mendengkus sebal. “Kamu juga enggak akan kasih aku makan.”
“Khusus hari ini gue kasih izin lo makan,” ujar Dani sambil mengerling penuh arti.
Seketika wajah Yuta jadi cerah. “Kamu serius?”
“Iya, Maharani! Ayo, cepetan!” Ditariknya tangan Yuta agar gadis itu segera turun dari tempat tidur.
Tiba di meja makan, penglihatan dan penciuman Yuta langsung dimanjakan dengan hidangan menggoda. Benar kata Dani, hari ini Sasmi memasak hidangan istimewa. Entah berapa banyak menu tersaji di meja, yang pasti Yuta yakin itu lezat.
“Kenapa lama sekali?” tegur Lauritz sebal.
“Biasa, Maharani emang lambat,” jawab Dani cuek. Ditariknya kursi di seberang Lauritz, lalu duduk dengan santai. “Gimana Papa? Udah membaik?"
Yuta ikut menyusul duduk di sebelah Dani. Kekesalan hatinya sedikit terobati oleh aroma membahagiakan dari depan mata. Bayangkan saja setelah seminggu disiksa dengan diberi makan ala kadarnya oleh Dani, melihat menu yang tersaji di meja makan jelas membuat Yuta bahagia. Siapa yang bisa membandingkan kelezatan nasi putih panas dipadu ikan goreng dan sambal dengan ubi kukus, telur rebus, tahu kukus, labu kukus, serta segala macam makanan tanpa rasa lainnya?
“Udah stabil.” Lauritz mengangguk tenang.
"Enggak apa-apa Papa ditinggal, Mas?" tanya Dani khawatir.
"Aman. Gue udah atur orang buat urus Papa."
"Padahal Mas Lau bisa minta Mas Morgan buat aturin kerjaan biar ditahan beberapa waktu lagi," gumam Dani gusar.
Lauritz pun tahu, sebagai manajer, Morgan bisa membantunya menjadwal ulang semua pekerjaan. Namun, dia tidak ingin. "Gue enggak mau seenaknya. Biar aja nanti gue ke sana lagi pas ada waktu."
“Kapan ada waktu?" gerutu Dani sebal.
Lauritz berlagak tidak dengar dan menanyakan hal lain. "Gimana urusan di sini selama gue pergi? Apa ada masalah?"
“Enggak terlalu lancar, tapi enggak sampai bermasalah juga sih,” sahut Dani cepat.
“Apa yang enggak lancar?” tanya Lauritz curiga.
Dani langsung menyikut lengan Yuta. “Ini anak banyak nanya. Bikin pusing. Mana suka protes juga.”
Lauritz melirik Yuta heran. Dia jadi ingat kelakuan gadis itu di teras tadi. “Memangnya apa yang ditanyain?”
“Sana, tanya semua hal yang bikin lo penasaran!” titah Dani.
Bukannya bertanya, Yuta malah terdiam. Dia hanya melirik ke ke samping, lalu berganti ke depan.
“Malah diam!” desis Dani tidak sabar. “Sana, tanya! Awas besok-besok recokin gue lagi.”
“Apa yang mau kamu tanya?” ujar Lauritz sambil menatap Yuta penuh selidik.
“Sebenarnya apa rencana kamu?" tanya Yuta tanpa basa-basi lagi. "Kenapa aku disiksa setiap hari?”
“Disiksa?” Lauritz mengernyit tidak mengerti.
“Sama Ann.” Yuta menunjuk Dani dengan sebal. “Setiap pagi diteriaki, dipaksa olahraga, makan dibatasi, disuruh perawatan aneh-aneh. Sebenarnya aku mau diapain?”
“Memangnya udah dimulai?” Lauritz terlihat cukup terkejut mendengar gerutuan Yuta.
“Mas Lau kan suruh gue urus,” sahut Dani santai.
Lauritz menyentuh pelipisnya sekilas. “Gue kira masih nanti.”
Lauritz memang memerintahkan Dani untuk mengurus Yuta, tetapi dia pikir masih masa penyesuaian terlebih dahulu. Bukannya langsung digojlok seperti yang gadis itu keluhkan.
“Mas Lau kayak enggak tahu aja cara kerja Anjani. Semua harus serba cepat, dong!” ujar Dani menggebu. “Anjani itu profesional. Apalagi Mas Lau bilang makin cepat dia menghasilkan uang makin bagus.”
“Tolong jawab dengan jujur,” potong Yuta gemas. Setiap mendengar kata 'uang' dan 'mahal' Yuta jadi sangat sensitif. “Apa kamu mau jual aku?”
“Hmpt!” Seketika Lauritz tersedak dan menyusul terbatuk-batuk.
“Maharani!” tegur Dani kaget. “Lo sehat?”
“Kenapa kamu berpikir aku berniat menjual kamu?” tanya Lauritz setelah batuknya reda.
"Ann yang bilang aku harus punya bentuk badan yang bagus. Penampilan harus terawat, enggak boleh dekil. Aku juga harus sehat supaya bisa dijual mahal."
“Parah ini anak!” bentak Dani gemas. “Lo kira Mas Lau mucikari?"
“Mana aku tahu,” balas Yuta sama jengkelnya. "Kali aja usaha sampingannya jadi sindikat perdagangan manusia."
"Ngawur, sumpah!" desis Dani tidak habis pikir.
“Kamu salah paham,” ujar Lauritz enteng. Mengetahui isi kepala Yuta yang polos dan kacau membuat Lauritz sedikit geli.
“Lo kira istilah 'jual' yang gue pakai itu jual secara harfiah?" Dani menggeleng tidak percaya.
Yuta mengangkat bahunya. “Aku harus waspada buat kemungkinan terburuk.”
Dani berdecak heran. "Waspada dari apa, deh?"
"Dari orang-orang licik di ibu kota yang senang memanfaatkan kepolosan cewek kampung kayak aku," desis Yuta penuh kebencian.
Ucapan Yuta yang terdengar getir membuat Lauritz sedikit iba. Dia bisa menduga sakit hati dan kecurigaan tinggi yang Yuta miliki berasal dari pengkhianatan Fadi. Akhirnya, dia memilih meluruskan kesalahpahaman Yuta. “Kamu sedang dipersiapkan untuk menjadi sosok publik figur yang berkelas."
“Maksudnya gimana?” Yuta masih saja belum paham.
Lauritz mengembuskan napas, lalu mulai menjelaskan, "Aku udah bilang kalau aku mau bantu kamu untuk jadi terkenal dan itu enggak asal-asalan. Kamu harus punya bekal dan modal yang kuat untuk bisa mencapai itu. Ibarat memancing, kalau mau dapat ikan besar, tentu umpannya juga harus yang berkualitas."
Yuta terdiam menyimak penjelasan Lauritz.
"Itu sebabnya kamu akan dididik dan dilatih secara ketat sampai kamu siap memasuki dunia hiburan. Aku enggak mau kamu sekadar jadi artis kaleng-kaleng," ujar Lauritz serius.
Dani mengangguk setuju, kemudian menambahkan, "Kayak yang udah gue bilang. Enggak cukup cuma muka dan postur bagus, lo juga harus punya kemampuan dan keahlian khusus."
"Dani benar." Lauritz langsung mendukung ucapan asistennya. "Kalau udah begitu, enggak perlu kamu susah-susah cari kerjaan. Kerjaan yang akan datang sendiri ke kamu, bahkan orang berani bayar mahal untuk pakai kamu di proyek mereka."
"Kayak Mas Lau ini," imbuh Dani bangga.
Jujur saja, meski ragu itu masih ada, tak ayal Yuta merasa kagum juga. Dia tidak menyangka Lauritz benar-benar berniat mendukungnya sampai seperti ini.
"Jadi, udah paham sekarang?" tanya Dani galak.
Yuta mengangguk kecil, lalu berbisik malu, "Maaf udah salah paham sama kalian."
“Jalani aja hari-hari kamu di sini dengan tenang,” ujar Lauritz sungguh-sungguh. “Patuhi semua yang Dani perintahkan. Pelajari dengan baik semua yang diajarkan kepada kamu. Enggak perlu pikirkan hal-hal lain. Enggak perlu mencemaskan apa-apa. Kamu aman di sini.”