Bab 5. Perkara Kopi

1103 Words
“Loh! Kenapa teleponnya ditutup.” Indira bingung. “Kamu itu paham tidak apa yang saya minta!” Emosi Adnan sudah tak tertahan kembali, apalagi wajah Indira yang cantik itu terlihat polos seperti tidak memahami apa yang ia inginkan. “Paham! Bapak minta kopi, kan? Makanya saya—“ “Kamu yang buatkan kopinya, bukan kamu minta Sherly buatkan kopinya!” tegas Adnan dengan wajahnya yang memerah. “Hah!” Indira melongo. “Saya yang buatkan kopi? Nggak salah?” Selama ia menjadi istri Adnan saja, setiap ia membuatkan kopi tidak pernah disentuhnya. Dan, sekarang mantan suaminya minta dibuatkan kopi. Kena angin apa si Adnan. Wanita muda itu melirik pekerjaan, belum ada 50%. Lalu, kembali melirik pria itu. “Kenapa diam saja! Cepat lakukan perintah saya. Buatkan kopi, jangan terlalu manis, dan jangan terlalu panas airnya!” “Apa ini akal-akalan Pak Adnan menyuruh saya buatkan kopi, yang belum tentu kopi buatan saya cocok di lidah Pak Adnan, agar pekerjaan saya bisa dikacau, kan! Dan, terkesan kerjaan saya tidak becus?” tanya Indira dengan pandangan matanya curiga. “Oh, jadi kamu menuding saya?” Mata elang Adnan mulai membara. Indira kembali ke tempat semula untuk menyimpan dulu data yang sempat ia entry di laptop. “Tidak menuding, hanya sedikit curiga saja. Karena saya tahu Bapak tidak menyukai saya saat kita pertama kali bertemu di ruang auditorium, “ balas Indira begitu tenang. “Kamu cukup tahu diri juga rupanya.” “Ya, cukup tahu diri sekali. Maka dari itu sangat aneh jika ada orang yang tidak suka dengan seseorang, tapi justru menyuruh orang tersebut. Aneh, kan?” timpal Indira dengan santainya, dan tanpa menatap pria itu. “Apa mulutmu sekarang pandai berbalas kata?” Makin geram Adnan menghadapi Indira yang terus membalas ucapannya. Sedangkan dulu, Indira itu sangat kalem, tidak banyak bicara. “Mulut gunanya untuk berbicara dan makan, Pak Adnan. Kecuali, saya bisu mungkin tangan saya yang bergerak untuk berbicara.” “Kamu benar-benar—“ Jemari telunjuk Adnan menunjuk-nunjuk ke arah Indira. Wanita itu lantas mengalihkan pandangannya dari layar laptop ke wajah mantan suaminya. Keningnya mengerut. “Kenapa Pak? Apa salah saya berkata? Atau tidak suka mendengar saya berbicara? Atau ingin saya diam saja? Atau bagaimana? Katakan saja?” cerocos Indira sembari mengibaskan rambut panjang ke belakang bahu, kemudian kembali menundukkan pandangannya ke arah map berkas. Kalah telak Adnan sampai telunjuknya mengerut, deru napasnya mulai naik turun. “Jalankan perintah saya, cepat buatkan saya kopi!” Suara Adnan mulai meninggi, bersamaan dengan suara ketukan pintu. “Masuk!” seru Adnan kesal tanpa menatap ke arah pintu, pandangannya masih menajamkan pada mantan istrinya. “Permisi Pak Adnan, saya mau mengantarkan kopinya. Kebetulan sekali kopi buatan saya salah satu kopi favoritnya Pak Prayoga. Semoga Pak Adnan juga menyukai kopi buatan saya,” ucap Sherly sangat lemah lembut, dengan gaya anggunnya meletakkan cangkir kopi. Indira tersenyum tipis. “Makasih banyak ya Mbak Sherly, kebetulan sekali tadi Pak Adnan meminta saya untuk menanyakan kopinya. Saya amat yakin kopi buatan Mbak Sherly pasti enak dan disukai sama Pak Adnan,” puji Indira, tidak peduli wajah Aidan semakin merah menahan gemuruh yang ingin meledak. “Sama-sama, Mbak Indi. Oh, iya, Pak Adnan ada yang bisa saya bantu lagi?” tanya Sherly dengan mengembangkan senyum hangat saat beradu pandang dengan bosnya. “Tidak perlu! Keluarlah!” Lagi-lagi suara Adnan meninggi tanpa sebab. “Baik Pak, kalau begitu saya permisi. Jika perlu sesuatu silakan telepon saya. Saya siap membantu,” balas Sherly, suaranya terdengar sedikit menggoda. Indira hanya bisa mengatup bibirnya menahan untuk tidak tertawa. Indira sudah hapal sekali dengan Sherly yang memang sedikit genit dengan para lelaki tampan dan berduit. Adnan mengembuskan napas kasarnya setelah sekretarisnya keluar dari ruangan. Tinggallah ia berdua kembali dengan mantan istrinya. “Buatkan saya kopi sekarang juga! Dan, saya tidak menerima penolakan!” Tiba-tiba, saja laptop diambil alih oleh Adnan dari tangan Indira. Indira menarik napas dalam-dalam, tidak habis pikir dengan jalan pikiran Adnan. “Bukannya mbak Sherly sudah buatkan kopi buat Pak Adnan. Terus kenapa harus buatkan lagi? Mubazir Pak kalau bikin lagi.” “Kalau begitu kamu saja yang minum kopi itu. Saya yang minum punya kamu,” jawab Adnan, sorot matanya begitu licik. “Bapak benar-benar licik!” “Saya atasan kamu, dan kamu adalah karyawan saya. Tinggal pilih, jalani perintah saya, atau kamu ... saya pecat!” tegas Adnan, tatapannya begitu mengintimidasinya. Rahang Indira mengatup, dagunya pun turut mendongak, tak mau kalah dengan sosok Adnan. “Baik Pak, kalau begitu saya buatkan kopi untuk Anda. Namun, saya tidak menjamin kopi buatan saya enak. Dan, tolong kerjasamanya untuk tidak berbuat licik dengan pekerjaan yang sedang saya lakukan. Jika ingin mencari kesalahan saya untuk menjadi alasan Bapak ingin memecat saya, tidak perlu capek-capek. Bapak tinggal keluarkan saja surat PHK dan pesangon buat saya, dengan senang hati saya akan menerimanya,” ucap Indira, suaranya begitu lembut tapi tegas. “INDIRA!” Wanita itu tersenyum tipis saat beranjak dari duduknya, kemudian melangkah anggun menuju pintu, meninggalkan kemarahan yang tidak beralasan itu. “TUK!” Adnan melempar pulpen ke arah pintu, seolah meluapkan emosinya. “Dia sudah berani menantangku!” Sementara itu, di luar ruangan Indira mengusap berulang kali dadanya yang sejak tadi menahan kesal. “Dia pikir aku Indira yang dulu! Dia pikir aku akan takut sama dia! Tidak! Aku sudah tak mau diinjak-injak lagi,” gumamnya sendiri sembari menuju pantry yang ada di lantai delapan itu. “Perkara kopi aja bisa ribut. Padahal udah dibuatin sama sekretarisnya. Ini minta dibuatkan lagi.” Indira masih menggerutu, kesal. “Ada yang bisa dibantu, Mbak?” tanya salah satu office girl yang stand by di pantry. “Saya mau buatkan kopi buat bos kita yang baru itu. Tolong tunjukkan tempat kopi, gula, sama garam.” “Ga-garam?” Office girl itu terkejut. “Bukannya kalau buat kopi cukup gula dan s**u, tidak pakai garam,” tanyanya. Indira menyunggingkan senyum jahatnya. “Garamnya buat saya kok.” Sementara itu, kembali ke ruang direktur. Adnan memandangi ponsel Indira yang ternyata tertinggal di mejanya, sejak beberapa menit yang lalu ponsel Indira berdering. Jemari Adnan mengetuk-ngetuk mejanya dan masih menatap layar ponsel Indira yang tertulis panggilan telepon dari ‘MY LOVE.’ “Udah punya pengganti rupanya.” Nada bicaranya seakan merendahkan Indira. “Laki-laki mana yang berhasil dia jerat? Orang kaya lagi? Atau dia jadi simpanan orang kaya?” Saking kesalnya kembali mendengar ponsel Indira yang sudah tiga kali berdering. Akhirnya ia menerima panggilan telepon dari ‘MY LOVE.’ “Alo, Mama. Anti angan upa kalo puyang kelja beyiin dede Ian es klim, ya. Yang laca cokat ya, Mama.” Suara anak kecil yang cadel terdengar di telinga Adnan. Degh!!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD