“Klek.” Adnan memilih memutuskan panggilan telepon tersebut, tidak menyahuti suara anak kecil tersebut, bahkan lekas mematikan ponsel milik Indira, ketimbang ponsel itu berdering kembali.
Ia menarik napasnya dalam-dalam sembari memikirkan sesuatu. “Mama? Dia sudah menikah lagi? Dan, sudah punya anak? Wah, hebat dia.” Ini bukan kalimat pujian yang keluar dari mulut Adnan, lebih tepatnya menyindir, seolah-olah tak percaya mantan istrinya akan secepat itu menemukan pasangan baru.
“Ck, pria mana yang mau dapat bekasanku itu,” gerutu Adnan, kesal sendiri. Loh, mengapa kesal? Apa selama empat tahun berpisah dengan Indira masih suka terbayang-bayang? Jawabannya, hanya Adnan yang tahu.
Untuk memastikan apakah Indira sudah menikah kembali, Adnan kembali membuka file CV milik Indira. Dengan seksama ia membaca pas di bagian profile. “Belum menikah,” gumamnya heran. Ia pun teringat saat mereka menikah resmi, status kartu keluarga dan ktp mereka berdua memang belum diubah, karena ia berpikir akan segera menceraikan Indira, jadi tidak perlu mengubah status identitas mereka. Ia pun sengaja tidak mengurusnya karena saat itu memboyong Indira ke Jakarta, tempat tinggal selama ini.
“Lalu, kenapa anak yang ditelepon panggilnya ‘Mama'?” Dibalik rasa penasaran ada senyum jahatnya. “Jangan-jangan, anak itu ... anak di luar nikah. Wah, tidak disangka kelakuannya liar juga,” tuduhnya tanpa bukti, matanya pun menyipit, sinis.
Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi seraya menarik napasnya dalam-dalam. “Ah, kenapa juga aku harus mengetahuinya. Bukan urusanku dia sudah menikah lagi atau punya anak tanpa menikah,” gumamnya pelan.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangannya terketuk. Dan, tanpa sahutan dari dalam pintu itu terbuka, Indira datang kembali dengan membawa nampan.
“Ini kopinya Pak Adnan, sebelumnya mohon maaf kalau nanti rasanya mengecewakan. Karena, saya tidak terbiasa membuatkan kopi,” ujar Indira sangat lembut sembari meletakkan cangkir kopi tersebut. Adnan diam, matanya melirik sinis pada wanita itu.
Indira tidak peduli dengan tatapan pria itu. Ia kembali duduk, dan baru sadar ponselnya ada di atas meja, ia lekas menyimpannya di saku blazernya.
“Permisi ya Pak, saya pinjam kembali laptopnya. Tugas buat kopinya sudah saya buatkan.” Wanita itu menggeser laptop tersebut ke hadapannya.
Sementara itu, Adnan mengangkat cangkir kopi, dan perlahan-lahan menyesap kopi buatan Indira.
Indira pura-pura tidak melihatnya, tapi hatinya tak sabar menunggu reaksi dari mantan suaminya. Beberapa detik kemudian ....
“Indira, kamu mau membunuh saya, ya!” sentak Adnan usai menyembur kopi yang baru saja ia minum. Cangkir kopi yang dipegangnya dihentakannya ke atas meja.
Senyum tipis terlukis di wajah cantik Indira. “Iya sih Pak. Membunuh perlahan-lahan, tapi ... setidaknya Pak Adnan tidak langsung meninggal, kok. Paling hanya darah tinggi saja.”
“Keterlaluan!” serunya. Adnan beranjak dari duduknya, sementara Indira dengan sikap tenangnya kembali mengerjakan tugasnya.
Pria itu memutari meja kerjanya lalu menarik tangan Indira dengan kasarnya. Mau tidak mau Indira terbangun dari duduknya.
“Eh! Pak!” Indira terkesiap, bahkan map file sampai turut jatuh ke lantai.
Rahang pria itu mengerat, giginya mengerutak, binar amarahnya terpancar di iris mata legam Adnan.
“Kamu, saya—“
“Pecat!” sela Indira sembari tersenyum tipis. Senyuman Indira membuat hati Adnan semakin panas.
“Terima kasih, Pak Adnan. Saya tunggu pesangon saya sesuai dengan surat perjanjian kerjanya,” lanjut kata Indira, lagi-lagi ia menghadapinya dengan tenang.
“Akh!” Tangan Indira semakin ditarik, bahkan tubuh wanita itu membentur tubuh mantan suaminya.
Indira mengerjapkan matanya berulang kali sembari menarik dirinya agar menjauh dari tubuh Adnan.
“Kenapa? Bukankah kamu terbiasa bersentuhan dengan pria mana pun,” sindir Adnan, sudut bibirnya tersenyum miring.
“Lepaskan tangan saya, Pak Adnan. Saya tidak mau ada kesalahpahaman di sini,” pinta Indira tanpa meninggikan suaranya.
Wajah Adnan sedikit menunduk dikarenakan tubuhnya lebih tinggi dari pada Indira. “Salah paham apa? Di sini kita hanya berdua, tidak ada orang lain di sini. Jadi ... tenang saja,” suara Adnan seakan sedang menggoda w************n.
Indira yang menyadari hal itu mengangkat wajahnya, jarak wajah mereka sangatlah dekat, bahkan sangat memudahkan buat mereka untuk berciuman.
“Apa yang Anda inginkan, Pak Adnan? Bukankah tadi Anda ingin memecat saya? Jadi saya terima?” tanya Indira dengan sikap menantangnya.
Mata elang Adnan semakin menajam. “Jangan pura-pura tidak paham Indira. Bukankah selama ini kamu sering menjual dirimu. Mana mungkin kamu bisa bekerja di sini jika tidak pernah—“
Suara tamparan begitu keras terdengar jelas, pipi Adnan memerah saat berpaling ke samping.
Deru napas Indira tampak menggebu-gebu, tangan kirinya pun juga terasa sakit setelah menampar keras wajah mantan suaminya.
“Beraninya, kamu!” seru Adnan, tatapan matanya menyalang.
“Mulut Anda yang benar-benar keterlaluan, Pak Aidan!” balas Indira, amarahnya sudah memuncak. Ia menyentak tangan Adnan yang masih mencekal tangan kirinya.
Tapi, cengkeraman tangan Adnan semakin kuat. “Lepaskan saya, Pak Adnan!” Indira meringis kesakitan.
“Kamu pikir bisa semena-mena dengan saya, Indira. Memangnya kamu tidak tahu saya ini siapa? Dan, bukannya kamu suka jika saya sedekat ini sama kamu!” sentak Adnan geram.
“Ya, saya tahu, Anda adalah bos baru di sini,” balas Indira. Dengan sekuat tenaga ia mencoba melepaskan tangannya dengan tangannya yang lain.
Namun, mantan suaminya justru menarik tubuhnya, dan membuat Indira terhempas ke salah satu sofa. Tatapan Adnan semakin garang saat Indira terduduk di sana, tapi tak lama wanita itu buru-buru bangkit dari sofa sebelum diterkam Adnan.
“Akh!” pekik Indira kembali terjatuh ke atas sofa panjang, dan pria itu langsung mengungkungnya dengan tubuhnya yang besar.
“Jadi ... kamu tidak ingat dengan saya, Indira Febriana binti almarhum Salim Nugroho.” Napas hangat pria itu menyentuh hangat pipi Indira.
Perlahan-lahan Indira menoleh, menatap dingin pria itu, dengan napasnya terengah-engah.
“Atau kamu sudah lupa, karena sudah ada pengganti saya? Padahal dulu kamu sangat menyukai saya, bukan? Bahkan kamu menyerahkan dirimu pada saya,” ejek Adnan.
Lagi-lagi Indira tersenyum. “Oh, benarkah saya pernah menyukai Anda? Memangnya kita dulu pernah bertemu? Bertemu di mana? Bahkan saya merasa—“ Wajah Indira langsung berpaling ke sebelah kiri saat pria itu memajukan wajahnya. Ia tidak ingin ada namanya cerita tak sengaja berciuman dengan mantan suaminya, meski di masa lalu ia sangat mengharapkannya.
“Jangan pura-pura lupa, Indira. Apa perlu saya mengulang peristiwa empat tahun lalu, di mana kamu merintih di bawah saya? Katakan saja berapa bayaranmu, saya akan membayarnya, bahkan bisa bayar 10x lipat dari pria yang sering booking kamu,” bisik Adnan menantangnya.
Indira memejamkan matanya, hatinya tersayat kembali dengan ucapan pria itu.
“Cepat ... katakan pada saya, berapa yang harus saya bayar. Biar kamu ingat siapa saya.” Tanpa Adnan sadari ia semakin menginginkan tubuh mantan istrinya, apalagi ia merasakan bagian intimnya yang selama satu tahun ini sering loyo, susah berdiri. Namun, saat ini mendadak menenggang di atas tubuh Indira, gairah yang jarang ia rasakan tiba-tiba menguasai dirinya.
“Kenapa dia bisa tiba-tiba tegang,” batin Adnan terkesiap. Ada rasa senang di lubuk hatinya.
Tangan kanan Adnan melingkar ke belakang punggung wanita itu, sedikit meremasnya, seakan menahan gejolak yang menuntut untuk dituntaskan.
“Permisi Pak Adnan, Bu Priscilla tiba.”