Eps. 2 Pengendara Ngawur

1061 Words
Aluna yang awalnya akan marah pada pria itu karena mengendara motor sembarangan sampai membahayakan dirinya, menarik kembali amarahnya. Dia tak mungkin marah pada seniornya di kampus dulu. Bisa dibilang, seniornya itu dulu sering membantunya. "Aluna ... kamu masih seperti yang dulu. Tetap cantik." Awan memuji meski dalam hatinya mengatakan saat ini gadis itu lebih cantik dari dulu malahan. Sampai ia berapa detik membeku menatapnya. Awan Hedy Fitz, pria tinggi berahang kokoh dengan otak cemerlang yang terpancar pada wajahnya, membuatnya tak hanya terlihat cerdas tapi juga memukau. Sebenarnya sudah lama Awan menaruh hati pada Aluna. Mereka pun dulu sering terlibat bersama di kampus karena saat itu Aluna menjadi sekretaris BEM. Sedikit banyak mereka terlibat suatu kegiatan. Dari sana tumbuh bibit cinta di hati Awan. Sayang seribu sayang, di saat pria bermata teduh ini mau mengungkapkan isi hatinya, Aluna sudah terbang duluan ke luar negeri. Jadi, rasa itu ia simpan rapi pada tempatnya sampai sekarang. Meski beberapa kali dia menjalin hubungan dengan wanita lain tapi tetap saja, rasa pada Aluna terus bertahan di sana. Tak menyangka saja akhirnya dia kembali bertemu dengan wanita ini setelah sekian lama. "Awan ... kamu agak berubah tidak seperti dulu. Hampir saja aku tidak mengenalmu." Aluna menatap pemilik bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang. Dulu saat kuliah, wajahnya bersih tanpa bulu sedikitpun. Alisnya juga masih tebal seperti sebelumnya. Hanya sorot matanya saja yang belum berubah sampai sekarang, sorot mata yang selalu menatapnya dengan dalam. "Tapi aku tetap seperti dulu. Kapan kamu kembali dari Belanda?" "Setahun yang lalu. Kamu sendiri. Apa kesibukanmu sekarang?" Bukannya Aluna kepo, tapi empat tahun lebih tak bertemu dengan Awan membuatnya ingin tahu aktivitas pria itu. "Aku membuka toko buku di dekat sini." Awan punya toko buku yang dia kelola sendiri sejak tiga tahun yang lalu, di samping beberapa tokoh lainnya yang juga dia kelola. Awan memang berangkat buru-buru tadi dari rumah. Ada pelanggan yang mengadakan janji temu. Ralat! Ada mahasiswa kuliah semester akhir yang sedang mengerjakan skripsi lalu meminta beberapa buku referensi untuk tugas skripsinya. Mahasiswa itu bisanya bertemu di jam ini karena dia juga harus bekerja. "Kamu punya toko buku?" Aluna tak percaya itu. Dulu Awan setahunya malas pegang buku. Tapi sekarang ia malah buka toko buku? Aneh sekali bukan?! "Ya, toko buku itu ada di sana. Bila berkenan mampirlah sejenak ke toko bukuku." Awan menunjukkan sebuah toko buku yang ada di seberang jalan. Aluna hanya tersenyum tipis merespons. Ingin dia mampir ke sana bila tak ada urusan urgent begini. Bagaimanapun juga, dia harus pulang ke rumah untuk menenangkan diri. "Ya, aku ada urusan sekarang. Mungkin lain waktu aku akan datang berkunjung ke tokomu." "Maaf, aku tadi buru-buru dan memotong jalan hingga membuatmu kerepotan mengerem." "Tak apa, aku pergi dulu." Aluna segera masuk ke mobil kembali. Awan juga segera menggeser motornya ke tepi jalan agar Aluna bisa leluasa melajukan mobil. Suara klakson mobil terdengar, sebagai tanda dari kepergian Aluna dengan tatapan dalam Awan yang mengikutinya pergi. "Aluna, aku tidak tahu apa kesibukanmu tadi. Harusnya aku tanya. Kenapa aku baru tahu kamu sudah kembali ke sini tahun yang lalu? Mungkin pertemuan ini bukanlah sebuah kebetulan. Ini adalah sebuah awal permulaan. Semoga saja aku bisa bertemu dengannya lagi." Awan seolah berat menarik pandangan meski Aluna sudah berlalu pergi jauh. *** "Awan, kamu sudah pulang. Ada hal penting yang ingin Ayah beritahukan padamu." Seorang pria menyambut kedatangan Awan di rumah. Awan pulang ke rumah ayahnya setelah menutup toko buku sore tadi. Dia ditelepon oleh pria berpostur tinggi dan tegap ini, sehingga dia mampir sebentar. Awan sendiri tinggal di sebuah apartemen. Tapi bila ayahnya memanggil, dia akan datang. "Coba kamu lihat ini." Fitz, ayahnya Awan ini melambaikan tangan menunjuk sebuah laptop yang terbuka di depannya. "Apa yang ingin Ayah tunjukkan padaku?" "Coba lihat dan baca sendiri." Awan tak bertanya lagi, kemudian membaca apa yang ada di laptop ayahnya ini. Awan tersentak melihat apa yang dibacanya. Perekrutan suami dan yang lebih mengejutkan lagi, Aluna yang merekrut. Kebetulan macam apa ini? Barusaja dia bertemu dengan wanita itu pagi tadi sekarang dia mendapati wanita itu merekrut suami. "Awan, kamu harus ikut perekrutan suami ini. Bila bisa kamu harus menjadi suaminya. Ini kesempatan bagus untuk perusahaan kita. Dengan menikahi putri Niam, kamu bisa mendapatkan informasi sebanyak mungkin tentang produk unggulan perusahaan tersebut untuk perusahaan kita." Fitz, merupakan pemilik perusahaan yang juga bergerak di bidang otomotif. Bisa bilang merupakan kompetitor dari perusahaan Niam. Saat ini kondisi perusahaan agak lesu, kalah saing dengan perusahaan Niam. Dengan menikahi Aluna, Awan dimaksudkan bisa mentransfer produk pesaing pada perusahaannya untuk produk yang lebih unggul daripada milik Niam. "Ayah, kenapa Aluna merekrut suami dalam waktu dekat?" "Tak perlu pikirkan itu semua. Yang Tak penting saat ini kesempatan terbuka lebar bagi kita. Ayah mohon dengan sangat kamu mau ikut serta. Tak perlu ada cinta di sana cukup kamu gali informasi sebanyak mungkin. Setelahnya terserah kamu, mau langsung cerai atau bagaimana," desak Fitz berharap permohonan ini tidak ditolak. Awan terdiam seketika. Otaknya mulai berpikir. Haruskah dia turuti permintaan ayahnya ini? Sedangkan di satu sisi dia masih memendam rasa pada Aluna. Bisakah dia melakukan apa yang ayahnya minta? Saat ini ia merasa senang dan takut di waktu bersamaan. Senang bisa menjadi suami Aluna, tapi juga takut bila wanita itu akan membencinya. "Ayolah, Awan. Ayah sangat mengandalkanmu." Fitz kembali mendesak, membuat Awan tak bisa lagi menolak melihat tatapan memohon ayahnya ini. *** Aluna tiba di rumah. Ibunya sudah menunggu kedatangannya. Terlihat wanita berdarah Indo-Belanda ini menatap putrinya dengan sejuta tanya. "Bagaimana, apa kamu sudah melakukan saran Ibu?" Elga menarik Aluna yang masih berdiri untuk duduk di sofa bersamanya. "Sudah, Bu. Aku serahkan masalah itu pada Christin. Tapi belum tahu kabarnya. Apa aku telepon saja dia. Sejak siang tadi dia tak memberiku kabar." Aluna bahkan belum menyusun punggungnya nyaman duduk di sofa, sudah mengambil ponsel dari dalam tas, menghubungi asistennya. "Halo, Christin, aku belum mendengar kabar darimu sejak siang tadi. Apa kamu sudah melakukan yang aku minta?" "Halo Nona, maaf belum memberi kabar. Kebetulan sekali saat saya mau menelepon, Anda telepon duluan. Tugas dari Nona sudah saya laksanakan dengan baik. Kabar bagusnya sudah ada beberapa pria yang mengajukan diri sebagai suami." "Baik, good job! Bila begitu coba kirimkan datanya padaku. Aku ingin tahu saja siapa kandidatnya." "Baik, Nona. Akan saya kirim setelah ini." Panggilan terputus setelahnya. Selang beberapa saat kemudian Christin mengirim data yang diminta Aluna. Tampak wanita bermata bulat ini membaca daftar nama kandidat yang masuk. "Awan Hedy? Dia ikut?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD