Suasana Kafe Taria lebih ramai dari biasanya. Bagaimana tidak, sore ini kafe dengan tema garden cafe itu didatangi lima puluh dua pengendara motor sport. Untung saja kafe ini tidak begitu kecil, sehingga masih mampu menampung beberapa pengunjung lain meski tempatnya sudah hampir dipenuhi cowok-cowok tampan.
“Udah pesen?”
Zidan bertanya pada Rafael yang sedang menghitung uang.
Uang kas D’Zebra memang sengaja tidak ditabung di bank, melainkan Rafael yang menyimpannya, sehingga mereka hanya menggunakan uang cash di setiap keperluan.
“Udah, kopi sama klasik burger. Gitu aja kan? Toh tujuan kita ke sini bukan buat ngisi perut kan?” balas Rafael disela-sela kegiatannya menghitung uang.
Kopi dan klasik burger telah dipesan sebanyak lima puluh dua porsi, tentunya. Sepertinya dua pesanan itu sudah cukup untuk menemani mereka selama satu jam ke depan.
Zidan hanya menjawabnya dengan deheman. Cowok dengan kemeja levis yang tidak di kancingkan sehingga menampilkan kaus putih yang dipakainya itu berjalan mengitari kafe.
Suasana kafe membuat nyaman. Beragam bunga dan rimbun pepohonan menjadi paduan yang sangat pas. Di setiap sudut dapat ditemui air mancur kecil. Kafe ini beratap kaca sehingga para pengunjung tidak perlu takut kehujanan meski berada di luar ruangan.
Di samping Kafe Taria ada sebuah bangunan berbentuk rumah di mana para pekerja beraktivitas di sana. Sedangkan di area kafe sendiri hanya terlihat beberapa orang pelayan saja yang bertugas menulis pesanan dan kasir.
Perhatian Zidan teralihkan ketika seorang cewek dengan apron berlogo Kafe Taria di bagian depannya keluar dari rumah pekerja kafe. Kedua tangannya memegang nampan yang penuh dengan sepuluh cangkir kopi yang masih mengepulkan asap.
“Zidaan!!” pekik cewek itu ketika netranya menangkap sosok Zidan. Ia tak segan untuk berlari menghampiri Zidan meski bisa saja kopi-kopi yang dibawanya tumpah.
“Wah, ternyata tamu yang datang hari ini itu geng kamu ya. Tahu gitu, aku siapin menu spesial deh. Eh, tapi kopi ini juga semua buatan aku kok. Pokoknya cobain ya, kamu pasti suka.”
Zevania menatap Zidan dengan binaran mata yang bahagia. Padahal, peluh di dahinya membuktikan rasa lelah yang mendera tubuhnya.
“Lo kerja di sini?”
Zevania bersyukur Zidan mengajukan pertanyaan padanya. Ia jadi merasa jika Zidan ingin mengetahui tentangnya.
“Iya, aku kerja di sini. Kakak aku juga kerja di sini. Nanti kalau kita udah nikah, aku udah pengalaman bikin kopi. Pasti kopi buatan aku bakal buat kamu gak bisa berpaling deh.” Zevania terkekeh di akhir kalimatnya.
Zidan mendengus, tangannya mengambil alih nampan yang dibawa Zevania.
“Wah, kamu baik banget deh sama aku. Pasti kamu gak mau ya tangan aku pegal.” Zevania memegang lengan Zidan, sehingga nampan yang dibawa oleh cowok itu sedikit bergoyang, untung saja tidak tumpah.
Tanpa memperdulikan cewek cantik di sampingnya, Zidan berjalan menghampiri teman-temannya. Ternyata, para pelayan lain sudah membawakan pesanan mereka semuanya.
Zidan meletakan nampan yang dibawanya di meja.
“Loh? Van kok ada disini?” Ilham berdiri dari duduknya karena kaget. Bahkan rokok yang dipegangnya sampai terjatuh ke lantai.
Mereka menatap Zevania dengan teliti. “Lo pelayan di sini?” tanya Rafael ketika menyadari apron yang dipakai Zevania.
Zevania mengangguk dengan semangat. Ia sama sekali tak malu bekerja sebagai pelayan di sini. Justru ia senang, ia bisa mencari nafkah untuk dirinya sendiri, meski dulu ia terbiasa hidup mewah.
“Gila, cewek secantik lo jadi pelayan. Pasti untung gede nih kafe,” tutur Leon.
Leon sama sekali tak menyangka jika Zevania, bidadari di sekolahnya itu adalah seorang pelayan. Padahal, secara penampilan Zevania selalu modis.
Dulu ia sempat berpikir bahwa Zevania pastilah anak orang kaya yang manja, keras kepala dan nakal. Tapi ternyata, bahkan cewek itu sudah mampu menghidupi dirinya sendiri.
“Gabung sama kita, Van!” Ajakan Andra sukses membuat Zevania senang. Baru saja Zevania akan mengangguk, ada suara yang memanggilnya terdengar lantang.
“Van!! Cepet, ada pesenan lagi!” teriak Kakak Zevania yang baru muncul dari pintu rumah pekerja. Dengan lesu Zevania mengangguk, dan meninggalkan Zidan serta teman-temannya.
Semua anggota D’Zebra memandang kepergian Zevania, tak terkecuali Zidan.
0o0
Suara pekikan terdengar ketika Zevania baru saja memasuki ruang kelasnya. Penampilan warna rambut baru Zevania begitu terlihat ketika cahaya matahari memasuki kelas melewati kaca jendela.
Kemarin, Zevania mengganti warna rambutnya menjadi blue black. Dimana rambutnya akan berwarna hitam di tempat yang tidak terkena cahaya. Sedangkan ketika cahaya menerpa rambutnya, maka rambutnya akan terlihat berwarna biru tua.
“Keren!! Gue juga nanti mau ganti warna ah!” ujar Tania yang nampak begitu suka dengan warna rambut Zevania.
Tania langsung berniat untuk mengganti warna rambutnya lagi. Padahal, baru empat hari yang lalu cewek itu mengganti warna rambutnya menjadi abu di bagian bawah.
Sebenarnya, di SMA Bintang Bangsa, siswa dan siswi maupun guru tidak boleh mewarnai rambut, namun karena ada salah seorang guru bernama Kardi yang tiba-tiba saja uban di kepalanya lenyap dalam sehari, dalam artian Kardi mewarnai hitam rambutnya maka banyak sekali murid yang melanggar aturan itu dengan dalih ‘Masa Pak Kardi boleh, kita enggak?’.
Apalagi, mereka hanya mendapatkan teguran dan hukuman membersihkan gudang atau toilet saja membuat mereka tak jera sama sekali.
“Perasaan baru kemaren deh lo ganti warna,” ungkap Gista mencoba mengingat kapan terakhir kali Tania mengganti warna rambut.
“Seminggu juga belum kan?” lanjut Gista.
Tania mengangkat bahunya. “Gue udah bosen!” Balas Tania. Dalam hal mengganti warna rambut, Tania memang yang paling sering. Dari warna gelap hingga terang sudah pernah ia coba.
“Gak takut rusak gitu rambut lo pada?” Reynaldi nimbrung percakapan para cewek di dekatnya. Reynaldi sama sekali tak pernah mewarnai rambut. Katanya, ia takut disangka bule nyasar.
Sebagian besar yang mewarnai rambut adalah cewek, hanya sebagian kecil saja cowok yang mewarnai rambut. Seperti Zidan dan teman-temannya, mereka mewarnai rambut bagian atas mereka dengan warna coklat. Membuat mereka sangat terlihat menawan. Apalagi, dengan kulit putih mereka membuat rambut, kulit, dan wajah mereka menjadi paduan yang sempurna.
“Yakan kita juga perawatan rambut, Rey. Kalau gak dirawat bisa-bisa nih rambut berubah jadi ijuk.” Zevania memelintir rambutnya dengan jari telunjuk.
“Coba lo warnain rambut, ganteng deh.” Gista menatap rambut dan wajah Reynaldi bergantian seakan menilai warna apa yang cocok dengan rambut Reynaldi.
“Kayaknya lo cocok warna coklat, kayak Zidan sama temen-temennya. Terus lo gabung deh ke D’Zebra, pasti cocok banget.”
Ucapan Gista membuat Zevania dan Tania duduk tegak seketika. Saran yang diajukan Gista sangat tepat.
“Bener, lo kan ganteng, kaya juga, pasti bisa masuk D’Zebra. Kalau nanti lo gabung, gue jadi bisa makin deket sama Zidan,” tutur Zevania dengan antusias. Membayangkan Reynaldi menjadi bagian dari geng D’Zebra pasti membuat ia lebih dekat dengan Zidan.
“Halah, es nong-nong aja yang ada di pikiran lo. Tapi lo emang pantes deh gabung sama mereka,” timpal Tania menatap serius Reynaldi yang nampak mengernyit ketika mendengar ucapan ketiga sahabatnya.
“Ogah!! Gue se-geng dong sama si curut Leon. Lagian, gabung sama mereka tuh ngabisin duit aja tahu gak, harus banyak motor segala. Itu geng apa mau buka usaha ojek?”
“Ah lo mah! By the way, gue mau ke kelas Zidan dulu ya, mau anterin makanan.” Zevania beranjak pergi setelah tangannya mengeluarkan tempat makan dari dalam tasnya.
Pagi tadi, Zevania memasak cilok isi daging. Karena teringat pada Zidan, ia sengaja membawanya untuk diberikan pada gebetannya itu.
Zevania berjalan di lorong kelas dua belas, kelas dua belas memang terpisah gedung dengan kelas lainnya, namun masih satu area. Hal itu bertujuan agar kelas dua belas dapat belajar dengan serius tanpa terganggu oleh kelas lainnya. Gedungnya terdiri dari dua lantai, atas untuk kelas IPA dan bawah untuk kelas IPS.
Seakan keberuntungan, Zidan baru saja keluar dari kelas dengan Ilham dan Leon yang berjalan di belakangnya. Dapat Zevania lihat, Zidan sama sekali tak melihat Zevania meski Zevania kini berlari ke arahnya.
“Selamat pagi, Zidan. Nih, gue bawa makanan buat lo. Makan ya, ini gue sendiri ya bu—“
“Gak mau!”
Zevania mengatupkan bibirnya ketika Zidan memotong ucapannya. Dia menghentakkan kakinya seraya memegang lengan Zidan dengan sebelah tangannya.
“Ihh, kamu kok gitu sih. Aku kan udah capek masak buat kamu,” gerutu Zevania dengan nada manja yang dibuat-buat.
“Sini buat gue aja.”
Zevania tak dapat mempertahankan tempat makan di tangannya ketika Leon menariknya. “Wah, lo mau gak?”
“Mau banget lah, buatan tangan bidadari mana nolak gue.” Ilham dengan semangat memakan cilok karena Leon telah membukanya. Untungnya, Zevania sudah menyiapkan tiga garpu di dalamnya. Hal itu Zevania lakukan supaya ketika Zidan berbagi bersama teman-temannya, cowok itu tak perlu menggunakan garpu yang sama dengan yang mereka gunakan.
“Kamu juga cobain ya, please!” Zevania menggoyangkan lengan Zidan berharap cowok tinggi itu luluh dengan bujukannya.
Zidan tak ingin berlama-lama berada di dekat Zevania. Dengan segera ia mengambil satu garpu lalu memakan satu cilok dalam keadaan utuh. Setelah itu, Zidan langsung pergi tanpa mengatakan apapun.
“Makasih ya Van, kita susul Paketu dulu,” ujar Leon kemudian meninggalkan Zevania sendiri.
Zevania tersenyum senang karena pada akhirnya Zidan mau memakannya. Zevania jadi merasa semangat untuk memasak setiap hari jika itu untuk Zidan.
“Besok gue mau masak lagi. Gue akan buat lidah lo terbiasa dengan masakan gue, supaya lo gak bisa jauh-jauh dari gue!!”
Rasanya Zevania kehilangan akal, pasalnya ia berteriak sambil berlari menuju kelasnya. Tanpa memperdulikan tatapan aneh dari yang lainnya.