ZZ|05

1460 Words
“Ini seriusan di sini kagak ada makanan?” Leon menutup kembali kulkas yang baru saja ia buka. Kulkas yang memang jarang terisi penuh itu kini benar-benar kosong. Padahal, ia merasa kelaparan. “Ya, kalau mau makan beli lah!” titah Ilham. Saat ini, setengah dari keseluruhan anggota D’Zebra tengah berkumpul di sebuah rumah yang mereka jadikan base camp. Rumah tersebut mereka beli dari uang kas yang mereka kumpulkan. Tentu bisa dibayangkan bukan berapa jumlah yang harus mereka bayar setiap minggunya sampai mereka bisa membeli rumah? Biasanya, makanan di sana pun dibeli dari uang kas. Berjaga-jaga jika ada anggota yang ke sana, agar mereka tak kelaparan. “Ini kenapa bisa abis gini sih?” kesal Leon dan menendang pintu kulkas pelan. “Kemarin anggota yang dari sekolah Garuda kesini semua katanya, pantes ajalah makanan abis.” Ilham berjalan ke luar dari dapur dan diikuti oleh Leon. Mereka telah sampai di ruang utama, tempat semua anggota berkumpul. Jangan tanya bagaimana keadaan di ruangan ini. Bayangkan saja, empat puluh orang bujangan berkumpul di sini. Puntung rokok yang berserakan, ponsel yang sedang diisi daya berjejer dekat stop kontak, dan masih banyak lagi kekacauan lainnya. “Woy, siapa yang abisin makanan di kulkas??” Suara nyaring Leon tak membuat satupun di antara mereka menoleh. Aktivitas mereka lebih menarik daripada apa yang Leon tanyakan. Merokok, main play station, tiduran, lebih baik mereka lakukan daripada meladeni Leon yang sedang kelaparan. Seseorang akan seperti singa saat kelaparan, dan Leon contohnya. “Gue ngomong oy, tuh telinga masih pada normal kan?” teriak Leon lagi dengan lebih keras. “Sorry, bruh. Abis kemarin gue makan,” jawab Andra, ia melihat Leon yang menatap garang padanya. Namun Andra sama sekali tak peduli ataupun merasa takut akan itu. “Laper gue, Raf, minta duit dong. Mau beli makanan gue.” Jika ditanya siapa yang menyimpan uang kas D’Zebra, maka jawabannya adalah Rafael. Cowok dengan rambut berponi itu adalah yang terbaik dalam menyimpan uang. Tak pernah keliru dalam hitungan, dan tak pernah hilang sepeser pun. “Gak bawa duit kita gue, tapi ada nih pake duit gue dulu. Sekalian belanja makanan aja ya buat seminggu. Pake sayuran sama lauk. Nih duitnya.” Sepuluh lembar uang bergambar Soekarno diterima Leon. Satu juta untuk satu minggu tentu itu adalah jumlah yang sedikit. Karena apa? Makanan yang dibeli dengan uang itu harus cukup untuk delapan puluh satu orang. Biasanya, belanja mingguan dilakukan oleh Rafael, selain pandai menyimpan uang, dia juga pintar mengatur pengeluaran uang. Leon mendengus dan pergi. Belanja bukanlah keahliannya. Tentu saja, bahkan selama ini Leon masuk supermarket hanya untuk membeli rokok. Dan sekarang ia harus belanja mingguan? Sepertinya Leon harus mengusulkan penambahan anggota cewek pada Zidan, agar ada yang mengurus hal-hal seperti ini. Rafael tengah menghitung sisa uang di dompetnya selepas kepergian Leon. Uang di dalam dompetnya tidak boleh kurang satu lembar pun. Memang, kehilangan satu lembar tidak akan membuatnya miskin, tapi tetap saja bukan jika hal itu terjadi sangat disayangkan? Kedatangan Zidan yang baru saja keluar dari salah satu kamar di lantai dua mengalihkan perhatian semuanya. “Paketu baru bangun rupanya, sini Kakanda kita gabung.” Giffar menyodorkan sebungkus rokok pada Zidan. Tangan Zidan mengambil sebatang rokok dari bungkus rokok tersebut dan menyalakan ujungnya. Ia menghisap rokoknya perlahan. Semua yang dilakukan Zidan tak lepas sedikitpun dari perhatian semua anggota D’Zebra. “Kenapa pada liat gue?” 0o0 Rasa syukur di hati Zevania bertambah seribu kali lipat ketika tanpa sengaja dirinya bertabrakan dengan Zidan di sebuah belokan yang mengarah ke toilet. Meski Zevania harus merasa sakit karena sempat terjatuh, namun uluran tangan Zidan seakan anugerah baginya. “Makasih,” Senyuman manis Zevania tak luntur sedikitpun setelah dirinya bangkit. Ingin rasanya Zevania tak melepaskan kembali tangan Zidan, namun Zidan langsung melepaskannya setelah Zevania berdiri. “Hemm,” balas Zidan dan berlalu meninggalkan Zevania yang masih tersenyum. Niat Zevania untuk segera kembali ke kelas hilang sudah. Kakinya justru berbalik dan mengikuti Zidan dari belakang. “Kamu mau apa ke toilet?” Bodoh memang pertanyaannya, Zevania hanya ingin mendengar suara Zidan. Terserah Zidan akan berpikir apa tentangnya karena menanyakan ini. “Perlu banget gue jawab?” Zevania berjalan lebih cepat untuk mensejajarkan posisinya bersama Zidan. Jika ia berjalan di belakang Zidan, itu akan memberikan kesan seolah-olah ia mengejar cowok itu. Meski itu memang benar adanya. “Iya, aku kan mau tahu.” Zevania masih mempertahankan senyumnya. Senyumnya memang susah hilang ketika bersama Zidan. Zevania jadi berpikir, sebaiknya ia menghabiskan seluruh waktunya bersama Zidan agar senyumnya tak pernah hilang. “Mau ikut?” Zevania berhenti dan tersenyum kikuk saat menyadari dirinya sudah berada di depan toilet cowok. “Enggak lah, kecuali lo mau gue masuk ya nurut aja. Hehehe.” Zidan mendengus sebelum masuk ke toilet. Zevania melihat banyak cowok yang baru saja keluar dari toilet, mereka menatap heran ke arahnya. Zevania masa bodo akan hal itu, ia hanya ingin menunggu Zidan. Tapi itu tidak bertahan lama karena seseorang meneriakkan namanya. “VAN!! Rey berantem lagi sama Leon!!” Teriakan panik dari seorang cewek yang tak dikenal Zevania membuat Zevania seketika berlari menuju kantin. Kenapa ia tahu Reynaldi berkelahi di kantin? Karena sebelum Zevania pergi ke toilet tadi, Reynaldi mengajaknya ke kantin. Benar saja, Reynaldi dan Leon berkelahi di kantin. Namun mereka sudah berhenti, karena ada beberapa guru di sana yang sudah menyeret Reynaldi dan Leon. Dapat dipastikan keduanya akan disidang di ruang konseling. Zevania menatap Farah yang juga menatap kepergian Reynaldi dan Leon. Dengan langkah kaki cepat Zevania menghampiri dan mendorong kuat bahu Farah. “LO LEBIH BAIK TINGGALIN SAHABAT GUE!! GUE GAK SUDI DIA PUNYA PACAR KAYAK LO!!!!!” Zevania berkata tanpa berniat untuk menurunkan volume dan intonasinya. Semua pasang mata yang ada di sana tertuju pada Zevania. Zidan yang baru saja datang setelah dari toilet pun menghampiri teman-temannya dan melihat kejadian tersebut. “Gak usah ikut campur lo! Lagian, temen lo yang tergila-gila sama gue. Dia yang gak mau lepasin gue!” balas Farah. “Dasar cabe lo!! Lo gak cukup sama satu cowok, hah?” Tangan Zevania bergerak menjambak rambut Farah, yang langsung membuat Farah melakukan hal serupa. “Lepasin gue!!” ujar Farah di tengah aksi jambak menjambak yang mereka lakukan. “Heh!! Lepasin temen gue!” Tangan Zevania terhempas kala tarikan kuat di bahunya ia rasakan. Emosinya semakin meningkat ketika melihat teman-teman Farah datang. Terlebih yang menariknya barusan adalah Wilona, si penggemar Zidan nomor dua setelahnya. “Apa lo?” garang Zevania pada Wilona. “Lo yang apa? Temen gue lo apain?” Wilona menendang kaki Zevania keras. Namun Zevania tidak meringis sama sekali meski keseimbangan tubuhnya sempat goyah. “Ngapain lo tendang kaki gue? Mau latihan main bola? Sini gue ajarin!!” Bugghh ... Zevania menendang kaki Wilona lebih keras hingga membuat cewek dengan rambut pirang itu terjatuh dan mengaduh kesakitan. “Dasar ya lo, jelas banget kalau lo itu gak di didik sama orang tua lo!” ujar Farah sambil membantu Wilona berdiri. Napas Zevania bertambah memburu karena ucapan Farah. Ia menatap cewek itu dengam tajam dan geram. “Tahu apa lo tentang orang tua gue??” Zevania berniat kembali menyerang dua cabe di depannya. Namun suara melengking seseorang menghentikan aksinya. “ZEVANIA, WILONA, FARAH!! Kalian susul Rey dan Leon ke ruang BK!!” Dengan hentakan kaki yang keras ketiganya berjalan mengikuti guru bertubuh gemuk tersebut. Mereka yang semula menonton pertengkaran tiga cewek terkenal tersebut, kini kembali ke aktivitasnya masing-masing. Suasana kantin kembali normal, hanya saja sebagian besar dari mereka membicarakan kejadian yang beberapa menit lalu terjadi. “Wah, gila!! Dua penggemar lo berantem, Dan.” Rafael menatap Zidan yang nampak tak peduli sama sekali. Memang tak peduli. “Yang gila itu temen lo, si Leon. Cuma gara-gara satu cewek dia jadi b**o plus brengsek.” Rafael membenarkan ucapan Ilham. Virus cinta yang ditebarkan Farah benar-benar telah menimbulkan penyakit bucin akut. “Bener. Padahal kan banyak cewek yang lebih cantik, baik dan aduhai daripada si Farah.” “Zevania contohnya, atau temen-temannya juga cakep tuh.” Ilham menunjuk Tania dan Gista yang baru saja masuk ke kantin. Keduanya nampak sedang mencari keberadaan seseorang. Mungkin keduanya mencari Zevania. “Tania, Gista!!” Panggilan Rafael membuat dua cewek itu menghampiri meja yang ditempati Zidan. “Kalian cari Zevania, kan??” tanya Ilham langsung pada intinya. Kedua cewek itupun mengangguk kompak. “Zevania di ruang BK, tadi dia berantem sama Farah, sama Wilona juga.” “WHAT???” Tania dan Gista tak dapat menyembunyikan kekagetan dari wajahnya ketika mendengar ucapan Rafael. Mereka sudah dapat menebak apa yang telah terjadi pada sahabatnya itu. Sebenarnya, masuk ruang BK sudah bukan hal asing baik bagi Zevania, atau bagi Tania dan Gista. Tapi tetap saja itu bukan hal yang baik, apalagi mengingat sekarang mereka sudah kelas dua belas, kalau dikeluarkan tak ada sekolah lain yang mau menerima mereka kan??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD