Hari Sabtu, menjadi hari dimana kegiatan di sekolah hanya diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler. Salah satu ekskul yang tersohor hampir di seluruh sekolah tentu saja adalah Pramuka.
Ekskul yang diketuai oleh pradana putra dan pradana putri itu kini nampak memenuhi lapangan dengan seragam coklat tua-muda mereka.
Pasukan coklat itu tengah melaksanakan Pelatihan Baris Berbaris atau PBB dengan Zevania yang menjadi komandan.
Cewek cantik itu terlihat rapi dengan baju Pramuka dan rok coklat yang menutupi lututnya. Rok Pramuka adalah rok terpanjang yang Zevania miliki, karena rok lainnya hanya sampai setengah paha saja.
Bulir keringat nampak mengucur dari pelipisnya. Meski hari masih pagi, namun matahari sudah menunjukkan kegagahannya.
“Balik kanan serong kanan hadap kiri, gerak!” komando Zevania dengan suara lantang. Ia melihat setiap pergerakan dari orang-orang di depannya. Dan dengusan kasar ia keluarkan mana kala melihat kesalahan yang dibuat oleh salah satu adik kelasnya.
“Daniar lo salah, liat temen-temen lo hadap kemana.” Zevania menegur salah satu siswi kelas X itu, Daniar melihat sekeliling dan hanya cengegesan lalu mengikuti posisi yang lainnya.
“Andre, maju kedepan. Sekarang lo yang pimpin.” Perintah Zevania pada cowok bertubuh gempal.
Zevania meninggalkan lapangan setelah Andre mengambil alih komando. Ia menatap banyak orang yang menonton latihan yang dilakukan ekskulnya. Itu bukan hal aneh, menjadi perhatian sudah bukan hal asing baginya.
Kakinya melangkah menuju ruang musik, di mana ekskul musik juga sedang berlatih di dalamnya. Tania dan Gista sedang berlatih di sana, itulah mengapa Zevania datang ke sana.
“Beres belum?” tanya Zevania ketika sampai di sana. Hanya tinggal beberapa orang saja di dalamnya, padahal setahu Zevania anggota ekskul musik cukup banyak.
“Udah, Cuma latihan selagu doang kok.” Gista mengambil tasnya dan berjalan menghampiri Zevania yang berdiri di ambang pintu.
“Mana Tania?” Zevania mencari sosok sahabatnya yang seharusnya bersama Gista.
“Tuh bocah udah ngacir dari tadi. Gak tahu ke mana,” balas Gista mengendikkan bahunya.
“Oh, yuk lah langsung ke tempat futsal. Gue mau liat Zidan latihan,” semangat Zevania.
Zevania tak segan untuk meninggalkan ekskul Pramuka hanya untuk melihat permainan futsal dari Zidan. Jabatannya sebagai pradana putri tidak membuat Pramuka lebih penting daripada Zidan.
“Lah, Zidan mulu yang ada diotak lo. Kan gue udah bilang, lupain tuh si es nong-nong. Cowok kagak punya hati kayak dia lo kejar.”
Zevania memutar matanya mendengar kalimat yang dilontarkan Gista. Ia sama sekali tak peduli pada perkataan sahabatnya itu.
“Sekalian kan lo bisa cuci mata.” Zevania menarik tangan Gista agar cewek itu tak dapat menghindar.
Dan di sinilah mereka, di kursi penonton paling depan yang ada di lapangan futsal. Kenapa duduk paling depan? Tentu saja itu adalah ulah Zevania yang ingin leluasa melihat Zidan.
Melihat Zidan dengan rambut acak-acakan dan penuh keringat, membuat ketampanan Zidan bertambah bagi Zevania. Cewek dengan rambut yang baru saja diganti warna menjadi coklat di bagian ujungnya itu tak henti melontarkan kalimat pujian untuk Zidan.
“Zidan ganteng banget, gila!! Gue makin sayang aja.” Zevania meremas botol minuman yang dipegangnya. Ia sengaja membelinya untuk diberikan pada Zidan nanti.
“Yang ada lo makin gila!” ejek Gista yang duduk di sampingnya.
“ZIDAN SEMANGA—“ Teriakan Zevania terhenti dan berganti menjadi pekikan ketika ia melihat Zidan terjatuh karena kakinya tak sengaja ditendang oleh salah seorang pemain lainnya yang awalnya berniat menendang bola.
“Aaaakk ... Zidan!!” Zevania berlari menghampiri Zidan yang dikerumuni banyak orang di tengah lapangan. Ia meninggalkan Gista yang sama sekali tak berniat menyusulnya.
Zevania melihat Zidan yang kini dibantu berdiri oleh Ilham dan Rafael. Sepertinya tendangan yang mengenai kaki Zidan cukup kuat hingga cowok itu nampak susah berjalan.
“Sini gue bantu.” Zevania menyingkirkan Ilham yang merangkul Zidan dan menggantikan posisinya.
0o0
Zevania enggan untuk menggeser posisi duduknya sedikitpun. Ia kini tengah duduk bersama Zidan di kursi penumpang mobil milik Leon yang sedang dikendarai oleh pemiliknya.
Setelah dari UKS, Zidan memutuskan untuk pulang ke rumahnya karena kakinya yang terasa sakit untuk digerakkan. Sepertinya kakinya harus segera diurut.
Dan mengenai Zevania, cewek berseragam coklat itu memaksa untuk ikut. Bahkan ia meninggalkan tasnya yang tersimpan di ruang sekretariat Pramuka.
Zidan sudah menolak keikutsertaan cewek itu, tapi bukan Zevania namanya kalau tidak bisa memaksa Zidan.
“Aku khawatir banget kalau kaki kamu kenapa-napa. Kalau tulangnya remuk gimana? Terus nanti kamu gak bisa kemana-mana. Nanti kamu pakai kursi roda aja, biar aku yang dorong.” Rasa khawatir jelas terpancar dari wajah Zevania, bahkan sedari tadi ia menahan tangis melihat kondisi kaki Zidan.
“Lo pikir Zidan lumpuh apa, hahaha,” imbuh Leon yang melihat keduanya dari kaca, Zevania memperhatikan Zidan tak henti, sedangkan Zidan hanya diam saja dan enggan melihat Zevania barang sedikitpun.
“Tapi kan Zidan susah jalan.” Zevania mengalihkan pandangannya pada Leon yang sedang menyetir.
“Tinggal diurut aja beres kok.”
Zevania merasa kesal pada Leon yang nampak tak khawatir sedikitpun pada Zidan. Padahal Zidan adalah sahabatnya sendiri.
“Lo kok gak khawatir sih sama Zidan?” kesal Zevania
“Gue gak lebay kayak lo,” balas Leon dan kembali fokus menyetir. Ia tak ingin pembahasan tak penting ini membuat mereka kecelakaan.
“Gue kan khawatir.” Zevania mendengus lalu memeluk Zidan, namun Zidan langsung menepis tangan Zevania dengan kasar.
Tepisan tangan Zidan membuat Zevania meringis. Tangannya terasa sakit akibat perlakuan Zidan.
Zidan meliriknya sebentar lalu kembali mengalihkan pandangannya.
“Gak usah meluk.”
Zevania mengangguk “Yaudah, kalau calon suami aku gak mau peluk. Aku rapopo,” balas Zevania.
0o0
Tukang urut yang dipanggil oleh Yulis---Bunda Zidan baru saja datang. Di ruang tengah, Zidan sudah siap untuk diurut. Zevania duduk di sampingnya.
“Kalau kamu gak kuat sakitnya, pegang aja tangan aku.” Zevania menggenggam tangan Zidan. Dan seperti biasa Zidan langsung melepaskannya.
“Siapa yang mau diurut?” Mbok Atih bertanya kepada Yulis yang baru saja datang membawa minuman.
“Anak saya, Mbok. Itu yang cowok.”
Mbok Atih langsung duduk dekat kaki kanan Zidan yang diselonjorkan. Beberapa minyak urut sudah dikeluarkan dari tasnya.
Tangan keriput Mbok Atih mulai mengurut kaki Zidan, membuat tubuh Zidan menegang seketika karena rasa sakit di kakinya.
“Sakit banget ya Kak?” tanya Yulis melihat putra sulungnya yang nampak menahan sakit.
Zidan menggelengkan kepalanya pertanda bahwa ia merasa baik-baik saja. Gerakan tangan Mbok Atih di kakinya semakin lincah membuat rasa sakit kian menyeruak.
“Sssh ...” Zidan mendesis menahan sakit, tangannya tanpa sadar menggenggam erat tangan Zevania yang setia duduk di sampingnya.
Wajahnya tetap datar, padahal keringat yang terdapat di dahinya, dan tangan yang menggenggam erat tangan Zevania menunjukkan bahwa Zidan tengah menahan sakit.
“Sakit ya?” Zevania mengelap keringat di dahi Zidan dengan tangannya. Ia merasa genggaman Zidan semakin erat ketika Mbok Atih menyentuh pergelangan kakinya.
“Gak, biasa aja,” jawab Zidan singkat.
Krekkk ...
“Arrggght!!”
Entah apa yang Mbok Atih lakukan hingga menimbulkan suara tulang kaki Zidan, bahkan Zidan sampai berteriak kesakitan. Padahal baru beberapa detik yang lalu cowok itu mengatakan bahwa ia merasa biasa saja.