Sudah sejak pukul setengah enam pagi tadi Zevania berkutat di dapur. Zevania memasak nasi goreng untuk dirinya dan kakaknya juga Zidan tentunya. Urusan nasi goreng memang Zevania jagonya, ia tak akan ragu menyodorkan nasi itu pada Zidan.
Zevania juga memasak telur dadar yang dikocok bersamaan bawang putih, garam, merica dan penyedap rasa. Sebenarnya, Zevania agak ragu ketika akan menggunakan bawang putih di telur dadarnya. Mungkin saja Zidan tidak suka dengan bawang putih, berbeda dengan Zevania yang sangat menyukai bawang putih dan selalu menggunakan bawang itu di setiap masakannya.
“Lo gak punya uang bekal kan?”
Suara Zevano, kakaknya terdengar. Zevania membalikkan tubuhnya setelah tangannya selesai memasukkan makanan ke tempat makan bergambar kucing.
“Iya, tapi gak papa kok, asal Kakak anterin aku aja ke sekolah,” jawab Zevania yang kemudian menyusun piring di atas meja makan. “Ayo makan, Kak.”
Zevania dan Zevano duduk berdampingan dengan makanan yang sudah tersedia di depannya. “Bekal buat di sekolah?” tanya Zevano.
“Tapi buat Zidan.” Jawaban Zevania membuat Zevano mendengus seketika. Zevano tentu saja tahu tentang Zidan, adiknya itu selalu bercerita tentang cowok yang digilainya itu.
“Zidan mulu lo, kapan coba lo bawain gue makan ke kafe,” tutur Zevano seraya mulai makan nasi dan telur di depannya.
Zevania terkekeh, kakaknya itu memang kerap kali cemburu pada Zidan yang bahkan tak Zevano kenal. “Kan dia calon suami aku!!” tegas Zevania dengan senyuman di akhir kalimatnya.
Menghentikan makannya, Zevano kemudian merogoh saku celananya. “Kakak Cuma ada segini.” Selembar uang dua puluh ribu disimpan di meja.
Zevania menatap kakaknya dengan senyum sendu. “Gak perlu Kak, uang Kak Vano kan buat beli bahan makanan buat nanti lagi, aku gak papa kok gak bawa uang juga.”
Hembusan nafas terdengar jelas. “Maafin Kakak, ya. Lo jadi harus hidup susah bareng gue deh.” Zevano merangkul bahu Zevania agar mendekat padanya.
“Tapi uang ini, lo pake aja. Lagian kan gue juga langsung berangkat ke kafe, nanti juga dapet lagi uang delapan puluh.” Zevano tersenyum dan melepaskan rangkulannya. Mereka kembali makan dengan tenang.
Zevano dan Zevania berangkat bersama dengan motor matic yang dibeli Zevano dengan harga murah. Tangan Zevania melingkar dengan erat di tubuh Zevano.
Sungguh, Zevano sangat menyayangi adik manjanya yang perlahan tumbuh mandiri karena tuntutan keadaan. Namun tetap saja, sikap manja Zevania padanya tak hilang sepenuhnya.
Mereka telah sampai di dekat gerbang sekolah bertepatan dengan sebuah motor gede berwarna hitam memasuki area sekolah.
“Kak, aku langsung masuk ya, tuh Zidan juga baru masuk.” Zevania cepat-cepat menyalimi Zevano dan berlalu pergi. Zevano hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah adik kesayangannya itu.
Zevania menghampiri Zidan yang baru saja turun dari motor. Tangan Zevania secara otomatis memeluk lengan Zidan.
“Lepas,” ucap Zidan dengan datar. Kakinya mulai melangkah tanpa memperdulikan makhluk yang masih memeluk tangannya.
“Gak mau!” tegas Zevania dan justru mempererat pelukannya pada lengan berotot yang terbalut jaket levis.
“Sarapan belum?” tanya Zevania mendongak untuk menatap wajah Zidan yang enggan untuk menunduk barang sebentar saja.
“Pangeran vampirku, jawab dong.” Sebelah tangan Zevania menyentuh rahang Zidan. Dapat Zevania rasakan tubuh Zidan sempat menegang sebelum cowok itu menepis tangan Zevania.
“Belum.”
“Aku bawa makan buat kamu, pokoknya kamu harus makan ya sekarang aku temenin kamu makan deh di kelas kamu.” Zevania menatap penuh harap pada Zidan.
“Gak mau.” Zidan mempercepat langkahnya. Yang ada dibenaknya kali ini adalah segera sampai di kelasnya agar terbebas dari Zevania.
“Lo tuh gak hargain gue banget sih, lo tahu kan gue tuh capek kerja sampe malem, tapi pas pagi-pagi gue rela bangun pagi Cuma buat masak,” kesal Zevania namun tetap tak melepaskan lengan Zidan.
Padahal, Zevania memasak bukan hanya untuk Zidan saja, dan ia memang terbiasa bangun pagi dan memasak, sejak ia dan kakaknya tinggal berdua.
Zidan menarik napas dan menghentikan langkahnya. “Oke.”
Zevania memekik kesenangan lalu mengikuti Zidan memasuki kelasnya. Dengan semangat, Zevania mengeluarkan masakannya. Dia tak peduli pada murid lain yang menatapnya.
Zevania memutar bangku di depan Zidan agar dapat duduk berhadapan dengan Zidan.
“Mau aku suapin?” tanya Zevania yang tentu saja dibalas gelengan kepala oleh Zidan, dan mulai memakannya.
Zidan sebenarnya sedang tak nafsu makan, namun bagaimanapun ia harus menghargai usaha cewek gila di depannya ini. Meski ia tak suka pada Zevania, ia tak sampai hati untuk membuat makanan di depannya ini mubazir.
“Itu telurnya pakai bawang putih, soalnya aku suka. Tapi kalau kamu gak suka gak usah dimaka—“ Zevania tersenyum ketika Zidan memakan telurnya dengan cepat.
0o0
“Gimana? Baguskan?”
Tania memamerkan rambut sebahu dengan warna blue black. Tania benar-benar membuktikan ucapannya mengenai ia yang akan mewarnai rambut seperti Zevania. Tak hanya Tania, Gista pun ikut serta mewarnai rambutnya dengan warna serupa.
Dan yang lebih mengejutkan, Reynaldi pun mewarnai rambutnya, hanya saja dengan warna coklat tua.
“Wahhh, kita jadi kompakan gini.” Zevania mengibaskan rambut panjangnya yang ikal di bagian bawah. “Lo juga ganteng, Rey. Tapi tetep aja lebih ganteng Zidan sih,” lanjutnya.
“Halah, mau seganteng apa pun gue, mata lo itu udah burem!” ketus Reynaldi.
Mereka kini tengah duduk di depan kelas mereka, tak peduli jika lantai berwarna putih itu akan mengotori pakaian mereka.
“Padahal lo juga samaan aja warnanya kayak kita,” ungkap Gista sembari berkaca di layar ponselnya.
“Iya, jadi kita kayak girlboy band gitu, kan keren tuh,” timpal Tania.
“Tapi udah, lo cocok sama warna itu.” Zevania memandang Reynaldi seolah tengah menilai.
“Gue sih mau warna apa juga emang udah ganteng, ya, gimana lagi bawaan bonyok gue bagus sih!” bangga Reynaldi seraya mengusap rambutnya kebelakang.
Ketiga cewek cantik dengan warna rambut sama di depannya mendengus. “Ganteng sih, tapi tetap aja diselingkuhin,” cetus Gista.
“Biarin, gue bisa cari yang lebih baik. Kalian ada yang minat gak sama gue?” tanya Reynaldi seraya tersenyum semanis mungkin agar mempesona di mata orang lain yang melihatnya.
“OGAH!” seru ketiganya serempak.
Tawa lepas langsung terdengar dari mereka berempat. Hingga ada beberapa pasang kaki yang melintas di depan mereka membuat tawa mereka berhenti seketika dan mendongak guna melihat siapa pemilik kaki-kaki jenjang itu.
Zevania mendengus kasar ketika melihat Zidan dan Wilona berjalan paling depan, dibelakangnya ada Leon dan Farah, di urutan ketiga Khanza dan Praja dan diurutan terakhir ada Ilham dan Rafael yang tersenyum manis pada Zevania.
“Eh, maaf gak bilang permisi. Gak liat ada pengemis sih di depan kelas ini,” ketus Wilona yang sudah menghentikan langkahnya, Zidan pun berhenti karena lengannya dipegang oleh jemari lentik Wilona, dan rombongan di belakangnya pun otomatis berhenti.
Zevania kesal melihat Zidan yang sama sekali tak berusaha melepaskan tangan Wilona dari lengannya. Kenapa mereka terlihat semakin dekat?
“Apaan maksud lo?” Zevania langsung berdiri yang diikuti oleh ketiga temannya. Reynaldi menunjukkan wajah datarnya dengan tatapan menusuk ke arah Leon.
“Maksudnya Lona, kalian semua halangin jalan kita. Kalian gak liat apa pasangan-pasangan bahagia mau lewat?” sinis Farah, ia berniat untuk memanasi Reynaldi. Dan nampaknya usahanya berhasil, karena terlihat Reynaldi yang mengeraskan rahangnya.
“Diem lo cabe! Perasaan cabe di pasar lagi mahal, tapi kok yang di depan hue murah amat ya?” Zevania menatap nyalang Farah. Tentu saja Zevania dapat menangkap maksud tersembunyi dari ucapan Farah.
“Kalau kita cabe lo apa? Jalang?” bentak Khanza yang terpancing emosi.
“Jadi pelayan aja bangga, lo!” Wilona melepaskan tangan Zidan dan hendak mendorong Zevania. Namun niatnya tak dapat terlaksana karena tangannya ditarik Zidan pergi. Zevania menatap kepergian keduanya dengan rasa kesal.
Reynaldi menghembuskan napasnya kasar kemudian merangkul Zevania, Tania dan Gista secara bersamaan untuk memasuki kelas.
“Dadah bidadari Zevania.” Suara Ilham dan Rafael terdengar bersamaan dengan langkah kaki mereka yang meninggalkan depan kelas Zevania.
“Untung lo udah putus sama tuh cabe!” Tania berujar dengan tangan mengepal. Ia benar-benar bersyukur Reynaldi telah terlepas dari jerat makhluk semacam Farah. Meski Tania tidak tahu bagaimana keadaan hati Reynaldi sebenarnya.
“Lo gak papa?” tanya Zevania memastikan. Reynaldi mengangkat sebelah alisnya, “Lo sendiri?”
Zevania terdiam, tentu saja Zevania tidak baik-baik saja. Apalagi melihat Wilona bersama Zidan.
“Gue sih baik-baik aja,” santai Gista cengengesan.
0o0
Duduk manis di atas motor gede berwarna hitam, tangannya tak henti melihat jam tangan yang mana sebentar lagi akan menunjukkan jam kerjanya. Kendaraan di parkiran sekolahnya pun sudah tak banyak.
Sebenarnya apa yang dilakukan Zidan sampai Zevania harus menunggu sejak sembilan puluh menit yang lalu? Padahal bel pulang sudah berbunyi jam dua siang tadi.
Bukan bosan menunggu Zidan, hanya saja jam kerjanya yang semakin dekat membuat waktu terasa cepat berlalu. Mata Zevania menatap ke arah di mana seharusnya Zidan muncul dari sana.
Pucuk dicinta, Zidan pun tiba. Akhirnya, tak sia-sia Zevania membuang waktunya untuk berdiam diri di parkiran. Di belakang Zidan ada Rafael dan Giffar yang mengikuti.
Tatapan dingin Zidan tunjukan pada seseorang yang dengan lancang duduk di atas motornya. Sedangkan Zevania hanya menunjukkan kekehan kecil.
“Ngapain?” Intonasi Zidan terdengar sangat datar, namun bukan Zevania namanya jika ia gentar akan hal itu.
“Nunggu kamu dong,” jawab Zevania yang kemudian turun dari motor Zidan.
“Bidadari Zevania mau pulang sama gue ya?” Rafael tersenyum dengan percaya diri dan merangkul Zevania.
“Tingkat pede lo ketinggian!” ketus Giffar dan menaiki motornya.
“Sama Zidan dong!” tutur Zevania dan langsung menaiki motor Zidan dengan posisi mengangkang. Tangannya langsung ia lingkarkan sempurna di perut Zidan.
“Turun!” ucap Zidan yang membuat Zevania memberengut.
Zevania menggelengkan kepalanya di punggung Zidan. Helaan napas kasar Zidan hembuskan. “Ganti posisi duduk lo!” Nada ucapan Zidan sarat akan perintah, segera Zevania turun untuk mengubah posisi duduknya.
“Padahal mata gue baru aja dapat bonus,” ucap Rafael mengusap kasar wajahnya. Zevania mengernyit tak mengerti. “Bonus apa?” tanya Zevania polos.
“Bonus liat pa—“ Zevania tak dapat mendengar kelanjutan ucapan Rafael karena Zidan langsung melajukan motornya tanpa aba-aba.