Bertemu

3361 Words
Fajar mulai menyingsing, udara segar berembus di sekitar rumah mewah bergaya eropa, dengan cat berwarna putih. Seorang pria dengan wajah tampan mengeliat di atas ranjang king size nya. Tok Tok Tok Darel, membuka matanya seketika saat mendengar pintunya diketuk, tentu saja dia harus bangun, kalau ada yang mengetuk berarti sudah pasti itu hal yang sangat penting. Dengan malas dia membuka pintunya dan menemukan orangnya tengah menundukkan kepala. “Katakan, ada apa?” “Tuan, tuan Aditama hendak bertemu.” Tampak sedikit katakutan di wajah pengawalnya itu saat mengatakannya. “Hah ... Kau membangunkanku hanya untuk mengatakan tentang si berengsek itu?” Suara dingin Darel begitu menakutkan hingga membuat bergetar. “I ... Iya, Tuan.” Tanpa kata Darel berbalik ke tempat tidurnya, mengganti pakaiannya, setelahnya baru dia menemui pengawalnya tadi. Srett ... Darel melayangkan goresan cukup dalam di pergelangan tangan pria itu dengan kejam. “Kalau kau mengulangi lagi kesalahanmu, kubuat otakmu keluar!” setelah mengatakan itu Darel berjalan santai menemui pria paruh baya yang sudah menunggunya di lantai tanpa berani duduk di kursi pria itu. “Apa yang kau inginkan, Tua Bangka?” Darel duduk dengan angkuh di depan pria paruh baya itu. Seorang pelayan membawa kopi ke arah Darel. “Tuan saya mohon, saya bel—” “Belum bisa membayar semua utangmu?” potong Darel, sambil menyesap kopinya santai. “I ... Iya, Tuan, tapi saya berjanji kalau saya akan—” Prang !! Darel membanting gelasnya ke lantai, wajahnya merah padam. “Pelayan!!” mendengar teriakan Darel, para pelayan datang dengan wajah penuh ketakutan. “Siapa yang sudah membuat kopiku?” tanya Darel dingin. “Caroline, Tuan,” balas salah satu dari mereka. “Bunuh dia sekarang! Dia membuat lidahku terbakar.” Mendengar perintah Darel, sontak membuat Aditama membelalakkan matanya terkejut. Hanya karena kopinya kepanasan Darel membunuh pelayannya?? Seolah para pelayan di rumahnya bukanlah seorang manusia. Kenyataan bahwa Darel seorang manusia wajib diragukan. Setelah itu Darel kembali lagi ke ruang kerjanya meninggalkan Aditama dengan wajah terkejutnya. Kembali menguasai dirinya Aditama mengejar Darel dan bersimpuh di kaki pria itu. “Kumohon, Tuan Darel, berilah saya kesempatan lagi.” Melupakan usianya yang jauh lebih tua dari Darel, Aditama bersimpuh dengan sangat rendah di kaki Darel. Kekuasaan memang sangat mengerikan. “Hah! Uangmu tak ada artinya buatku, tapi yang aku pegang adalah janjimu. Kau sudah mengingkari janjimu, dan aku sangat membenci orang yang mengingkari janjinya sendiri. Terima kenyataan Aditama, perusahaanmu sudah bangkrut dan aku akan mengambil alih perusahaan itu. Dengan kebaikan hatiku, aku tetap mengizinkan kau dan keluargamu untuk bekerja di sana, tanpa gaji selama setahun. Beruntunglah aku tidak memasukkanmu ke dalam penjara.” Darel bersuara dingin dan segera melangkah ke ruangannya. “Pergilah dari sini, sebelum aku tembak kepala bodohmu itu!” ujar Darel lagi, yang membuat Aditama pergi dari rumah mewah itu dengan cepat. Dengan wajah lesu dan sangat kacau Aditama pergi ke perusahaan untuk mengumumkan tentang kepemilikan Darel atas perusahaannya. {} Tepat setelah semuanya selesai Aditama melangkah ke rumahnya berharap mendapat kekuatan dari anak dan istrinya. “Assalamualaikum—” “Daddy! Kenapa perusahaan kita tetap bangkrut?! Apa Daddy benar benar tidak bisa diandalkan sebagai seorang Daddy dan Suami?? Apa apaan ini??! Pokoknya aku tidak mau jadi orang miskin!!” setelah mengatakan itu istrinya pergi meninggalkannya dengan perasaan kacau. “Aku kecewa dengan Daddy!” Begitu pun anaknya, yang berlari meninggalkannya dalam kesedihan. Mata tua Aditama kini menatap ke lantai mulai berkaca-kaca. Bukan kekuatan yang dia dapat, tapi sakit hati yang begitu mencekik. Grep ... “Papa, jangan menangis. Semuanya akan baik baik saja.” Aditama membalas pelukan hangat keponakannya itu, dia makin menumpahkan air matanya. Bahkan keponakannya lebih memahami dirinya. Annisa melepas pelukannya dan mengusap air mata Aditama. “Semuanya akan baik-baik saja, Pa.” Annisa menampilkan senyum manisnya. Annisa memang sering memanggil Aditama papa di saat seperti ini. Aditama mengangguk membalas perkataan Annisa. “Annisa akan membantu Paman mempertahankan rumah ini, Annisa juga akan bekerja.” Annisa bersuara yakin. “Tidak perlu, Nak, kau jangan bekerja. Paman masih bisa bekerja di sana,” balas Aditama sambil menatap keponakannya itu. “Annisa akan bekerja, Paman, Annisa tidak mau memberatkan—” “Sttt, apa yang kau katakan, Nak? Kau sama sekali tidak memberatkan Paman.” “Kumohon, Paman. Kalau Paman merasa khawatir, Annisa akan melamar pekerjaan di perusahaan Paman.” Annisa mencoba meyakinkan pamannya itu. “Tetap tidak boleh, Nisa. Paman tidak ingin membuat kau susah dan mengkhianati kepercayaan orangtuamu padaku,” Aditama mencoba menjelaskan pada keponakannya ini. “Kumohon Paman....” Annisa menatap pamannya dengan wajah memelas. “Baiklah,” balas Aditama kemudian, bukanlah hal yang mudah untuk menentang keponakannya itu. Annisa tersenyum senang saat mendengar persetujuan pamannya itu. “Paman sebaiknya beristirahat, aku tau Paman kelelahan. Jangan pikirkan apa pun untuk sekarang, aku tidak ingin Paman sakit karena ini, jangan membantah atau Annisa tidak akan berbicara pada Paman selama tiga hari,” ancam Annisa yang membuat Aditama tersenyum. “Baik, Kapten,” balas Aditama sambil memberi hormat, yang membuat Annisa tertawa begitu pun dengan Aditama. Setidaknya, Aditama masih punya alasan untuk tertawa yaitu keponakannya. Keponakan yang lebih mengerti dirinya daripada anak dan istrinya. {} Annisa berjalan sambil menunduk untuk membuat keperluannya melamar pekerjaan besok. Banyak yang memandangnya sinis bahkan menunjukkan wajah tak sukanya. Annisa memakai masker untuk menutupi wajahnya dari para pria yang bahkan dengan terang terangan memandangnya. Dia belum terlalu kuat untuk memakai cadar, jadilah dia wanita setengah bercadar. Memakai masker setiap keluar rumah. Setelah semuanya selesai Annisa berjalan pulang menuju rumahnya, dia harus berjalan kaki ke rumahnya karena sangat jarang angkutan umum akan berhenti untuknya. “Dasar bodoh! Bagaimana bisa kalian kehilangan jejak si berengsek itu hah??!!!” Di jalan yang cukup sepi itu Annisa melihat seorang pria tengah memarahi bodyguardnya di depannya. Dengan kepala menunduk Annisa mencoba terus berjalan. Tanpa mempedulikan pria itu. Dor! Dor! Annisa membeku seketika. Tepat di depannya pria tadi menembak bahu bodyguardnya itu dengan kejam seolah dia bukan manusia. Dan tanpa rasa bersalah. Dengan tergesa-gesa Annisa berjalan ke arah pria yang tertembak yang kini tengah memegang bahunya mencoba menghentikan darah yang bercucuran. Karena panik, Annisa merobek baju bagian bawahnya yang berlapis dan membalut luka pria tadi dan segera mengambil handphonenya untuk meminta bantuan medis. “Hal–” Panggilan Annisa terhenti seketika saat handphonenya diambil paksa oleh pria kejam tadi. “Apa yang ingin kau lakukan, Bitch?? Melaporkan apa yang kau lihat ke polisi ehh??!” Annisa menatap tak percaya kepada pria di depannya ini. “Astaghfirullahaladzim, aku hanya ingin membantu tuan ini, tidak ada yang lain. Tolong kembalikan handphone saya.” “Hah ... Tak usah sok berjiwa pahlawan.” Setelah mengatakan itu pria itu—Darel, melempar handphone Annisa ke arahnya. Tanpa menunggu lama ia segera menelepon ambulan. “Awas saja kalau kau membuat masalah pecundang,” Darel menatap bawahannya itu sekilas dan berjalan hendak pergi. “Kau benar-benar kejam! Di mana hati dan sisi kemanusiaanmu? Dia seperti ini kau yang menembaknya! Tidakkah kau merasa harus menyembuhkannya atau meminta maaf? Di mana hatimu itu, Tuan?” Annisa bersuara keras ke arah Darel dengan wajah tak percaya. Darel hanya mengangkat alisnya dan pergi menjalankan mobilnya dengan kencang mengejar pria yang membuatnya kesal dan berniat membunuh orang. Sedangkan Annisa masih menatap ke arah kepergiaan Darel dengan wajah tak percaya lagi. Bagaimana ada orang seperti itu? “Aghhh.” Annisa menoleh seketika melihat pria yang tertambak tadi dengan raut khawatir. “Bersabarlah sebentar, bantuan akan segera datang.” Annisa mencoba menenangkan pria di depannya ini. “Tidak, aku tidak mau ke rumah sakit. Kalau mau benar benar berniat membantu kutolong jalankan mobil itu ke tempat yang aku arahkan,” ucap pria itu menahan sakit di bahunya yang membuat Annisa mengerutkan keningnya heran. “Tapi lukamu harus dibawa ke rumah sakit.” Annisa mencoba meyakinkan. “Kumohon, bila kau berniat membantuku, maka lakukan apa yang kuminta. Atau aku akan menjalankan mobil itu sendiri,” ucap pria itu hendak pergi. “Baiklah baiklah, kalau itu maumu.” Annisa masuk ke dalam mobil, dia tak mau membantu pria itu masuk ke dalam mobil, dia hanya membukakan pintunya tadi. Annisa mengemudikan mobil dengan sedikit cepat, wajah pria di sampingnya ini mulai pucat. “Kenapa dia menembakmu? Apa kau seorang penjahat?” tanya Annisa penasaran. “Aku supirnya, tadi kami sedang memburu penjahat dan aku kehilangan pria itu,” jawab pria itu lemah. “Hanya karena itu?” Mulut Annisa mengangga seketika. Beruntunglah pada masker yang dia pakai hingga tak membuatnya terlihat konyol. “Itu memang kesalahanku,” balas pria itu lagi. “Tapi dia tak seharusnya melakukan hal itu padamu, dia benar benar kejam dan–” “Belok kiri,” potong pria itu, dan Annisa dengan patuh berbelok ke kiri. “Kita sudah sampai,” kata pria itu membuat Annisa berhenti di depan rumah megah bergaya eropa dengan cat berwarna putih. “Ini rumahmu?” tanya Annisa saat dia sudah memberhentikan mobilnya di halaman luas rumah ini. “Bukan, rumah tuan Darel.” “Darel??” tanya Annisa berkerut. “Tuanku, orang yang menembakku tadi,” balas pria itu santai dan segera keluar. Darel?? Annisa merasa pernah mendengar nama itu, tapi kapan? Sekarang dia meruntuki ingatannya yang buruk. “Terima kasih sudah mengantarku, Nona, aku sudah memanggilkan taxi untukmu,” ucap pria itu seraya menunjuk taxi di depan pagar rumah itu. Annisa tersadar seketika dari mencari serpihan ingatannya tentang orang bernama Darel ini. “Tak masalah, semoga cepat sembuh, Tuan.” Pria itu hanya mengangguk lalu masuk ke rumah itu. Annisa berjalan pelan menuju taxi yang dipesankan pria itu. Detik berikutnya dia baru ingat akan orang yang bernama Darel. Darel, pria yang sangat terkenal kejam, dia bahkan sering membunuh rekan bisnisnya karena tidak membayar utang. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap dia seorang iblis tak punya hati. Perkataan pamannya itu terngiang di telinga Annisa. Jadi dia Darel sang pria kejam itu, aku sudah bertemu dengan pria kejam itu. Annisa bergidik sendiri membayangkannya. Benar kata paman, dia sangat kejam dan mengerikan. Dia sanggup membunuh orang. Ya Rabb, semoga hambamu ini tak pernah bertemu dengan pria itu lagi. Doa Annisa dalam hati yang entah akan terkabul atau sebaliknya. {} Setelah beberapa menit, tibalah Annisa di rumah pamannya ini. Dia langsung keluar dengan tergesa-gesa. Jujur saja, dia masih syok sekarang. Di otaknya terus berputar tentang betapa kejamnya seorang Darel. Bruk! “Astaghfirullahaladzim.” Annisa mendongak ke depan, ternyata dia menabrak pamannya sendiri. “Kau kenapa, Nak?” Aditama membantu keponakannya itu berdiri, lalu membersihkan pakaiannya dari rerumputan. “Ta ... Tadi ... An ... Annisa–” Annisa bicara terbata-bata karena gugup. “Tarik napas, lalu embuskan.” Annisa mengikuti instruksi pamannya itu segera. Melihat Annisa yang sedikit tenang, Aditama mengiring keponakannya itu untuk ke taman belakang, di sana terdapat empat kursi dan meja bundar. “Katakan ada apa, Nak?” Aditama menatap Annisa bertanya. “Tadi, Annisa ketemu dengan ... Darel.” Mata Aditama membulat seketika lalu mulai memeriksa tubuh keponakannya itu. “Apa dia menyakitimu, Nak? Dia melakukan apa padamu? Bagian mana yang sakit??! Ayo kita ke rumah sakit.” Aditama berdiri hendak menarik keponakannya itu. “Tidak, Paman. Annisa baik-baik saja. Paman jangan khawatir.” Aditama duduk kembali melihat keponakannya itu benar-benar tampak baik-baik saja. “Bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Aditama penasaran. Annisa menceritakan semuanya runtut dari mulai tembakan yang terjadi sampai dia mengantar supir yang tertembak tadi. Aditama menghela napas setelahnya, dia pikir keponakannya ini yang bermasalah dengan si kejam Darel. “Syukurlah bukan kau yang bermasalah dengan pria kejam itu.” Aditama mengenggam tangan Annisa. “Dia benar-benar pria kejam,” komentar Annisa tanpa sadar. “Dia memang seperti itu, entah apa yang membuatnya seperti itu. Banyak rumor yang beredar dia menjadi sangat kejam karena ibunya.” “Kenapa dengan ibunya?” Segelitik rasa penasaran merasuki hati Annisa. “Ada yang bilang dia tak mendapat kasih sayang seorang ibu semenjak lahir.” Annisa mengangguk-angguk mendengar hal itu, tapi tetap saja pikir Annisa, itu tak harus menjadikannya dia menjadi iblis seperti itu. “Yang terpenting kau tidak bertemu dengan dia lagi, Nak, dan jangan coba-coba berurusan dengan pria kejam itu.” Annisa mengangguk mengiyakan perkataan pamannya. “Soal pekerjaan, kalau kamu tetap ingin bekerja, di kantor paman ada lowongan. Mereka sudah menyiapkan semuanya untukmu.” Mata Annisa berbinar senang mendengar perkataan pamannya itu. “Benarkah?? Tapi, bukankah perusahaan itu bukan milik paman lagi.” “Memang, tapi Tuan Darel tetap mengizinkan paman dan keluarga Paman yang hendak bekerja di perusahaan itu.” Annisa mengangguk mengerti. Dia cukup baik, kalau orang lain pasti paman sudah dimasukkan ke penjara atau dikuliti. Detik berikutnya Annisa memukul kepalanya sendiri, sejak kapan dia memikirkan pria... “Kau kenapa, Nak?” Aditama menatap Annisa heran. “Eh ... Tidak, Nisa sedikit pusing,” kilahnya. “Kalau begitu sebaiknya kau masuk, besok hari pertamamu bekerja, kau harus sehat dan semangat.” “Tentu, Paman.” Annisa tersenyum dan berlalu ke kamarnya. Sesampainya di kamarnya dia menatap ke arah jendela, Semoga aku tidak pernah berurusan dengan pria itu lagi, atau bahkan bertemu dengannya. Doa Annisa dalam hati. Entahlah apakah doanya terkabul atau tidak, semuanya sudah diatur oleh Allah. {} Musim dingin belum berganti di kota New York. Kota itu tetap sama, dingin. Bahkan cuaca pagi ini jauh terasa lebih dingin, kebanyakan orang mungkin akan lebih memilih bergelung di bawah selimut tebal menghangatkan tubuh. Sangat berbeda dengan Annisa, gadis itu sudah sangat rapi. Dia tengah menyusun makanan di meja yang ia masak tadi. “Semangat sekali.” Annisa mendongak ke arah depan di mana suara berasal, dia tersenyum dengan manis saat melihat pamannya tengah berjalan ke arahnya. “Tentu saja, Annisa akan mulai bekerja hari ini,” balas Annisa dengan senyum manisnya. “Sebenarnya, Paman masih tidak ingin kalau Nisa kerja.” Annisa tersenyum ke arah Aditama dan mengenggam tangannya. “Annisa mau membantu Paman. Annisa akan baik baik saja.” “Tentu saja dia harus bekerja, sudah cukup kita menghidupinya hingga bangkrut seperti ini.” Annisa menunduk seketika ketika mendengar suara bibinya. “Farah, kau tidak boleh bicara seperti itu, ini semua bukan salah Annisa.” “Bela saja Annisa terus, Dad, kami memang tak ada artinya di mata Daddy.”Carry menatap sebal ke arah Aditama. “Momy benar, ini semua karena si pembawa sial Annisa.” Annisa menundukkan kepalanya. “Kita bukan orang zaman jahilia, jangan percaya akan kesialan.” Aditama mencoba menjelaskan pada Anak dan Istrinya. “Halah! Memang dia pembawa sial.” Farah berjalan ke meja makan dan mulai memakan makanan yang ada di sana. Farah dan Carry memang tidak menggunakan kerudung dan tak terlalu bisa tentang Agama. Bahkan mereka memakai pakaian yang terkesan Sexy. Aditama pun bukanlah pria yang pandai Ilmu agama tadinya, tapi semenjak ada Annisa, dia belajar sedikit demi sedikit dengan keponakannya itu. Sedangkan Farah dan Carry mereka tak mau sama sekali belajar. “Annisa, ayo makan bersama.” Aditama membimbing keponakannya itu ke meja makan. Annisa berhenti seketika saat melihat mata tajam Farah mengarah kepadanya. “Annisa ... Annisa mau siapin dokumen Annisa dulu, Paman, nanti kalau sudah Annisa ikutan makan.” Annisa perlahan melepas genggaman tangan pamannya dan berlari ke kamarnya. Mana mungkin dia makan bersama mereka. Yang ada bibinya akan pergi dan akan terjadi pertengkaran lainnya. Setelah cukup lama Annisa keluar, memasukkan makanan ke kotak makan dan keluar menemui Aditama yang sudah menunggunya. {} “Sayang, ini pak Erick, dia akan membawamu ke tempatmu bekerja.” Aditama mengenalkan seseorang pada Annisa. Annisa hanya menangkupkan tangannya di dada dan tersenyum. Pria berkulit putih dengan kacamata itu hanya tersenyum lalu menuntun Annisa ke ruangannya. “Kau, putri kedua tuan Aditama?” tanya pria itu memecah keheningan di antara mereka. “Bukan, aku keponakannya,” jawab Annisa seraya menundukkan kepala. Ting! Lift seketika terbuka, Annisa keluar dan mengikuti langkah Erick menuju ke ruangannya. Setelah sampai Annisa sedikit berkenalan dengan mereka dan mulai bekerja. Walaupun ini bukan jurusannya, tapi dia akan sekuat tenaga mempelajarinya. Annisa kuliah di jurusan sastra, dan sekarang dia bekerja di divisi keuangan. Entah kenapa dia bisa di sini. Annisa memejamkan matanya dan mulai bekerja. Dia percaya Allah bersamanya. “Rapikan pakaian kalian! Pemilik baru perusahaan ini akan berkunjung untuk melihat-lihat!” Annisa mendongak seketika, dia melihat wajah khawatir mereka. Pemilik baru perusahaan ini?? Sudah pasti itu Darel. Sepertinya, aku akan bertemu dengan pria kejam itu lagi, semoga tidak ada masalah yang terjadi. Annisa berdoa dalam hati Derap langkah kaki pria dengan tegas memasuki ruangan mereka. Entah kenapa jantung Annisa berdetak dua kali lebih cepat. Pasti semua orang di divisi ini pun sama dengannya. Krakk ... Srett ... “Menjijikkan! Aku benci bau parfum jalangmu itu! Keluar dari perusahaan ini!” Annisa lagi-lagi menatap tak percaya ke arah Darel. Pria itu merobek baju wanita itu hanya karena parfum? Beruntung aku tidak memakai parfum. Annisa mengucapkan syukur di hatinya, sedangkan yang lain mulai resah parfum mereka semua mungkin akan jadi masalah. Tapi di luar dugaan, Darel berlalu pergi ke ruangannya tanpa mempedulikan mereka lagi. Dia hanya benci wangi parfum wanita itu, bukan semuanya, pikir Annisa dalam hati. Tapi kenapa dengan parfum wanita itu? {} Darel melangkah ke ruangannya dengan rahang mengeras Seingatnya dia sudah menghancurkan perusahaan parfum yang dipakai karyawannya tadi, kenapa dia masih memilikinya? Parfum itu membuatnya muak dan benci seketika, karena itu akan mengingatkannya pada ibunya. Ibunya selalu memakai parfum seperti itu, sepele memang, tapi itu menghadirkan kembali rasa benci di hatinya. Mengabaikan sakit di hatinya Darel mulai mencoba fokus pada pekerjaannya, dia membaca laporan tentang perusahaan barunya ini, dan mulai merencanakan perubahan di sana sini. Tak terasa kini jam di tangan mulai menunjukkan pukul 16.00, dengan cepat dia berjalan ke luar ruangannya. “Apa Tuan langsung ingin pulang?” tanya salah satu bodyguardnya. “Tidak, aku ingin melihat lihat perusahaan ini dulu.” Darel menjawab dingin dan mulai berkeliling. Hingga di area taman. Bismillāhir rahmānir rahīm Darel menoleh seketika saat mendengar suara lembut yang menenangkan hati itu. Dadanya seketika bergetar hebat. Suara seorang gadis yang selama ini sering kali mengusik pikirannya. Dengan berlari dia menyusuri lorong panjang terus mengejar suara indah dan merdu itu. Hingga sampailah dia di taman belakang dan menemukan seorang gadis berkerudung panjang tengah membelakangi dirinya. Sama seperti sebelumnya, gadis itu berhenti saat Darel berada di depannya. Sedangkan gadis itu– Annisa, merasa deja vu akan perasaan ini. Dia pernah merasakan perasaan aneh di hatinya saat melihat seorang pria yang berdiri di hadapannya ini kala dia membaca Al-Qur’an. “Maaf bila saya menganggu ketenangan Anda,” balas Annisa sambil menundukkan kepalanya makin dalam. Jantung Annisa makin berdetak kencang saat menyadari bahwa mereka hanya berdua. Dengan menunduk kian dalam Annisa berjalan hendak pergi dari pria itu. Grep! Mata Annisa membelalak seketika saat pria itu mengenggam tangannya. Dengan sedikit keras Annisa berusaha menepis tangan pria itu. Tapi apalah daya tenaga seorang wanita seperti dirinya. Dengan kekuatan penuh Annisa membalikkan badannya menghadap pria itu dan mulai menghempaskan tangan pria itu keras. Baru di saat itulah wajah lembut dan ayunya dilihat oleh Darel. Mata Darel terbelalak seketika, menatap wajah Annisa tak percaya. Bahkan kini wajahnya mulai pucat pasih. Sedangkan Annisa masih mengusap tangannya yang sedikit memar. Setelah beberapa menit Annisa mulai mendonggak melihat pria yang dengan kurang ajarnya mengenggam tangannya tadi. Sama seperti pria di depannya, Annisa pun terkejut, tak disangkanya bahwa dia akan bertatap muka lagi dengan Darel. Waktu itu dia memang pernah bertatap muka dengan pria ini, tapi saat itu Annisa menggunakan masker. Tapi sekarang dia tak menggunakan apa-apa untuk menutupi wajahnya. Tangan Darel mulai terkepal erat, rahangnya mengeras seketika. Annisa yang melihat kemarahan di wajah Darel menundukkan kepala seketika. Annisa pikir, pria ini marah padanya karena kejadian kemarin dia membentak pria ini. "Ma ... Maafkan saya, say—” “Annisa.” Annisa dan Darel menoleh seketika ke arah sumber suara. Terlihat Aditama menatap Annisa khawatir. Darel mengerutkan keningannya seketika. “Tu ... Tuan Darel, tolong maafkan keponakan saya, di ... Dia tidak tau apa yang dia lakukan, tolong ampuni dia.” Darel menatap pria paruh bayah itu datar, tapi otaknya bekerja dengan cepat. Keponakan? Darel menyeringai seketika saat menyadari semua itu. Dengan tenang Darel melewati Annisa dan Aditama. “Cari semua informasi tentang Annisa,” perintah Darel pada tangan kanannya. Bibirnya tersenyum seperti seorang iblis, hanya dia dan Allah yang tahu apa yang ada di kepalanya tentang Annisa
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD