Fajar mulai menyingsing, udara segar berembus di sekitar rumah
mewah bergaya eropa, dengan cat berwarna putih. Seorang pria
dengan wajah tampan mengeliat di atas ranjang king size nya.
Tok
Tok
Tok
Darel, membuka matanya seketika saat mendengar pintunya
diketuk, tentu saja dia harus bangun, kalau ada yang mengetuk berarti
sudah pasti itu hal yang sangat penting.
Dengan malas dia membuka pintunya dan menemukan orangnya
tengah menundukkan kepala.
“Katakan, ada apa?”
“Tuan, tuan Aditama hendak bertemu.” Tampak sedikit katakutan
di wajah pengawalnya itu saat mengatakannya.
“Hah ... Kau membangunkanku hanya untuk mengatakan tentang
si berengsek itu?” Suara dingin Darel begitu menakutkan hingga membuat bergetar.
“I ... Iya, Tuan.”
Tanpa kata Darel berbalik ke tempat tidurnya, mengganti
pakaiannya, setelahnya baru dia menemui pengawalnya tadi.
Srett ...
Darel melayangkan goresan cukup dalam di pergelangan tangan
pria itu dengan kejam.
“Kalau kau mengulangi lagi kesalahanmu, kubuat otakmu keluar!”
setelah mengatakan itu Darel berjalan santai menemui pria paruh
baya yang sudah menunggunya di lantai tanpa berani duduk di kursi
pria itu.
“Apa yang kau inginkan, Tua Bangka?” Darel duduk dengan
angkuh di depan pria paruh baya itu. Seorang pelayan membawa kopi
ke arah Darel.
“Tuan saya mohon, saya bel—”
“Belum bisa membayar semua utangmu?” potong Darel, sambil
menyesap kopinya santai.
“I ... Iya, Tuan, tapi saya berjanji kalau saya akan—”
Prang !!
Darel membanting gelasnya ke lantai, wajahnya merah padam.
“Pelayan!!” mendengar teriakan Darel, para pelayan datang
dengan wajah penuh ketakutan.
“Siapa yang sudah membuat kopiku?” tanya Darel dingin.
“Caroline, Tuan,” balas salah satu dari mereka.
“Bunuh dia sekarang! Dia membuat lidahku terbakar.”
Mendengar perintah Darel, sontak membuat Aditama
membelalakkan matanya terkejut.
Hanya karena kopinya kepanasan Darel membunuh pelayannya?? Seolah para pelayan di rumahnya bukanlah seorang manusia.
Kenyataan bahwa Darel seorang manusia wajib diragukan.
Setelah itu Darel kembali lagi ke ruang kerjanya meninggalkan
Aditama dengan wajah terkejutnya. Kembali menguasai dirinya
Aditama mengejar Darel dan bersimpuh di kaki pria itu.
“Kumohon, Tuan Darel, berilah saya kesempatan lagi.” Melupakan
usianya yang jauh lebih tua dari Darel, Aditama bersimpuh dengan
sangat rendah di kaki Darel. Kekuasaan memang sangat mengerikan.
“Hah! Uangmu tak ada artinya buatku, tapi yang aku pegang
adalah janjimu. Kau sudah mengingkari janjimu, dan aku sangat
membenci orang yang mengingkari janjinya sendiri. Terima kenyataan
Aditama, perusahaanmu sudah bangkrut dan aku akan mengambil
alih perusahaan itu. Dengan kebaikan hatiku, aku tetap mengizinkan
kau dan keluargamu untuk bekerja di sana, tanpa gaji selama setahun.
Beruntunglah aku tidak memasukkanmu ke dalam penjara.” Darel
bersuara dingin dan segera melangkah ke ruangannya.
“Pergilah dari sini, sebelum aku tembak kepala bodohmu itu!”
ujar Darel lagi, yang membuat Aditama pergi dari rumah mewah itu
dengan cepat.
Dengan wajah lesu dan sangat kacau Aditama pergi ke
perusahaan untuk mengumumkan tentang kepemilikan Darel atas
perusahaannya.
{}
Tepat setelah semuanya selesai Aditama melangkah ke rumahnya
berharap mendapat kekuatan dari anak dan istrinya.
“Assalamualaikum—”
“Daddy! Kenapa perusahaan kita tetap bangkrut?! Apa Daddy
benar benar tidak bisa diandalkan sebagai seorang Daddy dan Suami?? Apa apaan ini??! Pokoknya aku tidak mau jadi orang miskin!!” setelah
mengatakan itu istrinya pergi meninggalkannya dengan perasaan
kacau.
“Aku kecewa dengan Daddy!” Begitu pun anaknya, yang berlari
meninggalkannya dalam kesedihan.
Mata tua Aditama kini menatap ke lantai mulai berkaca-kaca.
Bukan kekuatan yang dia dapat, tapi sakit hati yang begitu mencekik.
Grep ...
“Papa, jangan menangis. Semuanya akan baik baik saja.”
Aditama membalas pelukan hangat keponakannya itu, dia makin
menumpahkan air matanya. Bahkan keponakannya lebih memahami
dirinya.
Annisa melepas pelukannya dan mengusap air mata Aditama.
“Semuanya akan baik-baik saja, Pa.” Annisa menampilkan senyum
manisnya. Annisa memang sering memanggil Aditama papa di saat
seperti ini.
Aditama mengangguk membalas perkataan Annisa.
“Annisa akan membantu Paman mempertahankan rumah ini,
Annisa juga akan bekerja.” Annisa bersuara yakin.
“Tidak perlu, Nak, kau jangan bekerja. Paman masih bisa bekerja
di sana,” balas Aditama sambil menatap keponakannya itu.
“Annisa akan bekerja, Paman, Annisa tidak mau memberatkan—”
“Sttt, apa yang kau katakan, Nak? Kau sama sekali tidak
memberatkan Paman.”
“Kumohon, Paman. Kalau Paman merasa khawatir, Annisa
akan melamar pekerjaan di perusahaan Paman.” Annisa mencoba
meyakinkan pamannya itu.
“Tetap tidak boleh, Nisa. Paman tidak ingin membuat kau susah dan mengkhianati kepercayaan orangtuamu padaku,” Aditama
mencoba menjelaskan pada keponakannya ini.
“Kumohon Paman....” Annisa menatap pamannya dengan wajah
memelas.
“Baiklah,” balas Aditama kemudian, bukanlah hal yang mudah
untuk menentang keponakannya itu.
Annisa tersenyum senang saat mendengar persetujuan
pamannya itu.
“Paman sebaiknya beristirahat, aku tau Paman kelelahan. Jangan
pikirkan apa pun untuk sekarang, aku tidak ingin Paman sakit karena
ini, jangan membantah atau Annisa tidak akan berbicara pada Paman
selama tiga hari,” ancam Annisa yang membuat Aditama tersenyum.
“Baik, Kapten,” balas Aditama sambil memberi hormat, yang
membuat Annisa tertawa begitu pun dengan Aditama.
Setidaknya, Aditama masih punya alasan untuk tertawa yaitu
keponakannya. Keponakan yang lebih mengerti dirinya daripada anak
dan istrinya.
{}
Annisa berjalan sambil menunduk untuk membuat keperluannya
melamar pekerjaan besok. Banyak yang memandangnya sinis bahkan
menunjukkan wajah tak sukanya. Annisa memakai masker untuk
menutupi wajahnya dari para pria yang bahkan dengan terang
terangan memandangnya.
Dia belum terlalu kuat untuk memakai cadar, jadilah dia wanita
setengah bercadar. Memakai masker setiap keluar rumah.
Setelah semuanya selesai Annisa berjalan pulang menuju
rumahnya, dia harus berjalan kaki ke rumahnya karena sangat jarang
angkutan umum akan berhenti untuknya. “Dasar bodoh! Bagaimana bisa kalian kehilangan jejak si
berengsek itu hah??!!!”
Di jalan yang cukup sepi itu Annisa melihat seorang pria tengah
memarahi bodyguardnya di depannya. Dengan kepala menunduk
Annisa mencoba terus berjalan. Tanpa mempedulikan pria itu.
Dor! Dor!
Annisa membeku seketika. Tepat di depannya pria tadi menembak
bahu bodyguardnya itu dengan kejam seolah dia bukan manusia. Dan
tanpa rasa bersalah.
Dengan tergesa-gesa Annisa berjalan ke arah pria yang tertembak
yang kini tengah memegang bahunya mencoba menghentikan darah
yang bercucuran.
Karena panik, Annisa merobek baju bagian bawahnya yang
berlapis dan membalut luka pria tadi dan segera mengambil
handphonenya untuk meminta bantuan medis.
“Hal–”
Panggilan Annisa terhenti seketika saat handphonenya diambil
paksa oleh pria kejam tadi.
“Apa yang ingin kau lakukan, Bitch?? Melaporkan apa yang kau
lihat ke polisi ehh??!”
Annisa menatap tak percaya kepada pria di depannya ini.
“Astaghfirullahaladzim, aku hanya ingin membantu tuan ini, tidak
ada yang lain. Tolong kembalikan handphone saya.”
“Hah ... Tak usah sok berjiwa pahlawan.” Setelah mengatakan
itu pria itu—Darel, melempar handphone Annisa ke arahnya. Tanpa
menunggu lama ia segera menelepon ambulan.
“Awas saja kalau kau membuat masalah pecundang,” Darel
menatap bawahannya itu sekilas dan berjalan hendak pergi. “Kau benar-benar kejam! Di mana hati dan sisi kemanusiaanmu?
Dia seperti ini kau yang menembaknya! Tidakkah kau merasa harus
menyembuhkannya atau meminta maaf? Di mana hatimu itu, Tuan?”
Annisa bersuara keras ke arah Darel dengan wajah tak percaya.
Darel hanya mengangkat alisnya dan pergi menjalankan mobilnya
dengan kencang mengejar pria yang membuatnya kesal dan berniat
membunuh orang.
Sedangkan Annisa masih menatap ke arah kepergiaan Darel
dengan wajah tak percaya lagi.
Bagaimana ada orang seperti itu?
“Aghhh.”
Annisa menoleh seketika melihat pria yang tertambak tadi
dengan raut khawatir.
“Bersabarlah sebentar, bantuan akan segera datang.” Annisa
mencoba menenangkan pria di depannya ini.
“Tidak, aku tidak mau ke rumah sakit. Kalau mau benar benar
berniat membantu kutolong jalankan mobil itu ke tempat yang aku
arahkan,” ucap pria itu menahan sakit di bahunya yang membuat
Annisa mengerutkan keningnya heran.
“Tapi lukamu harus dibawa ke rumah sakit.” Annisa mencoba
meyakinkan.
“Kumohon, bila kau berniat membantuku, maka lakukan apa
yang kuminta. Atau aku akan menjalankan mobil itu sendiri,” ucap pria
itu hendak pergi.
“Baiklah baiklah, kalau itu maumu.” Annisa masuk ke dalam mobil,
dia tak mau membantu pria itu masuk ke dalam mobil, dia hanya
membukakan pintunya tadi.
Annisa mengemudikan mobil dengan sedikit cepat, wajah pria di sampingnya ini mulai pucat.
“Kenapa dia menembakmu? Apa kau seorang penjahat?” tanya
Annisa penasaran.
“Aku supirnya, tadi kami sedang memburu penjahat dan aku
kehilangan pria itu,” jawab pria itu lemah.
“Hanya karena itu?” Mulut Annisa mengangga seketika.
Beruntunglah pada masker yang dia pakai hingga tak membuatnya
terlihat konyol.
“Itu memang kesalahanku,” balas pria itu lagi.
“Tapi dia tak seharusnya melakukan hal itu padamu, dia benar
benar kejam dan–”
“Belok kiri,” potong pria itu, dan Annisa dengan patuh berbelok
ke kiri.
“Kita sudah sampai,” kata pria itu membuat Annisa berhenti di
depan rumah megah bergaya eropa dengan cat berwarna putih.
“Ini rumahmu?” tanya Annisa saat dia sudah memberhentikan
mobilnya di halaman luas rumah ini.
“Bukan, rumah tuan Darel.”
“Darel??” tanya Annisa berkerut.
“Tuanku, orang yang menembakku tadi,” balas pria itu santai dan
segera keluar.
Darel?? Annisa merasa pernah mendengar nama itu, tapi kapan?
Sekarang dia meruntuki ingatannya yang buruk.
“Terima kasih sudah mengantarku, Nona, aku sudah
memanggilkan taxi untukmu,” ucap pria itu seraya menunjuk taxi di
depan pagar rumah itu.
Annisa tersadar seketika dari mencari serpihan ingatannya
tentang orang bernama Darel ini.
“Tak masalah, semoga cepat sembuh, Tuan.” Pria itu hanya mengangguk lalu masuk ke rumah itu. Annisa berjalan pelan menuju
taxi yang dipesankan pria itu.
Detik berikutnya dia baru ingat akan orang yang bernama Darel.
Darel, pria yang sangat terkenal kejam, dia bahkan sering
membunuh rekan bisnisnya karena tidak membayar utang. Bahkan ada
beberapa orang yang menganggap dia seorang iblis tak punya hati.
Perkataan pamannya itu terngiang di telinga Annisa.
Jadi dia Darel sang pria kejam itu, aku sudah bertemu dengan pria
kejam itu.
Annisa bergidik sendiri membayangkannya.
Benar kata paman, dia sangat kejam dan mengerikan. Dia
sanggup membunuh orang. Ya Rabb, semoga hambamu ini tak pernah
bertemu dengan pria itu lagi. Doa Annisa dalam hati yang entah akan
terkabul atau sebaliknya.
{}
Setelah beberapa menit, tibalah Annisa di rumah pamannya ini.
Dia langsung keluar dengan tergesa-gesa. Jujur saja, dia masih syok
sekarang. Di otaknya terus berputar tentang betapa kejamnya seorang
Darel.
Bruk!
“Astaghfirullahaladzim.” Annisa mendongak ke depan, ternyata
dia menabrak pamannya sendiri.
“Kau kenapa, Nak?” Aditama membantu keponakannya itu berdiri,
lalu membersihkan pakaiannya dari rerumputan.
“Ta ... Tadi ... An ... Annisa–” Annisa bicara terbata-bata karena
gugup.
“Tarik napas, lalu embuskan.”
Annisa mengikuti instruksi pamannya itu segera. Melihat Annisa yang sedikit tenang, Aditama mengiring keponakannya itu untuk ke
taman belakang, di sana terdapat empat kursi dan meja bundar.
“Katakan ada apa, Nak?” Aditama menatap Annisa bertanya.
“Tadi, Annisa ketemu dengan ... Darel.” Mata Aditama membulat
seketika lalu mulai memeriksa tubuh keponakannya itu.
“Apa dia menyakitimu, Nak? Dia melakukan apa padamu? Bagian
mana yang sakit??! Ayo kita ke rumah sakit.” Aditama berdiri hendak
menarik keponakannya itu.
“Tidak, Paman. Annisa baik-baik saja. Paman jangan khawatir.”
Aditama duduk kembali melihat keponakannya itu benar-benar
tampak baik-baik saja.
“Bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?” tanya Aditama
penasaran.
Annisa menceritakan semuanya runtut dari mulai tembakan yang
terjadi sampai dia mengantar supir yang tertembak tadi.
Aditama menghela napas setelahnya, dia pikir keponakannya ini
yang bermasalah dengan si kejam Darel.
“Syukurlah bukan kau yang bermasalah dengan pria kejam itu.”
Aditama mengenggam tangan Annisa.
“Dia benar-benar pria kejam,” komentar Annisa tanpa sadar.
“Dia memang seperti itu, entah apa yang membuatnya seperti itu.
Banyak rumor yang beredar dia menjadi sangat kejam karena ibunya.”
“Kenapa dengan ibunya?” Segelitik rasa penasaran merasuki hati
Annisa.
“Ada yang bilang dia tak mendapat kasih sayang seorang ibu
semenjak lahir.”
Annisa mengangguk-angguk mendengar hal itu, tapi tetap saja
pikir Annisa, itu tak harus menjadikannya dia menjadi iblis seperti itu.
“Yang terpenting kau tidak bertemu dengan dia lagi, Nak, dan jangan coba-coba berurusan dengan pria kejam itu.”
Annisa mengangguk mengiyakan perkataan pamannya.
“Soal pekerjaan, kalau kamu tetap ingin bekerja, di kantor paman
ada lowongan. Mereka sudah menyiapkan semuanya untukmu.”
Mata Annisa berbinar senang mendengar perkataan pamannya
itu.
“Benarkah?? Tapi, bukankah perusahaan itu bukan milik paman
lagi.”
“Memang, tapi Tuan Darel tetap mengizinkan paman dan
keluarga Paman yang hendak bekerja di perusahaan itu.”
Annisa mengangguk mengerti.
Dia cukup baik, kalau orang lain pasti paman sudah dimasukkan
ke penjara atau dikuliti. Detik berikutnya Annisa memukul kepalanya
sendiri, sejak kapan dia memikirkan pria...
“Kau kenapa, Nak?” Aditama menatap Annisa heran.
“Eh ... Tidak, Nisa sedikit pusing,” kilahnya.
“Kalau begitu sebaiknya kau masuk, besok hari pertamamu
bekerja, kau harus sehat dan semangat.”
“Tentu, Paman.” Annisa tersenyum dan berlalu ke kamarnya.
Sesampainya di kamarnya dia menatap ke arah jendela,
Semoga aku tidak pernah berurusan dengan pria itu lagi, atau
bahkan bertemu dengannya. Doa Annisa dalam hati. Entahlah apakah
doanya terkabul atau tidak, semuanya sudah diatur oleh Allah.
{}
Musim dingin belum berganti di kota New York. Kota itu
tetap sama, dingin. Bahkan cuaca pagi ini jauh terasa lebih dingin,
kebanyakan orang mungkin akan lebih memilih bergelung di bawah
selimut tebal menghangatkan tubuh. Sangat berbeda dengan Annisa, gadis itu sudah sangat rapi. Dia
tengah menyusun makanan di meja yang ia masak tadi.
“Semangat sekali.”
Annisa mendongak ke arah depan di mana suara berasal, dia
tersenyum dengan manis saat melihat pamannya tengah berjalan ke
arahnya.
“Tentu saja, Annisa akan mulai bekerja hari ini,” balas Annisa
dengan senyum manisnya.
“Sebenarnya, Paman masih tidak ingin kalau Nisa kerja.”
Annisa tersenyum ke arah Aditama dan mengenggam tangannya.
“Annisa mau membantu Paman. Annisa akan baik baik saja.”
“Tentu saja dia harus bekerja, sudah cukup kita menghidupinya
hingga bangkrut seperti ini.”
Annisa menunduk seketika ketika mendengar suara bibinya.
“Farah, kau tidak boleh bicara seperti itu, ini semua bukan salah
Annisa.”
“Bela saja Annisa terus, Dad, kami memang tak ada artinya di
mata Daddy.”Carry menatap sebal ke arah Aditama.
“Momy benar, ini semua karena si pembawa sial Annisa.” Annisa
menundukkan kepalanya.
“Kita bukan orang zaman jahilia, jangan percaya akan kesialan.”
Aditama mencoba menjelaskan pada Anak dan Istrinya.
“Halah! Memang dia pembawa sial.” Farah berjalan ke meja makan
dan mulai memakan makanan yang ada di sana.
Farah dan Carry memang tidak menggunakan kerudung dan tak
terlalu bisa tentang Agama. Bahkan mereka memakai pakaian yang
terkesan Sexy. Aditama pun bukanlah pria yang pandai Ilmu agama
tadinya, tapi semenjak ada Annisa, dia belajar sedikit demi sedikit dengan keponakannya itu. Sedangkan Farah dan Carry mereka tak
mau sama sekali belajar.
“Annisa, ayo makan bersama.” Aditama membimbing
keponakannya itu ke meja makan. Annisa berhenti seketika saat
melihat mata tajam Farah mengarah kepadanya.
“Annisa ... Annisa mau siapin dokumen Annisa dulu, Paman,
nanti kalau sudah Annisa ikutan makan.” Annisa perlahan melepas
genggaman tangan pamannya dan berlari ke kamarnya.
Mana mungkin dia makan bersama mereka. Yang ada bibinya
akan pergi dan akan terjadi pertengkaran lainnya.
Setelah cukup lama Annisa keluar, memasukkan makanan ke
kotak makan dan keluar menemui Aditama yang sudah menunggunya.
{}
“Sayang, ini pak Erick, dia akan membawamu ke tempatmu
bekerja.” Aditama mengenalkan seseorang pada Annisa. Annisa hanya
menangkupkan tangannya di dada dan tersenyum.
Pria berkulit putih dengan kacamata itu hanya tersenyum lalu
menuntun Annisa ke ruangannya.
“Kau, putri kedua tuan Aditama?” tanya pria itu memecah
keheningan di antara mereka.
“Bukan, aku keponakannya,” jawab Annisa seraya menundukkan
kepala.
Ting!
Lift seketika terbuka, Annisa keluar dan mengikuti langkah Erick
menuju ke ruangannya.
Setelah sampai Annisa sedikit berkenalan dengan mereka
dan mulai bekerja. Walaupun ini bukan jurusannya, tapi dia akan
sekuat tenaga mempelajarinya. Annisa kuliah di jurusan sastra, dan sekarang dia bekerja di divisi keuangan. Entah kenapa dia bisa di sini.
Annisa memejamkan matanya dan mulai bekerja. Dia percaya Allah
bersamanya.
“Rapikan pakaian kalian! Pemilik baru perusahaan ini akan
berkunjung untuk melihat-lihat!” Annisa mendongak seketika, dia
melihat wajah khawatir mereka. Pemilik baru perusahaan ini?? Sudah
pasti itu Darel.
Sepertinya, aku akan bertemu dengan pria kejam itu lagi, semoga
tidak ada masalah yang terjadi. Annisa berdoa dalam hati
Derap langkah kaki pria dengan tegas memasuki ruangan
mereka. Entah kenapa jantung Annisa berdetak dua kali lebih cepat.
Pasti semua orang di divisi ini pun sama dengannya.
Krakk ...
Srett ...
“Menjijikkan! Aku benci bau parfum jalangmu itu! Keluar dari
perusahaan ini!”
Annisa lagi-lagi menatap tak percaya ke arah Darel. Pria itu
merobek baju wanita itu hanya karena parfum?
Beruntung aku tidak memakai parfum. Annisa mengucapkan
syukur di hatinya, sedangkan yang lain mulai resah parfum mereka
semua mungkin akan jadi masalah.
Tapi di luar dugaan, Darel berlalu pergi ke ruangannya tanpa
mempedulikan mereka lagi.
Dia hanya benci wangi parfum wanita itu, bukan semuanya, pikir
Annisa dalam hati.
Tapi kenapa dengan parfum wanita itu?
{}
Darel melangkah ke ruangannya dengan rahang mengeras Seingatnya dia sudah menghancurkan perusahaan parfum yang
dipakai karyawannya tadi, kenapa dia masih memilikinya?
Parfum itu membuatnya muak dan benci seketika, karena itu
akan mengingatkannya pada ibunya. Ibunya selalu memakai parfum
seperti itu, sepele memang, tapi itu menghadirkan kembali rasa benci
di hatinya.
Mengabaikan sakit di hatinya Darel mulai mencoba fokus pada
pekerjaannya, dia membaca laporan tentang perusahaan barunya ini,
dan mulai merencanakan perubahan di sana sini.
Tak terasa kini jam di tangan mulai menunjukkan pukul 16.00,
dengan cepat dia berjalan ke luar ruangannya.
“Apa Tuan langsung ingin pulang?” tanya salah satu bodyguardnya.
“Tidak, aku ingin melihat lihat perusahaan ini dulu.” Darel
menjawab dingin dan mulai berkeliling. Hingga di area taman.
Bismillāhir rahmānir rahīm
Darel menoleh seketika saat mendengar suara lembut yang
menenangkan hati itu. Dadanya seketika bergetar hebat. Suara
seorang gadis yang selama ini sering kali mengusik pikirannya. Dengan
berlari dia menyusuri lorong panjang terus mengejar suara indah dan
merdu itu. Hingga sampailah dia di taman belakang dan menemukan
seorang gadis berkerudung panjang tengah membelakangi dirinya.
Sama seperti sebelumnya, gadis itu berhenti saat Darel berada
di depannya. Sedangkan gadis itu– Annisa, merasa deja vu akan
perasaan ini. Dia pernah merasakan perasaan aneh di hatinya saat
melihat seorang pria yang berdiri di hadapannya ini kala dia membaca Al-Qur’an.
“Maaf bila saya menganggu ketenangan Anda,” balas Annisa
sambil menundukkan kepalanya makin dalam. Jantung Annisa makin
berdetak kencang saat menyadari bahwa mereka hanya berdua.
Dengan menunduk kian dalam Annisa berjalan hendak pergi dari
pria itu.
Grep!
Mata Annisa membelalak seketika saat pria itu mengenggam
tangannya. Dengan sedikit keras Annisa berusaha menepis tangan
pria itu. Tapi apalah daya tenaga seorang wanita seperti dirinya.
Dengan kekuatan penuh Annisa membalikkan badannya menghadap
pria itu dan mulai menghempaskan tangan pria itu keras.
Baru di saat itulah wajah lembut dan ayunya dilihat oleh Darel.
Mata Darel terbelalak seketika, menatap wajah Annisa tak percaya.
Bahkan kini wajahnya mulai pucat pasih.
Sedangkan Annisa masih mengusap tangannya yang sedikit
memar. Setelah beberapa menit Annisa mulai mendonggak melihat
pria yang dengan kurang ajarnya mengenggam tangannya tadi.
Sama seperti pria di depannya, Annisa pun terkejut, tak
disangkanya bahwa dia akan bertatap muka lagi dengan Darel. Waktu
itu dia memang pernah bertatap muka dengan pria ini, tapi saat itu
Annisa menggunakan masker. Tapi sekarang dia tak menggunakan
apa-apa untuk menutupi wajahnya.
Tangan Darel mulai terkepal erat, rahangnya mengeras seketika.
Annisa yang melihat kemarahan di wajah Darel menundukkan kepala
seketika.
Annisa pikir, pria ini marah padanya karena kejadian kemarin dia
membentak pria ini.
"Ma ... Maafkan saya, say—”
“Annisa.”
Annisa dan Darel menoleh seketika ke arah sumber suara. Terlihat
Aditama menatap Annisa khawatir. Darel mengerutkan keningannya
seketika.
“Tu ... Tuan Darel, tolong maafkan keponakan saya, di ... Dia tidak
tau apa yang dia lakukan, tolong ampuni dia.”
Darel menatap pria paruh bayah itu datar, tapi otaknya bekerja
dengan cepat.
Keponakan? Darel menyeringai seketika saat menyadari semua
itu. Dengan tenang Darel melewati Annisa dan Aditama.
“Cari semua informasi tentang Annisa,” perintah Darel pada
tangan kanannya. Bibirnya tersenyum seperti seorang iblis, hanya dia
dan Allah yang tahu apa yang ada di kepalanya tentang Annisa