Suaranya...

992 Words
Cuaca dingin di kota New York begitu menusuk badan sampai ke tulang. Gadis dengan kerudung panjang, baju muslimah berwarna hitam itu berjalan santai melawan dinginnya cuaca yang begitu menusuk. Kakinya melangkah ke arah satu-satunya yang bisa disebut masjid di sana. Memang bentuk bangunannya tak seperti masjid, namun penggunaaannya sama seperti masjid. Setelah mengikuti kajian, ruangan yang cukup luas itu kosong, tak ada orang lain di sana, kecuali sang pengurus yang berada di belakang. Tangannya mulai membuka lembaran kitab suci Al-Qur’an. Mata dan bibirnya mulai berkolaborasi membaca ayat-ayat indah yang ada di dalamnya. Suaranya yang merdu mampu membuat orang memejamkan mata ingin menikmati setiap detik suara itu. Sedangkan di luar, hujan mulai turun dengan deras, seorang pria yang berjalan ke arah mobilnya yang cukup jauh mulai merasakan tetesan air hujan. Dengan tergesa-gesa kakinya melangkah ke arah gedung yang terlihat seperti gedung biasa. Kakinya melangkah masuk, berniat membersihkan sepatunya yang terkena lumpur. Kaki nya melangkah lebih dalam matanya menangkap ruangan yang penuh dengan tulisan arab, di sana hanya ada karpet dengan gambaran bangunan dengan bundaran di atasnya dan sebuah bulan dan bintang. Setelah membersihkan sepatunya, dan cuci tangan dia menatap ke arah jendela yang hujan. Matanya yang tajam bak elang meneduh kala melihat hujan. Bismillāhir rahmānir rahīm اَلرَّحْمٰنُۙ عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ Sayup sayup dia mendengar suara merdu dengan bahasa asing yang tak pernah ia dengar. Kakinya melangkah mengikuti suara yang ia dengar, satu pertanyaan dalam hatinya. Suara siapa? Bukankah aku sendiri di sini? Makin dekat suara yang ia dengar makin jelas nan merdu, hingga mata tajamnya melihat gadis yang tengah duduk sedikit membungkuk, kepalanya tertutup kain panjang, wajahnya yang menunduk, tak dapat ia lihat. Saat dia sudah tepat di depan gadis pemilik suara merdu yang ia dengar. Tiba-tiba dia berhenti membaca, matanya melihat wajah pria di hadapannya lewat pantulan keramik, hanya tiga detik setelah itu, dia makin menundukkan kepalanya. “Suaramu berisik!” Darel menggigit lidahnya sendiri saat mengatakan kata itu, sesungguhnya di dalam hatinya dia ingin mengatakan ‘kenapa berhenti?’ tapi egonya memimpin duluan. Gadis berkerudung hitam itu–Annisa, makin menunduk, tangannya mulai menutup Al-Qur’an di hadapannya mencium dan mendekapnya di dada. “Maaf bila sudah menganggu.” Suara Annisa sangat pelan, hingga seperti berbisik. Hanya itu lalu dia melangkah pergi, dengan menundukkan kepala dengan wajahnya ia tutupi dengan bagian kerudungnya. Ia berjalan cepat menuju pintu dan berlari menerobos hujan yang dinginnya sampai ke tulang. Pria dengan tatapan menakutkan itu sedikit terperangah. Apa ia begitu menyakiti hati wanita itu? Kenapa dia menutup wajahnya? Apa dia sangat jelek? Dan pertanyaan terbesar di benaknya, kenapa dia tak ingin menunggu hujan reda bersamanya? Mengabaikan semua itu, dia menunggu hujan hingga reda dan kembali ke mobilnya. {} Annisa berlari menerobos hujan, daripada berduaan dengan pria tadi di masjid, lebih baik dia menembus dinginnya hujan, karena dia lebih takut akan panasnya api neraka daripada dinginnya hujan. Setelah sampai di rumahnya, dia langsung masuk ke dalam kebetulan pintu tak tertutup. Kakinya melangkah dengan cepat menuju kamar, di pikirannya dia hanya ingin mengganti pakaian, dingin yang dia rasakan mulai menusuk-nusuk. “Bagaimana ini, Pa, aku tidak mau miskin!” Annisa berhenti melangkah, ia melihat ke arah ruang keluarga. “Aku sudah tak sanggup membayar semua utang, Bu.” Paman Annisa menundukkan kepala lemah. Bibi, dan sepupunya pun kini menunduk lemah. “Ada apa? Apa yang terjadi?” Annisa berjalan ke arah ‘keluarga’. nya. Bibi Annisa—Farah, dan Carry—kakak sepupunya, menatap Annisa tajam. Raut tak suka mereka membuat Annisa meremas tangannya sendiri. “Perusahaan Paman bangkrut, Nisa,” Aditama berucap lemah. “Astaghfirullahhalazim, bagaimana bisa?” Annisa menatap pamannya itu bertanya. “Ada yang menipu Paman, mereka membawa kabur semua uang yang ada, dan sebagian mereka banyak yang korupsi.” Annisa menutup mulutnya tak percaya. Ini pertama kalinya mereka dalam titik di ambang kehancuran. “Ini karena anak pembawa sial sepertimu.” Farah menunjuk wajah Annisa. “Ma, ini tidak ada hubungannya dengan Annisa. Dia tidak salah apa-apa,” bela Aditama. “Papa kenapa sih bela dia terus?! Bener kata Mama, dia itu pembawa sial!” Carry berucap sebal. “Nisa, ke atas dan ganti bajumu.” Annisa hanya mengangguk, dan berjalan ke atas menuruti perintah pamannya. Dingin yang dia rasakan kini sudah tak terasa, pikirannya berkecamuk. Bagaimana keadaan keluarganya nanti? Keadaan mereka bisa menghadapi masa sulit ini?? Setelah sholat isya’ Annisa berjalan ke arah balkon. Matanya menerawang menatap halamannya yang indah. Kalau pamannya bangkrut maka hilanglah semua keindahan ini. Apa aku memang membawa nasib buruk? Kenapa semua yang dekat denganku selalu hancur? Kedua orangtuaku meninggal. Apakah paman akan bangkrut karenaku?? “Annisa, kenapa belum tidur, Nak?” Annisa terperanjat, tersadar akan pikiran buruk di kepalanya. “Annisa, Annisa .... “ Mata Annisa sudah berkaca-kaca kini. Aditama mendekati keponakannya itu, dan langsung memeluknya erat. “Bukan salahmu, ini kesalahan Paman sendiri karena terlalu ceroboh.” Tentu Aditama tahu apa yang dipikirkan Annisa, bukan kali ini saja gadis itu menyalahkan dirinya sendiri, dulu pun pernah terjadi. Karena itu dia sangat menyayangi keponakannya ini melebihi anaknya. “Maafkan Annisa, Paman, Ini semua kar—” “Ini semua bukan salah Annisa,” potong Aditama pada keponakannya itu. “Jangan menangis lagi ok, siapa yang bisa membuat pamanmu ini semangat kalau kau sudah seperti ini, Hmm.” Pamannya itu menangkup wajah lembut Annisa. Annisa menampilkan senyum manisnya, mencoba meyakinkan pamannya. “Apa tindakan Paman selanjutnya?” “Paman juga masih bingung, Nak, belum lagi utang perusahaan dengan tuan Darel. Dia bisa berbuat jahat pada keluarga ini kalau tidak segera dibayar.” Aditama bersuara sendu, dan suaranya seolah￾olah tenggelam. “Darel??” “Iya Darel, pria yang sangat terkenal kejam, dia bahkan sering membunuh rekan bisnisnya karena tidak membayar utang.” Annisa bergidik membayangkan pria kejam itu. “Astaghfirullahaladzim. Apa dia semengerikan itu??” Annisa bertanya takut-takut. “Tentu saja, dia lebih daripada mengerikan. Bahkan ada beberapa orang yang menganggap dia seorang iblis tak punya hati.” “Aku sangat takut dengan orang seperti itu, Paman, semoga saja kami tidak pernah bertemu.” Do’a Annisa sungguh-sungguh. “Paman juga berharap, kalau kau tidak akan mendapat masalah dengan pria itu. Paman akan melindungimu dari orang itu sekuat tenaga.” Aditama membelai pipi keponakannya itu. Di hati Annisa, dia juga berdoa agar dia tak pernah bertemu pria yang namanya Darel. Dan sebenarnya, tanpa dia tahu. Dia sudah bertemu dengan Darel, karena suaranya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD