Cuaca dingin di kota New York begitu menusuk badan sampai
ke tulang. Gadis dengan kerudung panjang, baju muslimah berwarna
hitam itu berjalan santai melawan dinginnya cuaca yang begitu
menusuk. Kakinya melangkah ke arah satu-satunya yang bisa disebut
masjid di sana. Memang bentuk bangunannya tak seperti masjid,
namun penggunaaannya sama seperti masjid.
Setelah mengikuti kajian, ruangan yang cukup luas itu kosong,
tak ada orang lain di sana, kecuali sang pengurus yang berada di
belakang.
Tangannya mulai membuka lembaran kitab suci Al-Qur’an. Mata
dan bibirnya mulai berkolaborasi membaca ayat-ayat indah yang
ada di dalamnya. Suaranya yang merdu mampu membuat orang
memejamkan mata ingin menikmati setiap detik suara itu.
Sedangkan di luar, hujan mulai turun dengan deras, seorang pria
yang berjalan ke arah mobilnya yang cukup jauh mulai merasakan
tetesan air hujan. Dengan tergesa-gesa kakinya melangkah ke arah gedung yang terlihat seperti gedung biasa.
Kakinya melangkah masuk, berniat membersihkan sepatunya
yang terkena lumpur. Kaki nya melangkah lebih dalam matanya
menangkap ruangan yang penuh dengan tulisan arab, di sana hanya
ada karpet dengan gambaran bangunan dengan bundaran di atasnya
dan sebuah bulan dan bintang.
Setelah membersihkan sepatunya, dan cuci tangan dia menatap
ke arah jendela yang hujan. Matanya yang tajam bak elang meneduh
kala melihat hujan.
Bismillāhir rahmānir rahīm
اَلرَّحْمٰنُۙ
عَلَّمَ الْقُرْاٰنَۗ
Sayup sayup dia mendengar suara merdu dengan bahasa asing
yang tak pernah ia dengar. Kakinya melangkah mengikuti suara yang
ia dengar, satu pertanyaan dalam hatinya. Suara siapa? Bukankah aku
sendiri di sini?
Makin dekat suara yang ia dengar makin jelas nan merdu,
hingga mata tajamnya melihat gadis yang tengah duduk sedikit
membungkuk, kepalanya tertutup kain panjang, wajahnya yang
menunduk, tak dapat ia lihat.
Saat dia sudah tepat di depan gadis pemilik suara merdu yang ia
dengar. Tiba-tiba dia berhenti membaca, matanya melihat wajah pria
di hadapannya lewat pantulan keramik, hanya tiga detik setelah itu,
dia makin menundukkan kepalanya.
“Suaramu berisik!” Darel menggigit lidahnya sendiri saat
mengatakan kata itu, sesungguhnya di dalam hatinya dia ingin
mengatakan ‘kenapa berhenti?’ tapi egonya memimpin duluan. Gadis berkerudung hitam itu–Annisa, makin menunduk,
tangannya mulai menutup Al-Qur’an di hadapannya mencium dan
mendekapnya di dada.
“Maaf bila sudah menganggu.” Suara Annisa sangat pelan,
hingga seperti berbisik. Hanya itu lalu dia melangkah pergi, dengan
menundukkan kepala dengan wajahnya ia tutupi dengan bagian
kerudungnya. Ia berjalan cepat menuju pintu dan berlari menerobos
hujan yang dinginnya sampai ke tulang.
Pria dengan tatapan menakutkan itu sedikit terperangah. Apa ia
begitu menyakiti hati wanita itu? Kenapa dia menutup wajahnya? Apa
dia sangat jelek? Dan pertanyaan terbesar di benaknya, kenapa dia tak
ingin menunggu hujan reda bersamanya?
Mengabaikan semua itu, dia menunggu hujan hingga reda dan
kembali ke mobilnya.
{}
Annisa berlari menerobos hujan, daripada berduaan dengan pria
tadi di masjid, lebih baik dia menembus dinginnya hujan, karena dia
lebih takut akan panasnya api neraka daripada dinginnya hujan.
Setelah sampai di rumahnya, dia langsung masuk ke dalam
kebetulan pintu tak tertutup. Kakinya melangkah dengan cepat
menuju kamar, di pikirannya dia hanya ingin mengganti pakaian,
dingin yang dia rasakan mulai menusuk-nusuk.
“Bagaimana ini, Pa, aku tidak mau miskin!”
Annisa berhenti melangkah, ia melihat ke arah ruang keluarga.
“Aku sudah tak sanggup membayar semua utang, Bu.” Paman
Annisa menundukkan kepala lemah. Bibi, dan sepupunya pun kini
menunduk lemah.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” Annisa berjalan ke arah ‘keluarga’. nya.
Bibi Annisa—Farah, dan Carry—kakak sepupunya, menatap
Annisa tajam.
Raut tak suka mereka membuat Annisa meremas tangannya
sendiri.
“Perusahaan Paman bangkrut, Nisa,” Aditama berucap lemah.
“Astaghfirullahhalazim, bagaimana bisa?” Annisa menatap
pamannya itu bertanya.
“Ada yang menipu Paman, mereka membawa kabur semua uang
yang ada, dan sebagian mereka banyak yang korupsi.”
Annisa menutup mulutnya tak percaya. Ini pertama kalinya
mereka dalam titik di ambang kehancuran.
“Ini karena anak pembawa sial sepertimu.” Farah menunjuk wajah
Annisa.
“Ma, ini tidak ada hubungannya dengan Annisa. Dia tidak salah
apa-apa,” bela Aditama.
“Papa kenapa sih bela dia terus?! Bener kata Mama, dia itu
pembawa sial!” Carry berucap sebal.
“Nisa, ke atas dan ganti bajumu.”
Annisa hanya mengangguk, dan berjalan ke atas menuruti
perintah pamannya.
Dingin yang dia rasakan kini sudah tak terasa, pikirannya
berkecamuk. Bagaimana keadaan keluarganya nanti? Keadaan mereka
bisa menghadapi masa sulit ini??
Setelah sholat isya’ Annisa berjalan ke arah balkon. Matanya
menerawang menatap halamannya yang indah. Kalau pamannya
bangkrut maka hilanglah semua keindahan ini.
Apa aku memang membawa nasib buruk? Kenapa semua yang dekat denganku selalu hancur? Kedua orangtuaku meninggal. Apakah
paman akan bangkrut karenaku??
“Annisa, kenapa belum tidur, Nak?” Annisa terperanjat, tersadar
akan pikiran buruk di kepalanya.
“Annisa, Annisa .... “
Mata Annisa sudah berkaca-kaca kini.
Aditama mendekati keponakannya itu, dan langsung
memeluknya erat.
“Bukan salahmu, ini kesalahan Paman sendiri karena terlalu
ceroboh.”
Tentu Aditama tahu apa yang dipikirkan Annisa, bukan kali ini saja
gadis itu menyalahkan dirinya sendiri, dulu pun pernah terjadi. Karena
itu dia sangat menyayangi keponakannya ini melebihi anaknya.
“Maafkan Annisa, Paman, Ini semua kar—”
“Ini semua bukan salah Annisa,” potong Aditama pada
keponakannya itu. “Jangan menangis lagi ok, siapa yang bisa membuat
pamanmu ini semangat kalau kau sudah seperti ini, Hmm.” Pamannya
itu menangkup wajah lembut Annisa.
Annisa menampilkan senyum manisnya, mencoba meyakinkan
pamannya.
“Apa tindakan Paman selanjutnya?”
“Paman juga masih bingung, Nak, belum lagi utang perusahaan
dengan tuan Darel. Dia bisa berbuat jahat pada keluarga ini kalau
tidak segera dibayar.” Aditama bersuara sendu, dan suaranya seolaholah tenggelam.
“Darel??”
“Iya Darel, pria yang sangat terkenal kejam, dia bahkan sering
membunuh rekan bisnisnya karena tidak membayar utang.” Annisa bergidik membayangkan pria kejam itu.
“Astaghfirullahaladzim. Apa dia semengerikan itu??” Annisa
bertanya takut-takut.
“Tentu saja, dia lebih daripada mengerikan. Bahkan ada beberapa
orang yang menganggap dia seorang iblis tak punya hati.”
“Aku sangat takut dengan orang seperti itu, Paman, semoga saja
kami tidak pernah bertemu.” Do’a Annisa sungguh-sungguh.
“Paman juga berharap, kalau kau tidak akan mendapat masalah
dengan pria itu. Paman akan melindungimu dari orang itu sekuat
tenaga.”
Aditama membelai pipi keponakannya itu.
Di hati Annisa, dia juga berdoa agar dia tak pernah bertemu pria
yang namanya Darel.
Dan sebenarnya, tanpa dia tahu. Dia sudah bertemu dengan
Darel, karena suaranya.