Dante menginjak rem dengan halus saat mobilnya memasuki area mansion keluarga Bramasta. Di bawah cahaya lampu taman yang temaram, rumah megah itu berdiri kokoh, memancarkan kemewahan dan kehangatan yang seolah bertolak belakang dengan apa yang dirasakan Salina saat ini.
Di depan pintu masuk, Papi Bram—Agam Bramasta—dan Mami Rere sudah menunggu. Seperti biasa, penampilan mereka rapi dan berkelas. Agam Bramasta dengan setelan abu-abu gelap yang membuatnya terlihat lebih berwibawa, sementara Mami Rere tampak anggun dalam gaun elegan berwarna biru safir, rambutnya disanggul rapi, dan perhiasan berlian di pergelangan tangannya berkilauan setiap kali terkena cahaya.
Dante keluar lebih dulu, lalu beralih ke sisi lain mobil untuk membuka pintu bagi Salina. Sungguh permainan peran yang luar biasa. Ya, beginilah mereka selama dua tahun ini. Di depan semua orang, pernikahan mereka terlihat sempurna. Mereka adalah pasangan yang serasi, seolah saling menyayangi dan tak terpisahkan. Tapi hanya mereka yang tahu bahwa semua itu tak lebih dari sandiwara yang melelahkan.
Salina melangkah keluar, membiarkan Dante menutup pintu mobil di belakangnya. Tanpa ragu, pria itu meraih pinggangnya dengan sikap posesif yang sudah sangat dikenalnya. Sikap yang selama ini hanya ditunjukkan di hadapan orang lain.
“Salina, sayang… kemarilah.” Mami Rere merentangkan tangan, dan Salina segera membalas pelukan hangat itu. Jika ada yang bisa membuatnya bertahan sejauh ini, mungkin hanya karena kasih sayang tulus dari kedua mertuanya.
“Bagaimana kabarmu, Nak?” Papi Bram bertanya, suaranya rendah dan penuh wibawa.
“Baik, Pi,” jawab Salina sopan.
“Bagus,” pria paruh baya itu mengangguk, sebelum matanya beralih ke putra sulungnya. “Dan kamu, Dante? Jangan bilang kamu masih tenggelam dalam pekerjaan seperti biasa.”
Dante tersenyum tipis. “Saya selalu punya waktu untuk keluarga.”
Baru saja suasana terasa hangat, suara bariton lain memecah kebersamaan mereka.
“Aku pulang.”
Semua kepala menoleh hampir bersamaan.
Di sana, berdiri seorang pria yang wajahnya begitu familiar. Struktur wajahnya hampir identik dengan Dante, hanya saja ada sedikit perbedaan mencolok—tubuhnya sedikit lebih tinggi. Mata hitamnya menatap tajam dengan ekspresi santai, bibirnya membentuk seringai kecil yang khas.
Denta Attala Bramasta.
Si kembar yang berbeda dalam banyak hal.
Dante dengan aura dingin dan dominannya. Sementara Denta, lebih santai, lebih ekspresif, dan sering kali lebih menyebalkan.
“Kejutan.” Denta melangkah mendekat, tatapannya berpindah dari Dante ke Salina. “Dan kau masih tetap di sini, Salina. Aku pikir kau sudah bosan bermain peran.”
Salina mengerjapkan mata, tak tahu harus merespons bagaimana.
Sementara itu, Dante hanya meremas pinggangnya sedikit lebih erat, menegaskan sesuatu yang bahkan tak perlu diucapkan.
***
Suasana ruang makan terasa hangat, jauh lebih akrab dibanding ketegangan yang sempat terasa sebelumnya. Meja panjang dengan hidangan mewah tersaji di atasnya. Lilin-lilin kecil menerangi meja makan, menambah kesan intim di antara keluarga Bramasta.
Mami Rere, seperti biasa, menjadi pusat kehangatan. Perempuan itu selalu punya cara untuk membuat suasana makan malam terasa nyaman. Pandangannya beralih pada putra bungsunya yang baru saja kembali dari Swiss.
“Denta, kapan kamu menyusul abangmu menikah?” tanyanya dengan nada menggoda.
Denta yang sedang menyendok supnya hanya mengangkat bahu. “Belum ketemu orangnya, Mi.”
Papi Bram yang sedari tadi diam akhirnya ikut bersuara. “Kalau begitu, bagaimana kalau Papi jodohkan kamu dengan anaknya Altair?”
Denta yang tengah meneguk air langsung tersedak. “Papi becanda?” tanyanya, menatap Bram dengan ekspresi kaget.
Dante, yang sejak tadi hanya menyimak, menyeringai sinis. “Lo masih sibuk nyari perempuan yang dua tahun ini ngganggu pikiran lo?”
Denta sontak menoleh tajam ke arah abangnya. “Bang!”
Bram dan Rere saling bertukar pandang, jelas tak mengerti maksud ucapan Dante.
“Apa maksudnya, Dan?” Bram bertanya heran.
Dante menyandarkan punggungnya ke kursi, menikmati kepanikan di wajah adiknya. “Nggak, aku cuma penasaran Pi… lo masih keinget perempuan itu, nggak?”
Denta memasang wajah setenang mungkin, tapi jelas ada kegelisahan yang terlihat. “Lo terlalu banyak bacot, Bang,” sahutnya berusaha mengalihkan.
Tapi Dante tidak sebodoh itu.
Denta yang selalu bisa menangkis pertanyaan tajam kini tampak kalang kabut.
Salina yang sedari tadi diam akhirnya ikut tertawa kecil. Entah kenapa, melihat Denta yang biasanya santai kini justru mati kutu, membuatnya sedikit terhibur.
Denta melirik ke arah Salina dan menyeringai. “Gue heran, Sal, lo masih kuat bertahan sama abang gue?” tanyanya dengan nada menggoda.
Dante, yang sejak tadi menikmati momen ini, langsung memekik kesal. “Bocah tengik, makan yang bener!”
Meja makan pun dipenuhi tawa. Meski sempat ada ketegangan kecil, makan malam ini tetap dipenuhi canda yang khas dari keluarga Bramasta. Namun, di balik semua itu, masing-masing dari mereka menyimpan rahasia yang belum terungkap sepenuhnya.
Mereka masih menikmati makanan penutup. Hangatnya kebersamaan di meja makan ini seolah membungkus kenyataan pahit yang selama ini mereka jalani.
Namun, ada sesuatu yang berbeda malam ini.
Dante, yang selama dua tahun ini selalu menjaga jarak, kini justru bersikap sebaliknya. Salina bisa merasakan sentuhan tangan pria itu di pinggangnya, gerakan ringan tapi cukup untuk membuatnya sadar kalau Dante sengaja melakukannya.
Apa-apaan ini?
Salina menoleh sekilas, ingin memastikan apakah pria itu sadar dengan tindakannya. Tapi Dante tetap terlihat tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan saat tangannya yang semula hanya mengelus pinggangnya kini turun mencengkeram pahanya.
Bangsat!
Salina hampir saja memekik kalau saja ia tidak ingat di mana mereka berada. Dengan ekspresi tetap tenang, ia melirik ke arah suaminya, matanya menyiratkan peringatan.
Dante hanya menoleh sekilas, menyeringai. Senyum brengseknya itu semakin membuat Salina kesal.
"Jangan macem-macem," desis Salina pelan.
Dante justru semakin mendekatkan wajahnya, membisikkan sesuatu di telinganya, "Kenapa? Bukannya kita pasangan suami-istri?"
Salina mendesis. Sial. Pria ini memang senang bermain api.
Tanpa berpikir panjang, ia langsung menginjak kaki Dante di bawah meja.
Dante meringis kecil, tapi tetap menjaga ekspresi datarnya. "Awas aja kamu, Sal."
Salina balas menyeringai, merasa menang meski tahu Dante tidak akan berhenti semudah itu.
Sementara itu, Bram masih sibuk bercerita tentang bisnis dan rencana ekspansi ke luar negeri. Semua orang menyimak, tapi bagi Salina, semua hanya terdengar seperti gumaman samar.
Yang lebih mengganggunya adalah Dante yang kembali bersikap seolah mereka benar-benar pasangan harmonis.
Kadang pria itu berbisik di telinganya, entah apa yang dikatakan, dan Salina sudah terlalu malas untuk peduli. Entah itu hanya pura-pura atau memang ada maksud lain, ia tidak ingin mencari tahu.
Yang jelas, Dante bukan pria yang melakukan sesuatu tanpa alasan.
Bram menyesap tehnya perlahan sebelum menoleh ke arah Dante. "Bagaimana perkembangan Pranata Group?" tanyanya dengan nada serius.
Dante, yang sejak tadi sibuk ‘mengganggu’ Salina, akhirnya mengubah ekspresinya menjadi lebih profesional. "Stabil, tapi masih banyak yang perlu dibenahi. Aku sudah merombak beberapa kebijakan agar lebih kompetitif di pasar."
Salina terdiam, matanya sedikit mengabur saat mendengar nama perusahaan almarhum ayahnya disebut. Jika saja ia tidak menikah dengan Dante, mungkin perusahaan keluarganya sudah hancur sekarang.
Tapi ini bukan berarti ia berterima kasih pada pria itu.
"Ternyata kamu juga cukup peduli sama perusahaan Papa, ya?" sindir Salina pelan, matanya menatap Dante tajam.
Dante menoleh sekilas, menyeringai kecil. "Jangan salah paham. Aku cuma nggak suka kalau sesuatu yang berhubungan dengan namaku jatuh ke tangan yang salah."
Salina mendengus. Tentu saja. Dante tetaplah Dante—pria yang selalu memegang kendali atas segala hal.
Sementara itu, Bram meletakkan cangkirnya di meja, lalu menatap Denta yang sejak tadi hanya mendengarkan. "Denta, kamu harus mulai bersiap untuk kembali ke Indonesia."
Denta yang sedang menikmati potongan brownies hampir tersedak. "Hah?"
"Kamu yang akan pegang Bratama Corp setelah ini."
Seketika ruangan menjadi hening.
Dante tersenyum miring, menatap adiknya dengan tatapan penuh arti. "Nah, akhirnya lo juga kena giliran, Dek."
Denta mengerjap, masih mencerna apa yang baru saja dikatakan ayahnya. "Tunggu, Papi serius?"
"Pusing juga kalau terus-terusan Dante yang pegang semuanya. Bratama Corp harus tetap di bawah keluarga kita, sementara Dante sudah cukup repot mengurus Pranata Group," ujar Bram tegas.
Denta mengusap wajahnya, frustasi. "Gue baru balik, belum sempat menikmati hidup di sini, eh udah disuruh kerja."
Mami Rere tertawa kecil. "Nggak ada salahnya mulai belajar, Nak. Ini juga buat masa depan kamu."
Denta menoleh ke arah kakaknya. "Bang, lo setuju?"
Dante mengangkat bahu santai. "Gue sih santai aja. Lo yang harus siap tanggung jawab."
Denta mendesah. "Pusing juga ya jadi pewaris keluarga Bramasta."
Salina yang sejak tadi diam hanya tersenyum tipis. Ya, inilah yang terjadi jika lahir di keluarga konglomerat. Tidak ada kata santai—hidup mereka sudah ditentukan dari awal.