"Turun!"
Suara bariton Dante menggema tajam di tengah sunyinya malam. Ia bahkan sudah lebih dulu membuka pintu mobilnya dengan kasar.
Salina bergeming, enggan menuruti perintah pria itu. Tapi sebelum ia sempat turun sendiri, pergelangan tangannya lebih dulu disambar oleh Dante, membuat tubuhnya sedikit terhuyung ke depan.
Brak!
Pintu mobil ditutup dengan keras.
"Dante, lepasin tangan gue!" pekik Salina, berusaha meronta.
Namun Dante tak menggubris. Langkahnya lebar dan terburu-buru, menarik Salina begitu saja ke dalam mansionnya. Cengkeraman tangannya begitu kuat, seolah melampiaskan amarah yang sejak tadi ia tahan.
Salina tersentak. Ia bisa merasakan dinginnya tangan pria itu—tapi di balik itu, ada ketegangan yang terasa jelas.
Sumpah, cekalan Dante kali ini benar-benar menyakitkan. Pergelangan tangannya memerah seketika, namun Dante masih tak peduli.
Pria itu terus berjalan, menyeretnya masuk, seolah Salina adalah satu-satunya hal yang ingin ia kendalikan saat ini.
---
Flashback On
Suasana ruang makan terasa hangat dengan kehadiran semua anggota keluarga. Malam ini mereka menikmati hidangan bersama, sesuatu yang jarang terjadi sejak Denta memilih menetap di Swiss.
"Terus kalau aku harus pegang Bratama, yang ngurus hotel sama club aku siapa, Papi?" keluh Denta, mengangkat alisnya.
"Kita jalankan sama-sama. Ada Dante yang akan membantumu," jawab Bram, nada suaranya tegas, penuh wibawa.
Meski usianya tak lagi muda, Bram masih memancarkan aura pemimpin. Wajahnya tetap tampan dengan beberapa kerutan yang menandakan kebijaksanaan seorang pria yang telah banyak menghadapi kehidupan.
Denta menghela napas panjang, jelas merasa terjebak dalam tanggung jawab yang tiba-tiba ini.
"Kamu ini, sudah lah manut apa kata Papi," Rere mencoba menengahi, seperti biasa menjadi peredam di antara suami dan anak-anaknya.
Namun, di tengah percakapan mereka, Rere mendadak mengerutkan kening saat melihat Salina.
"Salina sayang, kenapa kamu? Kok pucet?"
Dante yang awalnya tidak peduli, kini juga menoleh. Baru sadar jika sejak tadi Salina hanya diam, tak banyak bicara seperti biasanya.
Sementara itu, Salina hanya tersenyum kecil, menahan rasa tak nyaman yang mulai merambat di tubuhnya.
Ya, setelah seharian menangis di makam papanya dan berakhir dengan kehujanan, ia tahu ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Kepala Salina mulai terasa berat, dan dunia seakan sedikit berputar.
Tapi tentu saja, ia tetap berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, sayangnya, Dante tidak sebodoh itu.
Suasana ruang makan yang semula hangat berubah seketika saat Rere tiba-tiba menepuk tangannya dengan antusias. Mata wanita paruh baya itu berbinar penuh harap saat menatap Salina yang sejak tadi tampak pucat.
"Salina, sayang… kamu hamil?" tanyanya penuh semangat.
Seketika, ruang makan itu dipenuhi keheningan yang aneh.
Salina membelalak, jelas terkejut dengan dugaan mertuanya. Sementara itu, Dante yang tengah menyesap anggur merahnya tiba-tiba tersedak hebat, nyaris memuntahkan kembali minumannya.
"Khh… apa?" Dante berdeham, matanya menajam ke arah Salina.
Denta yang duduk di seberang mereka langsung menahan tawa. "Buset, Bang! Lo akhirnya pecah telor juga? Udah dua tahun, nih! Gue kira bakal bertahan jadi pernikahan suci selamanya!" godanya dengan tawa menggema.
Dante mendelik tajam ke arah adik kembarnya. "Mulut lo, Denta!" desisnya dengan nada berbahaya.
Denta hanya mengangkat bahu, masih terkekeh puas.
Namun, Salina yang sejak tadi diam akhirnya menarik napas dalam. Kedua tangannya mengepal di bawah meja, berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Ini waktunya. Dengan perlahan, Salina menatap Rere dan Bram yang masih menanti jawabannya. Ada harapan di mata mereka—harapan yang seharusnya bisa membuatnya merasa dihargai sebagai bagian dari keluarga ini. Tapi kenyataannya, ia lelah. Ia tidak bisa terus seperti ini.
Salina menelan ludah, kemudian menggenggam jemarinya sendiri di atas pangkuan. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berbicara.
"Mami, Papi… aku minta maaf," ucapnya lirih.
Semua orang langsung menoleh ke arahnya.
"Aku… aku ingin berpisah dengan Dante," lanjutnya.
Jatuh. Seakan ada bom yang diledakkan di tengah meja makan itu.
Denta yang sebelumnya masih tertawa kini terdiam. Rere dan Bram membeku, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Sementara itu, Dante yang sedari tadi masih memegang gelas anggurnya, kini menggenggam benda itu begitu kuat hingga nyaris retak.
Tatapannya dingin, penuh ketegangan yang mendidih di bawah permukaannya.
"Apa?" Dante akhirnya bersuara, suaranya rendah dan tajam.
Salina menggigit bibir bawahnya, menahan gemetar yang mulai menjalari tubuhnya. Ia tidak ingin goyah. Tidak kali ini.
"Aku ingin kita bercerai, Dante."
***
Dante menarik Salina masuk ke dalam mansion tanpa menghiraukan tatapan para ART yang terkejut melihat bagaimana tuan mereka menarik nyonya dengan kasar. Langkahnya panjang dan penuh kemarahan, sementara Salina tertatih, kesulitan mengikuti ritme pria itu.
"Berhenti, Dante! Lepasin gue!" pekik Salina, tapi Dante sama sekali tidak mengindahkan.
Mereka terus berjalan menuju lift, dan begitu pintu tertutup, Dante semakin mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan Salina. Meski tahu genggamannya menyakitkan, dia tetap enggan melepaskannya.
Salina yang berada di belakangnya terus meronta, memukul bahunya yang kokoh dengan penuh amarah.
"Lepasin gue, b******k!" serunya geram.
Namun, Dante tetap tak bergeming.
Lift berbunyi, menandakan mereka telah sampai di lantai kamar mereka. Dan saat itulah Salina akhirnya menemukan cara lain untuk melepaskan diri.
Tanpa aba-aba, ia menunduk dan langsung menggigit punggung tangan Dante sekuat tenaga.
"Aakhh! s**t!" umpat Dante kasar. Bekas giginya jelas tercetak di kulit Dante, meninggalkan jejak kemerahan yang menyakitkan.
Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Salina. Ia mendorong tubuh Dante dengan keras hingga pria itu kehilangan keseimbangan sesaat, lalu dengan cepat ia berlari masuk ke kamarnya dan mengunci pintu rapat-rapat.
Duk! Duk! Duk!
"Keluar, Salina!" Dante menggedor pintu dengan keras. "Kita perlu bicara!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan!" balas Salina dari dalam kamar, suaranya masih penuh amarah.
Dante memejamkan mata sejenak, mengatur napasnya yang memburu karena marah. "Salina, jangan main-main dengan saya," suaranya lebih rendah, namun jelas menyimpan ancaman di dalamnya.
Namun, Salina tetap diam di balik pintu, memilih tidak menanggapi.
Dante semakin geram. Tangan besarnya kembali menghantam pintu dengan keras. "Salina, buka pintunya sekarang juga sebelum saya—"
"SEBELUM LO APA, HAH?" Salina akhirnya membalas, suaranya tak kalah keras.
Dante terkesiap. Napasnya memburu, rahangnya mengeras. "Buka pintunya sekarang juga, Salina," ulangnya, kali ini dengan suara lebih dalam dan berbahaya.
Salina tertawa sinis dari balik pintu. "Kenapa? Lo takut gue kabur? Takut gue pergi ninggalin lo?"
Dante menggeram, amarahnya makin memuncak.
"Dasar pengecut," tambah Salina tajam.
Cukup.
Dante berbalik dengan tatapan penuh bara. Jika Salina pikir dia bisa lari darinya, dia salah besar.
Tanpa pikir panjang, Dante berjalan menuju lemari di ujung koridor, tempat ia menyimpan berbagai kunci cadangan kamar di mansion ini. Tangannya dengan cepat mengambil kunci kamar Salina, lalu ia kembali ke depan pintu dan memasukkan kunci itu ke lubangnya.
Salina di dalam kamar langsung mendengar suara kunci yang berputar.
Matanya membelalak. "Dante! Jangan!"
Klik. Pintu terbuka.
Dan dalam hitungan detik, Dante sudah masuk ke dalam kamar, menatapnya dengan tatapan berbahaya.
Salina mundur selangkah. Terlambat. Dante menutup pintu di belakangnya dengan satu hentakan keras.