2 - Takdir Atau Hukuman

1396 Words
Swiss Denta memijat pelipisnya, mencoba menenangkan pikirannya yang terus bercabang. Sudah dua tahun berlalu, tapi bayangan wanita itu masih terus menghantui. Ia mendesah berat, menatap layar tabletnya—menampilkan satu-satunya petunjuk yang ia miliki. Sebuah foto buram yang diambil dari rekaman CCTV malam itu. Hanya siluet samar, tanpa detail jelas, tanpa nama. Hanya itu yang ia punya. "Gimana hasilnya?" suara Denta terdengar rendah, tapi sarat tekanan. Matanya tetap terpaku pada layar, sementara jemarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Bima yang berdiri di hadapannya menegakkan bahu, ekspresinya lesu. "Maaf, Den. Masih nggak ada titik terang." "Gue nyuruh lo nyari selama dua tahun, Bima." Denta mengangkat kepalanya, menatap tajam sahabatnya. "Dua tahun, dan hasilnya nihil?" Bima menghela napas berat. "Lo pikir gue nggak usaha? Semua klub di Swiss udah kita selidiki, semua sumber daya yang lo punya udah dikerahkan. Tapi tetap aja nggak ada yang kenal dia." Denta mengepalkan tangannya. "Lo yakin udah periksa semuanya? Klub itu ada banyak pengunjung, mungkin dia salah satu tamu VIP, atau mungkin—" "Den," Bima memotong, "Kita udah cari ke semua sudut. Bahkan detektif profesional pun nggak bisa nemuin dia. Udah cukup. Mungkin ini memang... cuma kesalahan." Denta mendadak menatapnya tajam. Rahangnya mengeras. "Gue nggak sebrengsek itu, Bim." Bima diam. Ia tahu persis apa yang Denta pikirkan. Pikiran Denta terus dipenuhi kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau wanita itu hamil? Bagaimana kalau dia harus menghadapi semuanya sendirian? Denta tahu dia sudah melewati batas malam itu—apalagi tanpa pengaman. "Lo pikir gue bisa tidur nyenyak setelah semua ini?" suara Denta penuh amarah yang ditahan. "Gimana kalau dia ada di luar sana, membawa anak gue, sementara gue di sini bahkan nggak tahu siapa dia?" Bima menghela napas panjang. "Lo pikir gue nggak kepikiran itu juga? Tapi gimana lagi? Kita udah cari ke mana-mana, dan tetap nggak ada jejaknya." Denta menekan jemarinya ke pelipis, frustrasi. Kepalanya serasa meledak. "Gue nggak bisa berhenti sampai gue nemuin dia, Bim," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar. Bima menepuk bahunya, mencoba menenangkan. "Kalau dia memang jodoh lo, Den, dia bakal muncul lagi. Tuhan punya cara sendiri buat itu." Denta terdiam, matanya kembali ke layar tablet, memandangi wajah samar di sana. Sial. Kenapa lo ninggalin gue tanpa jejak, hah? Bima berdeham, mencoba mengalihkan suasana. "Udah, Den. Fokus dulu. Papi dan mami lo nungguin. Ini pertemuan terakhir sebelum kita balik ke Indonesia." Denta mengangguk kecil, enggan. "Hem." Tapi Bima belum selesai. "Oh ya, abang lo, Dante, berpesan bahwa setelah sampai di Indonesia, lo harus nangani Bratama." Denta yang awalnya masih bisa menahan diri, langsung mendengus kasar. "Kenapa tiba-tiba?" "Ada masalah di Pranata Group. Kakak ipar lo butuh bantuannya." Denta mencibir sinis. "Terus hotel dan klub yang gue pegang gimana? Bukannya itu tanggung jawab Dante?" Bima terkekeh, mengangkat bahu santai. "Itu urusan nanti. Ntar diomongin lah kalau pulang. Kita cari solusi bareng-bareng." "Sialan," gerutu Denta, bersandar kasar ke kursinya. Matanya menatap langit-langit ruangan, pikirannya berantakan. Dia harus segera kembali ke Indonesia, harus mengurus Bratama, harus menggantikan Dante yang sekarang sibuk dengan Pranata Group. Padahal urusannya di Swiss masih jauh dari kata selesai. Matanya meredup. Tangannya mengepal di atas meja, mencoba menekan perasaan yang seharusnya tidak boleh mengganggu pikirannya sekarang. Kalau lo memang takdir gue, lo bakal muncul. Cepat atau lambat. Denta menggumam pelan, sebelum akhirnya menutup matanya sebentar—mencoba meredam kekesalannya. *** Dante menyandarkan kepalanya ke jok mobil Porsche miliknya, mata tajamnya menerawang ke langit-langit mobil. Ia menunggu kabar dari anak buahnya yang saat ini sedang mencari keberadaan Salina. Dadanya terasa sesak. Perasaan yang mengganggu sejak tadi semakin kuat mencengkeram pikirannya. Kenapa baru sekarang dia menganggap Salina sebagai wanitanya? Kemana saja dia selama ini? Dante mengepalkan tangan di setir, rahangnya mengeras. Salina bukan hanya istri di atas kertas. Ia telah menjadi bagian dari hidupnya selama dua tahun, dan kini saat wanita itu mencoba pergi, Dante merasa sesuatu dalam dirinya terguncang. Dengan gerakan cepat, ia menghidupkan mesin mobilnya. Tanpa menunggu kabar lebih lama, ia memutuskan untuk kembali ke mansion. Mungkin Salina ada di sana. Di Mansion milik mereka. Porsche hitamnya melaju cepat di bawah terik matahari Surabaya. Jalan tol yang membentang di depannya terasa begitu panjang, tetapi Dante memacu mobilnya lebih kencang seolah ingin segera sampai. Sesampainya di mansion, Dante turun dengan gerakan kasar, tatapannya langsung mengarah ke carport. Mobil putih milik Salina ada di sana. Tanpa menghiraukan para ART dan satpam yang menyapanya, Dante melangkah cepat menuju dalam rumah. Langkah panjangnya membawa dia ke kamar Salina. Begitu pintu terbuka, matanya langsung menyapu ruangan bernuansa peach itu. Wangi lembut khas istrinya masih memenuhi udara, tetapi ruangan itu kosong. Salina tidak ada. Dante masuk lebih dalam, memeriksa sudut demi sudut. Walk in close, kamar mandi, ruang kerja—semuanya dalam keadaan rapi. Tapi tidak ada tanda-tanda kehadiran istrinya. Menggeram, Dante keluar dari kamar itu dan melangkah menuju bagian lain rumah. Hingga matanya menangkap sesuatu yang tak biasa—pintu kamarnya sendiri sedikit terbuka. Dahi Dante berkerut. Salina tidak pernah masuk ke kamarnya. Sejak awal, mereka telah hidup di ruang terpisah, tanpa pernah melewati batas satu sama lain. Tetapi sekarang, pintu itu terbuka… Dengan perasaan tak menentu, Dante masuk. Berbeda dengan kamar Salina yang hangat, kamarnya dipenuhi nuansa putih yang terasa dingin dan steril. Matanya mengedar, hingga akhirnya terhenti pada brankas dokumen yang sedikit terbuka. Dante membeku. Siapa yang berani membuka brankas itu? Dengan cepat, ia melangkah ke sana dan memeriksa isinya. Semuanya masih ada di tempatnya. Kecuali… Napasnya tertahan saat menyadari dua buku berwarna hijau dan merah tidak ada di tempatnya. Buku nikah mereka. Dante merunduk, matanya menangkap sobekan kertas yang berhamburan di dekat kakinya. Ia memungutnya—potongan kecil dari sesuatu yang dulu disebut buku nikah itu, Hancur. Salina menghancurkannya. Dada Dante bergejolak, amarah yang selama ini terkekang mulai menyeruak dengan liar. Bibirnya mengatup rapat, tangannya mengepal keras. Dante menarik ponselnya dan menekan tombol panggilan cepat. Begitu tersambung, suara dinginnya langsung terdengar mengancam. "Cari ke mana pun sampai istriku ketemu!" Teriakan itu menggema di ruangan kosong, menyisakan rasa frustasi dan obsesi yang semakin menggila. *** Langit malam di dua benua yang berbeda menyimpan kisah yang sama—dua pria yang dihantui oleh wanita yang mereka inginkan, namun tidak bisa mereka genggam. Dante, pria yang telah terikat pernikahan selama dua tahun, kini menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Salina, ingin pergi darinya. Ia telah menahannya dengan berbagai cara, menekan dan memaksa, namun hati wanita itu seolah telah tertutup rapat untuknya. Dante tahu, ini bukan sekadar ego. Ini obsesi. Ia tidak bisa membiarkan Salina pergi, tidak bisa membayangkan hidup tanpa wanita itu. Tapi semakin ia mencoba menahan, semakin Salina ingin lepas. Sementara itu, di belahan dunia lain, Denta, sang adik, juga terjebak dalam kegelisahannya sendiri. Bukan karena perpisahan, melainkan karena pertemuan yang sekejap, namun meninggalkan jejak yang dalam. Malam itu masih terekam jelas dalam ingatannya. Klub miliknya menjadi saksi bagaimana takdir mempermainkan hidupnya. Dia tidak sengaja bertemu dengan gadis itu. Seharusnya hanya malam biasa—musik, minuman, dan tamu yang datang silih berganti. Namun, di sudut ruangan, seorang gadis tampak mulai kehilangan kendali. Matanya sayu, tubuhnya lunglai, dan wajahnya memerah karena efek alkohol yang berlebihan. Tapi Denta tahu, itu bukan sekadar mabuk biasa. Seseorang telah menjebaknya. Sial. Tanpa berpikir panjang, Denta menyeret gadis itu keluar dari hiruk-pikuk klub, membawanya ke kamarnya, dan mengguyurnya dengan air dingin di bathup miliknya. Tapi dosis minuman laknat itu terlalu tinggi. Gadis itu tidak bisa menahan efeknya. Dan malam itu pun terjadi. Bukan karena niat, bukan karena rencana. Tapi karena Denta tidak tega melihat gadis itu tersiksa. Karena di bawah efek minuman itu, gadis itu mencari kehangatan—dan Denta, bodohnya, memberikannya. Kini, dua tahun setelah malam itu, penyesalan dan obsesi bertarung dalam dirinya. Andai saja ia bisa menahan dirinya, andai saja ia tidak terjerumus dalam malam panas itu, mungkin semuanya tidak akan serumit ini. Tapi yang lebih menyiksa adalah fakta bahwa sejak malam itu, dia menginginkan gadis itu. Bukan sekadar ingin tahu namanya. Bukan sekadar ingin meminta maaf. Tapi benar-benar menginginkannya. Karena jika bukan dia yang ada di sana malam itu, jika gadis itu jatuh ke tangan pria lain, mungkin hasilnya akan jauh lebih buruk. Denta ingin bertanggung jawab. Ia bukan pria baik, tapi dia juga bukan b******n yang akan lari dari kesalahannya. Namun bagaimana ia bisa bertanggung jawab jika gadis itu menghilang tanpa jejak? Dua pria. Dua perasaan yang berkecamuk. Dante dengan Salina yang ingin meninggalkannya. Denta dengan gadis misterius yang bahkan tidak bisa ia temukan. Mereka sama-sama terikat pada wanita yang mengguncang hidup mereka. Entah ini takdir atau hukuman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD