Di ruang rumah sakit yang penuh sesak oleh duka, Salina Hanum Pranata menggenggam erat tangan ayahnya, Arhan Pranata, yang semakin lama semakin dingin. Napas pria itu tersengal, terbantu oleh alat pernapasan yang seakan tak lagi mampu menahannya tetap hidup.
"Papa… aku mohon…" suara Salina bergetar di sela isak tangisnya. "Jangan tinggalin Salina…"
Di sampingnya, Reynara Isyana—yang akrab dipanggil Rere—memeluk tubuh gadis itu erat, mencoba menyalurkan ketenangan meskipun hatinya sendiri turut remuk melihat kondisi sahabat suaminya. Sementara itu, Agam Bramasta berdiri di sisi lain ranjang, wajahnya pias melihat sahabatnya yang sekarat.
Arhan membuka mata dengan susah payah, tatapannya beralih ke Bram. "Bram… berjanjilah padaku…" suaranya lemah, terbata-bata.
Bram menggenggam tangan Arhan erat, menahan emosi yang mendesak di dadanya. "Aku janji… Tapi bertahanlah. Dante akan segera datang."
Di dalam ruangan itu, para sahabat Arhan telah berkumpul. Xander dan Zia, Zyan dan Zahra, serta seorang pria paruh baya dengan baju koko putih dan peci hitam yang telah siap untuk prosesi yang tak terelakkan.
"Sayang…" suara Arhan kini beralih pada putrinya yang masih terisak. "Berjanjilah pada Papa, kamu akan bahagia setelah ini."
Salina menggeleng kuat. "Papa jangan bicara seperti ini! Aku hanya akan bahagia kalau Papa tetap di sampingku!" erangnya, memeluk tubuh ayahnya yang semakin melemah.
Arhan tersenyum tipis. "Jangan menangis, Sayang. Walaupun Papa tidak ada, suamimu akan melindungimu…"
Salina membeku. Suami?
"Nggak! Salina maunya Papa! Salina nggak mau sama yang lain!"
Tangis Salina semakin pecah, tubuhnya terasa lemas dalam dekapan Rere, Zia, dan Zahra. Matanya yang sembab menatap sosok ayahnya yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Nafas sang ayah terdengar semakin berat, seakan waktu yang tersisa hanya tinggal hitungan detik.
Saat itulah suara bariton terdengar dari ambang pintu. "Papi…"
Seorang pria jangkung melangkah masuk. Setelan jasnya masih rapi meskipun wajahnya terlihat sedikit lelah. Mata gelapnya menatap lurus ke arah ranjang, ke pria yang terbaring lemah di sana.
"Dante, kamu datang…" Bram berusaha tersenyum. "Kamu sudah siap?"
Dante Attala Bramasta, putra sulung Barm, melangkah mendekat dengan rahang mengatup erat. Ia mengangguk tanpa ragu.
Suara lirih Arhan kembali terdengar, "Dante, papa titipkan Salina padamu. Jagalah dia, bahagiakan dia…"
Dante mengangguk pelan. Ia menarik nafas dalam, menatap lekat sang ayah mertua yang kini mempercayakan putri semata wayangnya padanya. Perlahan, ia menggeser tubuhnya, mendekatkan diri ke hadapan pria paruh baya yang sudah siap membimbing prosesi sakral ini.
Ruangan yang dipenuhi isak tangis dan kesedihan itu kini hening. Semua mata tertuju pada Dante dan Arhan yang kini bersiap untuk mengucap janji yang akan mengikat Salina dalam sebuah pernikahan.
Bram, yang duduk di sisi Arhan, menggenggam erat tangan sahabatnya. "Ayo, Han. Kita mulai," ucapnya lirih, hampir bergetar.
Sang penghulu menatap keduanya, menarik nafas panjang sebelum mulai melafalkan kalimat sakral itu dengan suara tenang dan lantang.
Hening.
Semua orang menahan nafas. Bahkan suara monitor detak jantung di samping ranjang rumah sakit Arhan terdengar lebih jelas di antara keheningan yang menyelimuti ruangan itu.
Dante menarik nafas, menatap sekilas wajah Salina yang masih tenggelam dalam tangisnya. Lalu, dengan suara yang tenang dan mantap, ia mengucapkan janji yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
"Saya terima nikahnya Salina Hanum Pranata binti Arhan Pranata, dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai."
Seketika, tangis semakin pecah. Salina menutup wajahnya dengan kedua tangannya, tubuhnya bergetar hebat dalam dekapan Rere. Sementara itu, tangan Arhan yang lemah berusaha meraih tangan Bram, seakan ingin memastikan bahwa ia telah menyelesaikan tugas terakhirnya sebagai seorang ayah.
"Dante, Salina… Kalian sudah sah. Aku bisa tenang sekarang…" suara Arhan terdengar lirih, hampir seperti bisikan.
Bram menggenggam tangan sahabatnya lebih erat, suaranya tercekat di tenggorokan. "Han… Jangan pergi dulu, lihat Salina… Dia butuh kamu," ucapnya dengan suara bergetar.
Namun, Arhan hanya tersenyum tipis. Matanya perlahan-lahan mulai tertutup, sementara nafasnya semakin melemah.
Monitor di samping ranjang mulai berbunyi dengan nada panjang. Detik itu juga, semua yang ada di ruangan itu tahu.
Salina menangis sejadi-jadinya, memeluk tubuh sang ayah yang kini telah pergi untuk selamanya. "Papa…" suara gadis itu nyaris tak terdengar, tersendat oleh sesak yang menyesakkan dadanya.
Di sampingnya, Dante menatap Salina dalam diam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang seakan ikut terguncang melihat wanita yang kini telah sah menjadi istrinya hancur dalam duka.
Dan di sanalah, di tengah kehilangan dan air mata, janji mereka telah terikat. Untuk seumur hidup.
***
Salina duduk di lantai kamar Dante dengan tubuh bersandar pada tepi ranjang. Jemarinya yang gemetar menggenggam dua buah buku bersampul hijau dan merah. Pandangannya nanar, terpaku pada benda itu seakan bisa mengembalikan waktu.
Sudah dua tahun berlalu. Namun, luka yang ditinggalkan masih terasa perih, seakan baru kemarin semuanya terjadi.
Salina menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan sesak yang terus menghimpit dadanya. Tapi tetap saja, sekuat apa pun ia berusaha menahan, air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan.
"Papa…" suaranya lirih.
Dua tahun lalu, di ruangan rumah sakit itu, ayahnya meminta satu hal—agar Dante menjaga dan membahagiakannya.
Salina terkekeh pelan, tapi bukan karena bahagia. Lebih tepatnya, sebuah tawa pahit yang menggema di ruangan sunyi.
"Papa… menurut Papa, Salina bahagia nggak?" tanyanya getir, meskipun ia tahu pertanyaan itu tak akan pernah berjawab.
Ia meremas kedua buku itu semakin erat.
"Kalau Papa masih ada, aku nggak akan menjalani hidup seperti ini…" suara Salina bergetar, lalu ia menggeleng lemah. "Aku nggak menyalahkan Papa… tapi aku benci keadaan ini, Pa."
Tangisnya mulai pecah.
"Salina minta maaf… Salina nggak bisa mempertahankan rumah tangga Salina." Suaranya tercekat. "Papa tahu kan apa yang Salina rasakan sekarang? Sekali lagi… Salina minta maaf…"
Dengan tangan yang masih bergetar, Salina merobek buku bersampul hijau itu tanpa ragu. Satu per satu lembaran itu koyak, suaranya terdengar nyaring di antara keheningan siang itu. Namun, itu belum cukup. Ia merobeknya lagi menjadi bagian yang lebih kecil, hingga tak ada satu pun halaman yang utuh.
Lalu, tangannya beralih ke buku bersampul merah. Kali ini, air matanya mengalir semakin deras.
Pernikahan. Untuk apa mempertahankan sesuatu yang tidak dilandasi cinta?
Ah, cinta? Omong kosong.
Bahkan, usaha untuk saling mencintai pun tidak ada. Jadi, jangan harap pernikahan ini bisa berjalan normal.
Salina merobek buku merah itu dengan sisa tenaga yang ia miliki, seolah ingin merobek semua kenangan yang tersimpan di dalamnya.
Dan saat semua telah menjadi serpihan kecil yang berserakan di lantai, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Tak ada lagi yang bisa ia pertahankan. Semuanya… telah berakhir.
Salina menghapus air matanya dengan kasar. Ia tak ingin lagi terpuruk di dalam kamar itu. Tanpa menunggu lebih lama, ia bangkit dari posisinya, kakinya melangkah dengan cepat menuju pintu.
Udara di mansion ini terlalu sesak. Ia butuh ruang, ia ingin pergi.
Begitu membuka pintu, beberapa ART yang sedang lewat terkejut melihat wajah majikannya yang sembab.
“Nona Salina, Anda baik-baik saja?” tanya salah satu dari mereka dengan khawatir.
Namun, Salina tak menjawab. Ia hanya terus berjalan melewati mereka, semakin mempercepat langkahnya.
“Nona, mau ke mana? Ini sudah—”
Ucapan ART itu terputus ketika Salina berlari melewati pintu utama, menerobos angin malam yang dingin.
Ia tak peduli. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini. Dari semua beban yang menghimpitnya. Dari pernikahan yang tak pernah ia inginkan.