4 – “Pernikahan Tanpa Pilihan”

855 Words
Hujan turun pelan waktu itu, membasahi langit Surabaya yang kelabu. Udara sejuk menyusup lewat jendela besar di rumah utama keluarga Indrayan. Dari balik kaca, Callana berdiri diam dalam balutan kebaya krem pucat yang terlalu elegan untuk suasana hatinya. Ia terlihat cantik. Seperti biasa. Tapi matanya kosong. Tak ada haru. Tak ada bahagia. Hanya hening yang menyesakkan. Di ruang tengah yang dipenuhi aroma dupa dan bunga melati, dua pria duduk saling berjauhan—meski berada di ruangan yang sama. Denta Attala Bramasta dan Sebasta Bayanaka Indrayan. Dua rival bisnis yang sepanjang hidup saling menjatuhkan, kini dipaksa keadaan untuk menjadi besan. “Ini bukan soal kalian lagi,” ucap Kakung Bram, suaranya berat namun tak bisa dibantah. “Ini soal masa depan keluarga besar kita. Dan tidak ada keputusan yang lebih bijak daripada menyatukan dua darah ini.” Denta menunduk. Rahangnya mengeras. Sebastra mengepalkan tangan di pangkuannya, menahan bara yang sudah terlalu lama membakar d**a. “Kami sudah berusaha mencari celah untuk menolak, Daddy, apa tidak ada cara lain?,” akhirnya Denta bersuara, serak. “Apa... tidak ada satu pun yang cukup kuat untuk menggoyahkan keputusan Daddy?” mencoba menego keputusan ayahnya. “Tidak ada, Karena kalian terlalu lama tenggelam dalam dendam,” sahut Papa Haris, ayah dari Ebas, dengan sorot tajam di matanya. “Dan sekarang, cucu-cucu kita yang harus membersihkannya.” Di ruang lain yang disiapkan untuk prosesi akad, suasana terasa dingin dan sunyi. Arsean duduk dengan jas hitam sederhana, wajahnya tenang tapi tak bersinar. Tak ada senyum. Tak ada ketegangan. Hanya kepasrahan. Di hadapannya, Callana duduk bersimpuh. Kepalanya tertunduk, dan mata beningnya tak sekali pun menatap ke arah calon suaminya. Penghulu memulai prosesi, membacakan ijab dengan tenang, diapit oleh para saksi dari dua keluarga besar. Saat tangan mereka bersentuhan untuk menyematkan cincin, waktu terasa membeku. Bukan karena cinta. Tapi karena keterpaksaan. Karena nama. Karena darah. “Dengan ini, kalian sah sebagai suami istri,” ucap sang penghulu. Para saksi mengangguk, dan beberapa orang bertepuk tangan kecil. Dan menghaturkan doa. Agar pernikahan ini bisa berakhir bahagia. Calla tetap menunduk, menyembunyikan matanya yang nyaris basah. Dan Arsean hanya menoleh sesaat, sebelum kembali menatap lantai. Di kursinya, Kakung Bram menarik napas panjang dan lega. Kakung Haris mengangguk pelan di sisi lain. “Satu-satunya cara menyingkirkan dendam,” lirih Kakung Bram, “adalah dengan menyatukan yang saling membenci.” Dan pernikahan itu—yang diharapkan menyatukan dua nama besar—berdiri di atas luka, bisu, dan kebekuan hati dua anak muda yang dipaksa saling memiliki. ❤❤❤ Langkah kakinya tergesa di koridor rumah sakit Pratama, suara sol sepatunya mahalnya menggema nyaring di tengah lorong yang sunyi. Denta Attala Bramasta baru saja tiba dari Swiss. Penerbangan panjang, jetlag, dan kepenatan tak ada artinya dibanding kabar yang ia terima: Arsean, putra sulungnya, delapan jam terbaring di ruang operasi setelah kecelakaan brutal di lintasan malam tadi. Pintu ruang ICU terbuka, dan seorang perawat langsung mengangguk sopan saat melihatnya. Tanpa banyak tanya, Denta melangkah masuk. Jantungnya mencelos saat melihat tubuh anaknya terbaring tak bergerak, dengan infus dan alat bantu pernapasan menempel di sekujur tubuh. Luka-luka di wajah Arsean masih terlihat jelas, meski sebagian telah dibersihkan. “ Mas Denta!” Suara lirih namun terguncang itu membuatnya menoleh cepat. Kalia, istrinya, berdiri di ujung ruangan dengan mata sembab. Dalam sekejap, ia menghampiri suaminya dan langsung memeluknya erat—tak peduli siapa yang melihat. Denta membalas pelukan itu, membiarkan satu tetes air mata jatuh di bahu istrinya. Bukan karena lemah. Tapi karena rasa bersalah yang menghantamnya seperti gelombang. Ia ayah, ia seharusnya bisa melindungi. Tapi anaknya terluka parah, dan ia tak ada di sana. “Maaf aku terlambat…” bisik Denta di telinga Kalia, suaranya pecah. “Kamu di Swiss, Mas… sudah tidak apa, yang penting kamu pulang dengan selamat. Maaf aku juga tidak bisa menjaga putra kita" "Tidak sayang, kamu istri dan ibu yang baik untuk kita" Denta menarik napas panjang, menggenggam jemari istrinya lebih erat. Matanya kemudian menyapu ruangan, dan berhenti pada sosok Sebasta Bayanaka Indrayan, yang duduk di bangku panjang bersama istrinya, Nala. Dengan langkah berat, Denta menghampiri mereka. “Ebas…” Ebas mengangkat wajah. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, tidak ada tensi antara mereka. Tidak ada dendam. Hanya dua ayah… yang kini saling menanggung luka yang sama. “Bagaimana semua ini bisa terjadi?” tanya Denta, nadanya dalam dan teredam. Ebas menatapnya, lalu mengangguk pelan. Ia menoleh ke arah Nala yang mengusap punggung tangannya dengan tenang. “Saya sudah tanya ke Senio… katanya ada yang aneh. Tapi kami belum tahu pasti. Yang jelas, bukan hanya soal kecelakaan. Mungkin ada sabotase.” Kalia mendekat. “Senio sedang coba akses rekaman CCTV. Dia dan Sena juga menyisir jalur balap tadi.” Denta mengepalkan tangan. Matanya kembali menatap anaknya yang terbaring lemah di balik kaca ICU. “Aku tak akan diam saja kalau ini ulah orang. Arsean… dia terlalu berharga buat kita.” Ebas mengangguk. “Kali ini… kita di sisi yang sama.” Dan malam itu, dua pria yang pernah jadi rival berdiri berdampingan—menunggu anak mereka kembali pulih. Demi keluarga. Demi warisan nama besar yang harus terus dijaga. Dan demi darah yang telah mereka satukan… meski bukan atas dasar cinta.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD