Dante tengah sibuk mengutuki dirinya sendiri ketika ponselnya kembali bergetar. Kali ini, bukan dari anak buahnya yang tidak kompeten, melainkan dari Alex—sahabat sekaligus asistennya.
Tanpa berpikir panjang, Dante segera membuka pesan yang masuk.
Alex: Boss, I found her. Salina’s at the cemetery.
Jantung Dante berdegup kencang. Makam? Dengan cuaca seperti ini?
Matanya melirik ke luar jendela mansion—Surabaya sedang dilanda cuaca yang tak menentu. Langit mendung pekat, angin bertiup kencang, dan hujan turun dalam gerimis tipis, seakan memberi peringatan akan badai yang lebih besar.
Tanpa membuang waktu, Dante meraih kunci mobil Porsche hitamnya yang tergeletak di meja. Ia bergegas keluar, langkahnya panjang dan penuh urgensi.
Begitu masuk ke dalam mobil, ia menyalakan mesin dengan kasar. Deruman suara mesin terdengar ganas di tengah suasana malam yang semakin dingin.
Tanpa peduli pada jalanan yang basah dan licin, Dante menekan pedal gas dalam-dalam. Porsche itu melaju cepat, membelah hujan yang mulai deras. Wiper kaca mobil bekerja keras menghalau butiran air, sementara tangannya mencengkeram kemudi dengan erat.
Apa yang dilakukan perempuan itu di makam di tengah cuaca seperti ini?
Pikirannya dipenuhi berbagai skenario buruk. Apa Salina baik-baik saja? Apakah dia menangis di sana? Apakah dia… mencoba melakukan sesuatu yang bodoh?
Sial. Dante menginjak pedal gas lebih dalam.
Tak peduli berapa banyak pertanyaan yang mengisi kepalanya, satu hal yang pasti—dia harus menemukan istrinya sekarang juga.
Mobil mahal berwarna hitam itu melaju pelan, roda-rodanya menggilas genangan air yang terbentuk di sepanjang jalan menuju pemakaman elit.
Tempat ini berbeda dari kuburan pada umumnya. Lebih mirip kompleks perumahan yang sunyi, tertata rapi dengan batu nisan mewah yang berjajar bersih.
Dante melirik ke luar jendela. Hujan masih deras, membasahi tanah merah dan menciptakan irama monoton yang menggema di udara. Pencahayaan minim dari lampu-lampu kecil di jalan setapak semakin membuat suasana terasa muram dan suram.
Dante menghela napas. Dia tahu Salina pasti ada di sini.
Dia sudah cukup lama mengenal istrinya untuk tahu ke mana wanita itu akan pergi saat sedang terpuruk. Apalagi dengan terbuktinya pesan dari Alex yang dia kirimkan sebelumnya.
Ke makam ayahnya.
Menepikan mobil di sudut jalan setapak, Dante segera keluar. Hawa dingin langsung menyergap tubuhnya, merayapi kulitnya yang mulai basah oleh air hujan. Bahunya yang lebar sudah setengah kuyup sebelum ia sempat meraih sesuatu dari bagasi.
Sebuah payung hitam.
Dante menatap benda itu sesaat. Seperti mau melayat saja, pikirnya. Dan memang tempatnya sudah tepat.
Dengan langkah tegap, ia mulai menelusuri jalan berbatu, matanya tajam menembus gelap, mencari sosok yang ia kenal.
Dan benar saja. Di bawah guyuran hujan, di samping pusara yang masih tampak baru meski sudah dua tahun yang lalu, seorang wanita terlihat duduk memeluk lututnya. Tubuhnya basah kuyup, bahunya bergetar kecil, tapi ia tetap diam di sana.
Dante mempercepat langkahnya, mendekati wanita itu dengan perasaan yang entah kenapa terasa berat. Lalu, sayup-sayup suara lirih itu mulai terdengar.
"Papa..."
"Papa… menurut Papa, Salina bahagia nggak?"
"Aku sudah gagal, Pa."
"Apa aku salah, Pa? Apa aku terlalu egois jika aku memilih pergi?"
Dada Dante mencengkeram sakit. Ada sesuatu yang tidak pernah ia sadari sebelumnya. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar keinginan Salina untuk bercerai.
Wanita itu—**istrinya—**sedang hancur.
Dante menelan ludah. Pilu yang menyelimuti suara Salina seolah mengiris sesuatu dalam dirinya.
Selama ini, ia melihat Salina sebagai seseorang yang kuat. Wanita yang tidak banyak menuntut dan tidak pernah menangis di depannya.
Tapi sekarang… Hanya ada kepedihan dalam setiap kata yang ia ucapkan. Bolehkah dia memeluknya?
Dante ingin sekali menarik Salina ke dalam dekapannya, melindungi wanita itu dari semua luka yang selama ini ia abaikan. Tapi dia sendiri yang menciptakan jarak itu.
Dia sendiri yang membuat Salina merasa sendirian dalam pernikahan mereka. Bodoh. Sangat bodoh.
"Salina?" Suara berat Dante memecah keheningan.
Salina tersentak, tubuhnya menegang sesaat sebelum perlahan menoleh ke arah sumber suara. Di bawah sorotan cahaya redup dan hujan yang masih mengguyur, mata mereka bertemu.
Dante bisa melihat dengan jelas mata Salina yang sembab, air mata bercampur dengan air hujan di pipinya.
Dan Salina bisa melihat…
Dante yang berdiri di sana, di tengah hujan, menatapnya dengan cara yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Salina hanya tersenyum tipis. Senyum yang penuh luka. "Dante... apa kamu datang untuk membawaku pulang?" tanyanya pelan, suaranya nyaris tertelan oleh suara hujan.
Dante berdiri diam di bawah payung hitamnya. Matanya tajam, tapi bibirnya tak bergerak untuk menjawab.
Salina tertawa kecil, getir. Tertawa yang tidak membawa kebahagiaan sedikit pun. "Atau... kamu datang untuk memastikan aku benar-benar pergi?"
Angin berembus kencang, menerbangkan helai rambut panjang Salina yang basah dan menempel di wajahnya.
Dante menatap wanita itu lama, mencoba membaca sesuatu dalam sorot matanya. Entah sejak kapan Salina menjadi begitu asing. Atau memang sudah asing? Wanita ini adalah istrinya—tapi kenapa ia seperti melihat seseorang yang hampir tidak ia kenal? Dan mungkin memang Dante tak mengenalnya sedikitpun.
Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi lidahnya terasa kelu. Ada sesuatu yang mengganjal di dadanya, sesuatu yang tidak ia mengerti.
Dante mengalihkan tatapannya, menghembuskan napas pelan sebelum melepaskan jas yang ia kenakan. Dengan gerakan tegas, ia mengulurkan jas itu ke arah Salina.
"Pakai ini."
Salina mengerjap, melihat jas yang terulur di depannya dengan ekspresi tak percaya. Sejak kapan pria ini peduli?
Salina tertawa kecil, tapi kali ini lebih dingin dari sebelumnya. "Apa maksudnya ini?" ujarnya ketus.
Dante menatapnya tajam. "Pakai saja. Kamu basah kuyup."
Salina mengangkat satu alis. "Aku bukan anak kecil yang harus kau jaga, Dante."
"Kau bukan anak kecil," sahut Dante dengan nada datar, "tapi aku juga tidak akan membiarkan istriku mati kedinginan di kuburan."
Salina terkekeh, tapi matanya tidak menyiratkan tawa. "Istri? Aku pikir aku bukan apa-apa lagi bagimu."
Dante mengatupkan rahangnya. Rasa frustasi mulai menguasainya. "Salina," Dante mengeraskan suaranya, tapi Salina tetap menatapnya dengan tatapan menantang.
"Aku tidak butuh itu," potong Salina sambil menepis jas yang masih terulur di depan wajahnya.
Dante mendengus, kesabarannya mulai menipis. "Aku tidak bertanya apakah kau butuh atau tidak," gumamnya dalam nada rendah.
Dan sebelum Salina bisa mengelak, Dante melangkah lebih dekat, menjebaknya dalam tatapan tajamnya.
Dengan gerakan tegas, ia menyampirkan jas itu ke tubuh Salina, kedua tangannya menggenggam sisi jas di depan d**a wanita itu, memastikannya tetap menempel.
Seketika udara terasa lebih dingin. Atau mungkin lebih panas?
Salina menegang. Napas mereka bertemu, bercampur dengan embusan udara yang dingin.
Hujan yang turun membasahi mereka tak lagi terasa. Yang ada hanya aroma tubuh masing-masing yang kini bercampur dengan udara lembab di antara mereka.
Salina bisa merasakan kehangatan tubuh Dante yang masih tertinggal di jas itu.
Dante bisa mencium samar wangi khas Salina, bercampur dengan aroma hujan dan tanah basah. Mereka diam. Menatap satu sama lain dalam keheningan.
Sampai akhirnya, Salina menghela napas dan mengalihkan pandangannya lebih dulu. "Aku ingin pulang," gumamnya pelan.
Dante tetap diam sejenak sebelum akhirnya menarik jas itu lebih erat di tubuh Salina.
"Ayo," ucapnya singkat, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya. Dan dengan itu, Dante menggenggam pergelangan tangan Salina, membawanya menjauh dari makam.