Bab 13 : Aidan

1322 Words
Pagi di ruang makan itu terasa dingin—bukan karena cuaca, tapi karena atmosfer yang menyelimuti dua insan yang duduk berhadapan di meja panjang. Dante duduk tegap dengan setelan kerja berwarna hitam, dasinya sudah terpasang sempurna. Tatapannya tajam namun terfokus pada sarapannya, sementara di seberangnya, Salina juga telah siap dengan blazer krem dan dalaman putih, tampil profesional namun tetap elegan. Tak banyak yang mereka bicarakan. Salina masih mempertahankan sikap dinginnya sejak tadi pagi, dan Dante pun memilih untuk tidak mengusik. Namun, keheningan itu terusik ketika ponsel Salina yang tergeletak di meja bergetar pelan. Dante tidak berniat peduli. Sampai… Senyum itu muncul. Dahi Dante berkerut. Matanya menyipit, menatap wanita di depannya yang tiba-tiba menyunggingkan senyum tipis setelah membaca pesan yang baru saja masuk di ponselnya. Senyum yang berbeda. Bukan senyum sindiran yang biasa dia dapatkan dari Salina. Bukan juga senyum pahit yang penuh kelelahan. Ini senyum tulus. Dan itu mengusiknya. Dante meletakkan sendoknya dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Napasnya ditarik dalam, lalu dengan nada datar yang mengandung bahaya, dia bertanya, "Siapa?" Salina mengangkat wajahnya, alisnya terangkat seolah bingung dengan pertanyaan itu. "Hah?" "Siapa yang barusan kirim pesan?" Salina menatapnya sejenak, lalu melirik ponselnya sebelum menjawab dengan santai, "Aidan." Dante mendengus pelan. Aidan. Sahabatnya. Dan juga… sahabat Salina. Dante meraih cangkir kopinya, tetapi bukannya menyeruput isinya, dia hanya memutar cangkir itu di antara jemarinya. Rahangnya menegang. "Kenapa senyum?" tanyanya lagi, nadanya terdengar lebih rendah. Salina mendengus, lalu menopang dagunya dengan satu tangan. "Emangnya gue nggak boleh senyum?" "Boleh," Dante menjawab, suaranya tetap datar. "Tapi kenapa karena dia?" Salina menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak. "Dia sahabat gue, Dan. Gue udah kenal dia jauh sebelum lo ada di hidup gue." Dante mengetukkan jarinya di atas meja, menatap istrinya lekat. "Dan kamu tersenyum karena dia?" Salina menatapnya balik tanpa gentar. "Terus kalau iya?" Dante tidak langsung menjawab. Tapi dalam hatinya, sial, ini mengganggunya. Dante mendekatkan tubuhnya ke meja, mencondongkan tubuhnya ke arah Salina dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Hati-hati, Salina," bisiknya. "Jangan bikin saya cemburu." Salina mengangkat dagunya, tersenyum miring. "Cemburu? Lo?" Dante tidak menjawab, hanya tersenyum tipis sebelum akhirnya kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. "Halah, emang gue siapa lo? Cuman pernikahn bisnis kan? Ya udah lah kayak biasanya aja gak usah ngusik kehidupan pribadi kita berdua. See? " Salina beranjak dari tempatnya dan pergi begitu saja. Danta yang masih ada di tempatnya, hanya menahan kesal. Dia memilih diam tapi dia tak akan diam begitu saja. *** Salina menekan pedal gas mobilnya, membiarkan kendaraannya melaju di jalanan Surabaya yang mulai padat. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir mengikuti irama lagu yang mengalun dari speaker mobil. "Mengemis cinta, ku coba bertahan... Terlalu bodoh untuk terus berharap..." Suara merdu Anggis Devaki memenuhi kabin mobil, mengalir bersama perasaan yang mengaduk dalam hati Salina. Dia mendesah, menarik napas panjang, lalu membuangnya kasar. Lagu ini… kenapa terasa begitu pas? Dia menekan tombol next di layar dashboard, membiarkan beberapa lagu lain mengiringinya hingga akhirnya mobilnya berhenti di depan gedung Pranata Group—perusahaan warisan keluarganya yang kini berada dalam kendali suaminya. Salina keluar dari mobil dengan langkah tegas. Postur tubuhnya yang ramping dalam setelan kerja berwarna krem membuatnya tampak begitu berkelas dan profesional. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya segera menyapa dengan hormat, sebagian melirik penuh kagum—karena Salina Hanum Pranata bukan hanya seorang pemilik perusahaan, tapi juga wanita yang dikenal anggun sekaligus tegas. Begitu memasuki area kantor, asistennya, Nadia, sudah menunggunya di depan pintu lift. "Selamat pagi, Bu Salina," sapanya ramah. Salina mengangguk singkat. "Pagi. Apa jadwal saya hari ini?" Nadia segera membuka tabletnya, membaca jadwal yang sudah tersusun rapi. "Pagi ini, Ibu memiliki pertemuan dengan tim marketing untuk mengevaluasi strategi promosi kuartal ini. Setelah itu, ada diskusi dengan tim keuangan terkait laporan bulanan. Setelah makan siang, akan ada rapat besar bersama para petinggi perusahaan." Salina mengangguk, masih berjalan dengan langkah anggun menuju ruangannya. Tapi langkahnya sedikit melambat ketika Nadia melanjutkan, "Rapat petinggi nanti akan dipimpin oleh Tuan Dante." Salina langsung berhenti. Ekspresinya mengeras. "Apa?" tanyanya dengan nada dingin. Nadia menelan ludah, sedikit canggung melihat perubahan ekspresi atasannya. "Saya juga baru diberi tahu pagi ini, Bu. Sejauh ini, saya belum menerima informasi terkait agenda rapat tersebut." Salina mengepalkan jemarinya. Matanya menatap lurus ke depan, mencoba menahan geram. Kenapa dia tidak tahu soal ini? Salina paham bahwa Dante memang memiliki kendali atas Pranata Group sejak mereka menikah—itu adalah permintaan dari Papa—tapi tetap saja, perusahaan ini adalah miliknya. Bukan perusahaan Dante. Kenapa dia harus tahu dari asistennya, bukannya langsung dari Dante? Apa lagi yang pria itu rencanakan? Salina mendengus pelan, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruangannya dengan wajah dingin. Dalam hati, dia berjanji. "Baiklah, Tuan Dante Attala Bramasta. Kalau lo mau main seperti ini, gue juga bisa." Salina menghabiskan sepanjang pagi dengan bekerja, tapi pikirannya tetap terusik oleh satu hal—rapat yang akan dipimpin Dante. Dia mencoba mengalihkan fokus dengan mendalami laporan yang diberikan tim keuangan, tapi semakin dia membaca angka-angka di hadapannya, semakin kesal dirinya. Dante memang memiliki kendali atas Pranata Group karena campur tangan Papa, tapi selama ini dia tidak pernah ikut campur terlalu jauh dalam keputusan perusahaan. Lalu kenapa sekarang tiba-tiba dia ingin memimpin rapat? Salina menekan pelipisnya, berusaha menahan emosi. Apa yang sebenarnya dia rencanakan? — Saat jam makan siang berlalu, Salina melangkah ke ruang rapat utama dengan kepala tegak. Beberapa petinggi perusahaan sudah hadir, termasuk Bima, asisten kepercayaan Denta, dan Alek, tangan kanan Dante. Ketika Salina masuk, beberapa pasang mata segera mengarah padanya, memberikan sapaan hormat. "Selamat siang, Bu Salina." Dia hanya mengangguk sekilas sebelum duduk di kursi yang biasa dia tempati. Tapi belum sempat dia menarik napas, pintu ruang rapat kembali terbuka. Dan masuklah Dante Attala Bramasta. Pria itu melangkah dengan penuh percaya diri, mengenakan setelan hitam yang membingkai tubuhnya dengan sempurna. Dingin. Berkarisma. Tak tersentuh. Sama seperti biasa. Tapi bagi Salina, kehadiran pria itu justru mengganggu. Dante berjalan santai ke kursinya—yang berada tepat di sebelah Salina—lalu duduk tanpa sedikit pun menatapnya. "Baiklah," suara Dante akhirnya terdengar, dalam dan berwibawa. "Kita mulai rapatnya." Salina menyilangkan tangan di d**a, menunggu penjelasan pria itu. Dan Dante tahu dia sedang diawasi. Pria itu menekan beberapa tombol di laptopnya, lalu layar besar di ruangan itu menyala, menampilkan grafik penurunan saham yang cukup signifikan. "Saya yakin kalian sudah melihat angka ini," Dante membuka pembicaraan, suaranya tegas. "Dalam dua bulan terakhir, saham Pranata Group mengalami penurunan sebesar 4,3 persen. Tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menjadi perhatian kita." Beberapa petinggi mulai berbisik satu sama lain, sementara Salina menatap layar dengan ekspresi tajam. "Masalah utama kita ada pada ekspansi yang terlalu cepat tanpa strategi yang solid. Tim pemasaran dan keuangan perlu bekerja sama untuk menyesuaikan pergerakan kita agar tidak semakin merugikan perusahaan." Salina masih diam, menunggu sesuatu. Dan benar saja, beberapa detik kemudian, Dante menoleh padanya. Tatapan mereka bertemu. "Kita perlu langkah konkret," lanjut Dante, kali ini lebih spesifik ke arah Salina. "Sebagai pemilik perusahaan, apa langkah yang akan kamu ambil untuk menyelesaikan masalah ini?" Salina menatap pria itu dengan ekspresi dingin. Oh, jadi ini maksudnya? Dante ingin menekannya di depan semua orang? Ingin melihat bagaimana dia menangani masalah? Salina menghela napas, lalu membuka dokumen di depannya. "Saya sudah menyiapkan beberapa langkah mitigasi," ucapnya tegas. "Termasuk penyesuaian strategi pemasaran dan efisiensi operasional. Saya juga sedang berdiskusi dengan tim investasi untuk melihat kemungkinan menambah aliran pendapatan baru." Dante mengangkat alis, seolah tertarik. "Menarik," gumamnya, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi. "Jadi kamu sudah menyadari masalah ini sebelum saya membahasnya di sini?" Salina menatapnya tajam. "Tentu saja. Saya bukan pemilik perusahaan yang hanya diam berpangku tangan." Sekilas, sudut bibir Dante terangkat. Dia menyukai jawaban itu. Salina mengepalkan jemarinya di bawah meja. Dasar pria b******k. — Rapat berlangsung cukup intens, dengan diskusi panjang mengenai langkah-langkah yang harus diambil ke depannya. Tapi di antara semua pembahasan itu, Salina bisa merasakan sesuatu yang lain—permainan kekuasaan antara dirinya dan Dante. Dante tidak hanya datang untuk membahas saham. Dia datang untuk menguji dirinya. Dan Salina bersumpah dalam hati, dia tidak akan membiarkan pria itu menang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD