Cahaya matahari yang menerobos masuk dari celah tirai membuat Salina mengerjap pelan. Dia mengerang dalam tidurnya, merasakan tubuhnya masih sedikit lemas. Berapa lama dia tertidur? Atau... Pingsan?
Matanya yang masih berat mulai menyesuaikan diri dengan ruangan yang sudah lebih terang. Perlahan, kesadarannya kembali, dan dia menyadari sesuatu—tidurnya semalam terasa sangat nyaman.
Tapi Tunggu.
Dengkuran halus terdengar di belakangnya.
Bulu kuduknya langsung meremang ketika hembusan napas hangat menerpa tengkuknya. Tubuhnya menegang saat merasakan sesuatu—sebuah tangan besar menggenggam tangannya. Bahkan ada tekanan lain di pinggangnya, sesuatu yang hangat dan kuat.
Perlahan, Salina menunduk, memperhatikan jari-jari yang melingkari tangannya dengan erat. Tangannya sendiri yang mungil tampak terperangkap dalam genggaman besar itu.
Panik mulai menjalar. Astaga… siapa yang tidur di belakangnya?! Matanya membelalak saat dia menoleh dengan cepat.
Ow, s**t!
Dante.
Salina nyaris berteriak ketika melihat wajah pria itu begitu dekat dengannya. Dante tertidur nyenyak, dengan napas yang teratur dan ekspresi santai. Tapi yang membuat Salina lebih panik adalah fakta bahwa pria itu…
Tidak mengenakan pakaian atasnya.
Hanya celana hitam yang masih melekat di tubuhnya. Otot-otot dadanya yang kekar terpampang jelas, lengkap dengan tato yang terukir di sana. Cahaya matahari yang jatuh di kulitnya semakin menonjolkan garis-garis tajam dari tubuhnya yang terbentuk sempurna.
Salina menelan ludah. Apa yang terjadi semalam?!
"Kampret!" Dengan cepat, Salina menarik selimut dan menutup tubuhnya, meskipun dia masih mengenakan dress yang dipakainya semalam.
Dante bergumam dalam tidurnya, terdengar seperti sedang menggerutu pelan.
Brengsek, bangunlah!
Tanpa berpikir panjang, Salina langsung menendang pria itu!
Dante terkejut, tubuhnya hampir terjengkang ke belakang. "Sialan!" gerutunya, mengusap wajahnya yang masih mengantuk.
"Heh, lo ngapain di sini?!" Salina membentak, jantungnya masih berdebar kencang karena terkejut.
Dante hanya menguap kecil, mengacak rambutnya yang berantakan sebelum menatap Salina dengan mata yang masih berat karena kantuk. "Masih pagi udah teriak-teriak aja…" gumamnya malas.
Salina mendelik marah. "b*****t! Pergi nggak lo?! Keluar dari kamar gue!"
Dante menurunkan tangannya dari rambutnya, tatapannya kini berubah dingin.
"Salina, saya suamimu. Jaga bicaramu dan intonasimu," suaranya terdengar rendah, tapi penuh ketegasan.
Salina mendengus, ekspresinya penuh kejengkelan. "Suami? Suami macam apa lo?! Lo nggak pantas disebut suami, Dante!"
Dante menatapnya tajam.
Salina tak peduli. "Toh, gue bakalan terus minta cerai dari lo!" ucapnya penuh tekanan, menantang pria itu.
Dante diam. Tatapannya masih terkunci pada Salina. Sialnya, kenapa Salina terlihat semakin memikat pagi ini?
Wajahnya tanpa riasan, rambutnya sedikit berantakan, kulitnya masih terlihat pucat karena demam semalam—tapi semua itu malah membuatnya terlihat lebih alami, lebih seksi.
Ini istriku? batinnya.
Salina mendengus frustrasi. "Kenapa lo diem?!"
Dante menghela napas, lalu menatapnya dengan pandangan dalam. "Terserah kamu, Salina."
"Tapi satu hal yang harus kamu tahu." Dante bergerak mendekat, membuat Salina refleks mundur ke kepala ranjang. "Aku tidak akan pernah menceraikanmu."
Salina terdiam sesaat sebelum akhirnya mengumpat. "b*****t! Mau lo apa sih?! Gue muak sama pernikahan ini!"
Dante tersenyum miring. "Kamu mau tahu apa yang saya mau?"
Pria itu berjalan mengitari ranjang, bergerak menuju sisi lain hingga membuat Salina semakin terpojok. Tatapannya mengunci penuh obsesi.
Salina mencoba menarik napas, tapi dadanya terasa sesak. "Dante… lepasin! Berhenti sakitin gue!" Dia berusaha melepas cengkeraman Dante di dagunya, tapi sia-sia.
Dante hanya menatapnya dalam, ekspresi wajahnya sulit ditebak. Kemudian, tanpa aba-aba, dia semakin mendekat. Napas hangatnya menyapu wajah Salina, membuat wanita itu menegang.
Salina spontan memejamkan mata, menahan napas.
Lalu…
"I want you. You are mine, and you will always be mine, baby." Bisikan itu terdengar tepat di depan wajahnya.
Jantung Salina berdebar kencang, detakannya seakan menggema di seluruh tubuhnya. Dan saat dia membuka matanya, Dante sudah mundur.
Pria itu berdiri tegak, memasukkan tangannya ke saku celana dengan ekspresi datar. Salina mengatur napasnya, menatap Dante dengan penuh amarah.
Lalu, pria itu berkata dengan suara santai, "Thank you for last night." Kemudian, dia berjalan pergi tanpa menoleh.
Salina menatap punggungnya dengan mata membelalak. "Setressss!" umpatnya.
Tapi Dante sudah menghilang di balik pintu, meninggalkannya dengan segala kekacauan yang kini memenuhi kepalanya.
Salina menggeram kesal, tangannya mencengkram ujung selimut dengan erat. b******n itu!
Matanya melotot ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh Dante. Wajahnya masih panas—bukan karena demam, tapi karena rasa malu yang membara.
Sialan, kenapa dia harus bereaksi seperti itu tadi?!
Salina merutuki dirinya sendiri. Jantungnya masih berdetak tak karuan, dan fakta bahwa dia sempat terdiam pasrah saat Dante mendekat tadi membuatnya ingin menampar dirinya sendiri.
Kenapa gue malah diem?! Kenapa nggak gue tendang aja tuh laki?!
Dia memukul kepalanya dengan kesal. Tapi kemudian wajahnya berubah masam.
Dan… apa maksud ucapan terakhir pria itu?
"Thank you for last night."
Salina menghela napas panjang. Tidak. Tidak mungkin ada sesuatu yang terjadi!
Dia masih mengenakan dress-nya semalam, bahkan tidak ada tanda-tanda aneh di tubuhnya. Tapi tetap saja… sialan, Dante! Kenapa tidur di sini?!
Dengan frustrasi, Salina menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Gue harus segera keluar dari rumah ini.
Sementara itu…
Di kamar mandi utama, Dante berdiri di bawah pancuran air hangat dengan mata terpejam.
Butiran air jatuh membasahi kulitnya, menyusuri setiap lekuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Garis-garis tajam di perut dan dadanya semakin jelas ketika air membasahi permukaannya.
Senyum tipis terukir di sudut bibirnya.
Gadis itu… Salina.
Dante membuka matanya, tatapannya gelap dan penuh arti. Dia masih mengingat ekspresi Salina pagi tadi—wajah yang memerah, bibir yang sedikit bergetar, napas yang memburu…
Bibir Dante melengkung lebih lebar. Dia gugup. Dan itu adalah sesuatu yang baru dari seorang Salina.
Biasanya, wanita itu begitu tajam, penuh perlawanan, dan nyaris tak pernah terintimidasi oleh Dante. Tapi pagi ini? Hanya dalam beberapa detik, Dante berhasil membuatnya diam.
"I want you. You are mine, and you will always be mine, baby."
Dante mengulang kalimat itu dalam kepalanya. Dia tidak main-main.
Dante mengusap wajahnya dengan satu tangan, lalu menyandarkan punggungnya ke dinding kamar mandi. Butiran air masih mengalir deras, menghangatkan kulitnya yang dingin.
Dia mendongak, menatap langit-langit kamar mandi dengan ekspresi lebih serius. Salina minta cerai.Dan dia tidak berniat untuk mengabulkannya. Dante mengeraskan rahangnya.
Jika selama ini dia membiarkan wanita itu menjauh, mungkin sekarang sudah waktunya untuk menariknya kembali.