CHAPTER 5

1158 Words
Sabelle membuka matanya dengan susah saat cahaya matahari menyembul dari sela-sela gorden kaca jendela apartemen itu. Ia meregangkan tubuhnya dan mencoba bangkit untuk dapat duduk. Dia menatap ke samping dimana Peter terlihat tidak ada, padahal biasanya Peter masih tertidur saat ini. Sabelle turun dari kasur dan membuka gorden kaca jendela hingga cahaya matahari menyinari kamarnya. Setelah itu, Sabelle ke kamar mandi untuk membersihkan badannya dan keluar di saat dirinya telah fresh. Sabelle memakai baju casual, karena ia akan menghabiskan waktu di rumah saja dan membuat hari ini lebih menyenangkan daripada hari kemarin karena ia mengacaukannya dengan pertengkarannya bersama Peter. Oleh karena itu, ia akan menebus rasa bersalahnya hari ini. Sabelle mengikat cepol rambutnya dan setelah itu berjalan ke arah dapur untuk menyiapkan sarapan. Sandwich isi daging sapi telah ia buat yang mana itu kesukaan Peter dan Shalter. Selesai membuat sarapan, Sabelle mulai membangunkan Shalter yang terlihat masih ingin tidur karena ia terus bergumam, "Lima menit lagi, Mommy." Dan karena hasil membujuk, akhirnya Shalter dapat dibangunkan hingga anak kecil itu berlari menuju ruang makan yang mana telah tersedia makanan kesukaannya. "Tunggu Daddy, oke. Kita makan bersama," ucap Sabelle mengingatkan Shalter yang kini terlihat lapar menatap sandwich tersebut. "Cepat, Mommy. Perutku sudah berbunyi," balas Shalter yang membuat Sabelle tertawa. Sabelle langsung saja menuju ruangan pribadi Peter, tempat pria itu menyusun lagunya. Tapi ... Saat ia membuka pintu ruangan tersebut, kertas-kertas yang biasanya berserak di atas meja kini telah hilang hingga menyisakan permukaan kosong pada meja tersebut. Sabelle langsung masuk ke dalam ruangan itu dan menyadari jika gitar dan alat-alat penting milik Peter telah hilang hingga ruangan itu terlihat hampir kosong dan bersih. Apa mungkin mereka telah di rampok atau ... ? "Peter!" teriak Sabelle lalu berjalan mundur dari ruangan tersebut untuk mencari suaminya. Hampir seluruh ruangan telah Sabelle cek tapi hawa keberadaan Peter tidak terasa sama sekali seolah pria itu sudah tidak ada lagi di sana. Bahkan Sabelle kembali ke kamar untuk melihat kamar mandi dan masih tidak menemukan suaminya. "Peter! Dimana kau?" teriak Sabelle, berharap yang dipanggil menjawab. Tapi nyatanya tidak. Peter tidak menjawab atau orang tersebut tidak ada di dalam apartment itu. Sabelle langsung membuka lemari pakaiannya dan benar. Apa yang dipikirkannya sedari tadi benar jika Peter telah pergi. Baju pria itu sudah berkurang, kopernya sudah hilang. Apa maksudnya ini? Peter kabur dari rumahnya sendiri? Badan Sabelle lemas seketika, tubuhnya ambruk dan terduduk di lantai dengan tangan yang menahan kepalanya. Hatinya terasa terhimpit oleh sesuatu yang tidak terlihat hingga membuat tenggorokannya terasa sakit dan matanya memanas. Sudah dapat dipastikan jika air mata telah lolos dari kelopak mata Sabelle. Wanita itu terisak tertahan, mengetahui suaminya pergi tanpa mengatakan apapun padanya. Lalu, bagaimana kehidupannya selanjutnya jika tanpa pria itu sebagai penyangga dirinya dan anaknya? "Mom," panggil Shalter saat melihat Sabelle menenggelamkan kepalanya diantara dua lututnya. Shalter berjalan mendekat pada Sabelle dengan raut yang tidak dapat dibaca, seolah ia tahu ada hal buruk yang menimpa mereka. "Mom, it's everything okay?" tanya Shalter sembari berlutut di depan ibunya. Sabelle mendongak, menghapus air mata yang tengah turun dari kelopak matanya. Kini perhatiannya tertuju pada putranya yang melihatnya bingung dan sedih. "Tidak apa, semua baik-baik saja, Sayang," ucap Sabelle dengan susah. Shalter memiringkan kepalanya sedikit. "Mengapa kau menangis kalau begitu?" Sabelle menggeleng dengan isak tangis tertahan. Mata dan hidung yang merah tidak mungkin dapat membohongi Shalter yang kini tengah meminta penjelasan darinya. "Mommy hanya kelilipan, beberapa debu membuat mommy menangis. Kau sudah sarapan?" Shalter menggeleng kecil masih dengan menatap Sabelle bingung. "Mengapa? Sekarang lebih baik makan sarapanmu, oke. Mommy akan bergabung nanti," suruh Sabelle yang malah mendapat gelengan dari Shalter. "Kau bilang kita makan bersama, dimana Daddy?" "Da-daddy?" ulang Sabelle dan air mata yang sedari tadi dapat ia tahan kini kembali keluar. Sabelle menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan menangis dengan suara kecil. Sabelle juga ingin bertanya seperti itu, dimana Peter? Mengapa ia dan barang-barangnya sudah tidak terlihat. Peter tidak pernah meninggalkan mereka seperti ini sebelumnya, tanpa kata-kata. Sentuhan hangat mampir di pergelangan tangan Sabelle yang membuat wanita itu membuka tangannya dan mendapatkan Shalter sedang menahan tangisnya. "Dimana? Dimana Daddy?" tanya Shalter lirih. Sabelle menggeleng pelan dan satu tetes air mata kembali tumpah. "Aku tidak tahu, Shalter." Puncak hidung Shalter memerah. "Apa Daddy pergi?" tanya anak itu polos. Sabelle langsung membawa Shalter ke dalam pelukannya dan memeluk anaknya erat. Tetesan air terasa membasahi lehernya dan Sabelle tahu jika itu adalah air mata Shalter. "Apa Daddy meninggalkan kita lagi?" tanya Shalter lirih. Pandangan Sabelle memburam karena air mata yang menggenangi kelopak matanya. Lalu, dengan cepat ia menghapus air mata tersebut dan berdehem, menetralkan tenggorokannya yang terasa tercekik. "Ya, Sayang. Tapi kau tahu jika ia akan kembali, bukan?" "Tapi mengapa ia tidak berkata apa-apa? Apa Daddy marah padaku? Apa aku nakal Mommy?" Sabelle segera mendekap mulutnya agar suara tangisnya tidak terdengar oleh Shalter. Bisa-bisanya Shalter berpikir jika ini salahnya, seberapa besar tanggung jawab yang anak sekecil itu tahu? Sabelle mengusap kepala Shalter dan berkata, "Tidak, Sayang. Itu bukan salahmu, kau telah menjadi anak yang baik. Kau tidak nakal, hanya saja ... Daddy ... Butuh waktu untuk pekerjaanya, ia harus mencari uang Sayang agar kita bisa ke Disneyland," kilah Sabelle. Shalter menguraikan pelukannya dan memilih menatap wajah Sabelle. "Tapi aku lebih memilih bersama Daddy daripada ditinggal untuk mencari uang ke disneyland. Apa Daddy tidak bisa mencari uang bersama kita? Apa harus sendiri?" Sabelle menggeleng pelan lalu berusaha tersenyum. "Tidak, Shalter. Daddy tidak bisa, jadi jangan bersedih oke. Mommy akan berusaha menghubungi Daddy agar kau bisa berbicara padanya, jadi kau harus sarapan dulu, ya?" Shalter mengangguk kecil. "Bagus, kalau begitu duluan sarapan dan mommy akan menyusul. Mommy akan menelepon Daddy dahulu, maukah kau menuruti perkataan Mommy?" Shalter kembali mengangguk, kali ini pelukan mereka terlepas dan Shalter berjalan lemah keluar dari kamar untuk menuju meja makan. Sabelle bangkit dari duduknya dan mencari ponselnya yang ternyata berada di atas nakas. Dengan cepat, Sabelle mendial nomor Peter, berdering beberapa kali sampai suara operator nengintrupsi jika nomor yang ia tuju tidak dapat dihubungi. Peter menolak menjawab panggilannya dan bahkan mematikan ponselnya. Kini Sabelle tahu jika sesuatu yang salah terjadi, Peter telah memilih meninggalkan mereka daripada meninggalkan impiannya. Pasokan udara di dalam kamar itu terasa tipis karena Sabelle kini mencoba mengambil napas dengan susah. Napasnya yang tersenggal membuatnya berlari membuka pintu balkon dan berusaha mengambil pasokan udara sebanyak-banyaknya, tapi itu tidak membantu sama sekali bahkan sampai merasa tercekik, ia tidak lagi merasakan udara. Sabelle hanya perlu satu hal, bernapas dengan tenang. Paniknya ia membuat segalanya terasa sulit, termasuk bernapas. Wanita itu kembali ambruk ke lantai dan kini napasnya sudah kembali normal semula. Tenggorokannya yang terasa terkecik kini sudah sedikit mengendur, tapi tidak hatinya yang masih saja sakit. Apa salahnya hingga Peter meninggalkannya seperti itu? Apa karena ia telah mengusik privasi pria tersebut atau apa? Mengapa semua terasa rumit saat ini? Bagaimana bisa Peter menghancurkan dirinya dengan mudah? Sabelle menutup matanya erat, ia mencoba memikirkan hal terbaik yang harus ia lakukan saat ini. Apa yang terpenting saat ini, karena ia merasa buntu dan tidak dapat berpikir apa-apa. "Mommy." Suara kecil itu membuat Sabelle membuka matanya dan mendapatkan Shalter di pintu balkon. Sabelle mengambil napas panjang dan menghembuskannya pelan, sekarang ia sudah tahu. Ia harus memikirkan putranya yang kini tengah menatapnya sedih. Akan hal Peter, ia akan mencari pria itu nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD