CHAPTER 4

1085 Words
Hari keenam dan mereka masih di rumah saja. Sabelle yang berada di samping peter, menatap Peter yang tengah fokus menonton TV. "Peter," panggil Sabelle. Peter menoleh. "Hmm?" dehemnya. "Kau berbicara dengan siapa, kemarin?" Dahi Peter mengkerut. "Aku tidak berbicara dengan siapa-siapa, aku hanya di rumah saja beberapa hari ini," jawab Peter. Sabelle menelan salivanya, sebenarnya ia ragu untuk menanyakan hal ini, tapi jika terus seperti ini, bisa-bisa Peter akan terus menyembunyikan hal itu darinya. Sabelle hanya ingin kejujuran dari Peter, itu saja. "Berbicara denganmu, di telepon kemarin," ucap Sabelle. Terlihat Peter membeku sesaat sebelum berlaga santai. "Aku tidak melakukan panggilan dengan siapa-siapa, kemarin," kilah Peter yang membuat hati Sabelle sakit. "Aku dengan jelas mendengar kau berbicara dengan seseorang, Peter." Peter menatap Sabelle langsung. "Kau menguping pembicaraanku?" "Aku hanya tidak sengaja mendengar, Peter." Peter menghela napasnya dan terlihat kesal. "Aku tidak suka jika kau terlalu mengusik privasiku, Sabelle." "Aku hanya mendengarnya, Peter. Itu bukan berarti aku mengusik privasimu, bukankah kita pasangan jadi mengapa kau tidak memberitahuku privasimu?" balas Sabelle. "Apa saja yang telah kau dengar?" tanya Peter dan menghiraukan pertanyaan Sabelle sebelumnya. "Peter, apa itu penting? Bukankah lebih penting bagaimana kita terbuka?" Peter bangkit dari duduknya. "Ada hal yang harus kau tahu dan yang tidak, Sabelle. Aku tidak suka kau terlalu mengusik privasiku, pikirkan perasaanku," ucap Peter yang membuat Sabelle menatap tidak percaya. "Bisakah kau pikirkan perasaanku juga, Peter? Aku mau menikah tanpa ada orang yang mengetahui untuk menjaga pamormu, aku mau menunggumu selama kau pergi untuk konsermu yang menghabiskan waktu berbulan-bulan. Aku mau, tapi kau tidak mau mengerti perasaanku dan Shalter." Peter menggeleng tidak terima. "Jangan membawa Shalter dalam permasalahan kita, dia tidak ada kaitannya dengan hal ini." Sabelle tersenyum kecut. Sakit hati karena Peter tidak memikirkan sifat Shalter yang begitu berbeda jika ayahnya tidak bisa diajak bermain di luar seperti anak lainnya. "Dia ada kaitannya dengan hal ini, kau tahu betapa ia kesakitan karena kau tidak bisa ia ajak pergi bermain di luar? Apa kau tahu betapa ia kesakitan saat kau terus saja pergi?" "Sabelle, hentikan ini." "Bagaimana bisa, Peter? Aku hanya ingin kau lebih peduli pada keluargamu ini," ucap Sabelle. "Aku peduli, sangat peduli." Sabelle tersenyum tipis lalu ikut berdiri. "Kalau begitu, apa kau tahu cita-cita Shalter?" tanya Sabelle. Peter terdiam dan mulutnya terbuka dan tertutup tanpa mengeluarkan jawaban. "Kau tidak tahu, bukan?" "Peduli bukan berarti aku harus tahu hal itu, Sabelle." Sabelle memperlihatkan wajah kecewanya. Dirinya tidak habis pikir atas apa yang ada dipikiran Peter sehingga sebegitunya pada dirinya dan Shalter. "Kau benar-benar di luar dugaan, Peter. Kau tidak lagi seperti dulu, kau berubah." "Jangan memicu keributan, Sabelle. Aku sedang tidak ingin bertengkar," ucap Peter sembari mengusap wajahnya kasar. "Aku tidak memicunya dan aku tidak ingin bertengkar. Aku hanya ingin kau lebih peduli, Peter." Peter menggeleng dan menggeram. "Kita bicarakan hal ini nanti, kau sedang tidak bisa diajak bicara." "Peter," panggil Sabelle lirih. Peter tidak menghiraukan panggilan Sabelle dan melenggang pergi meninggalkan Sabelle yang menatap kepergiannya dengan luka. Akhirnya Sabelle terjatuh terduduk di sofa sembari memegangi wajahnya yang kini tengah menumpahkan air mata. "Mommy," sahut Shalter kecil. Sabelle segera menghapus air matanya dan berusaha tersenyum sebisanya untuk Shalter. "Shalter, ada apa?" tanya Sabelle. Shalter menggeleng lemah lalu berjalan mendekati Sabelle. "Kau menangis," ucap Shalter dan menghapus air mata yang jatuh di pipi Sabelle. "Maafkan aku, Shalter," lirih Sabelle pada Shalter. Shalter tersenyum. "Mengapa kau meminta maaf, Mommy?" tanya Shalter. Sabelle langsung membawa Shalter ke dalam pelukannya dan mencium puncak kepala Shalter. "Maafkan aku, Shalter, karena aku tidak bisa membuatmu merasakan kebahagian penuh," gumam Sabelle lirih. Shalter membalas pelukan Sabelle, walaupun ia masih kecil tapi Shalter mengerti keadaanya saat ini, mempunyai ayah yang seorang penyanyi tentu bukan hal mudah, bahkan Shalter sempat menonton video di internet tentang seorang ayah yang juga seorang penyanyi. Oleh karena itu, Shalter begitu mengerti. "Mommy, it's okay to not be okay." Sabelle melepaskan pelukannya dan menatap Shalter dalam. Lagi, Sabelle merasa beruntung karena mempunyai Shalter yang pengertian dan lebih dewasa dari umurnya yang mana hanya berumur lima tahun. "Aku sudah tidak apa-apa sekarang," ucap Sabelle sembari menyeka air matanya. "Kau tahu mengapa?" Shalter menggeleng dengan polos yang membuat senyum Sabelle terbit. "Karena aku memiliki my lovely son," ucap Sabelle. Shalter menampilkan deretan giginya yang memiliki beberapa yang patah, matanya ikut menyipit karena senyuman lebar yang ia tampilkan. "Ya, kau memilikiku, Mommy." • • • "Peter, apa kau ingin memakan sesuatu?" tanya Sabelle setelah Peter pulang dari perginya yang entah kemana. Peter menggeleng, ia tidak bicara semenjak pulang tadi dan memilih memainkan laptopnya bahkan di atas kasur. Tampak sekali jika ia mengabaikan Sabelle atas kejadian tadi. "Peter," panggil Sabelle, lalu mendekati pria itu dan duduk di tepi kasur. "Kau marah padaku?" Peter menghela napasnya dan akhirnya menatap Sabelle setelah sekian lama ia habiskan untuk menatap layar laptop. Peter menatap Sabelle dengan tatapan lelah, seolah pertengkaran mereka tadi sangat-sangat menghabisi energinya. "Aku tidak marah padamu, hanya saja aku ingin kau memberikanku ruang untukku bernapas dengan masalahku sendiri. Aku tidak suka pertengkaran di saat kita hanya bisa bertemu beberapa kali. Ini melelahkan sekaligus memuakkan untukku," terang Peter dengan nada letih. Sabelle mengangguk, ia akan mengalah kali ini demi suami dan anaknya, bagaimana pun ia juga memikirkan kelelahan Peter dalam kegiatannya sebagai penyanyi. "Baiklah, maafkan aku. Hanya saja beberapa pikiran buruk terus berputar di kepalaku. Kau akan memaafkanku, bukan?" pinta Sabelle, ia menatap Peter penuh harap. "Baiklah, tapi kumohon. Aku tidak ingin mendengar hal itu lagi, ini sudah cukup membuatku sakit kepala, Sabelle." Sabelle tersenyum senang. "Aku tidak akan mengungkit hal ini lagi," ucap Sabelle. Peter mengangguk dan menutup laptopnya setelah itu meletakkannya di atas nakas. Merenggangkan badannya, Peter mulai berbaring dan menarik selimut. "Mari tidur," ajak Peter. Sabelle berjalan menuju saklar lampu dan mematikannya. Lampu kecil dari atas nakas cukup membuat ruang itu sedikit terang. Setelah itu, Sabelle menaikki kasur dan mendekati Peter yang menghadap sisi lain. Sabelle meletakkan tangannya pada perut Peter, mencoba mengkode suaminya untuk mengetahui apa yang ia inginkan tetapi ... . "Tidak, aku sedang tidak ingin," ucap Peter dingin yang membuat Sabelle menarik tangannya dari perut Peter. Sabelle merasa sakit hati, mendengar penolakan Peter membuatnya merasa buruk. Akhirnya ia memilih untuk tidur menyamping dan mereka tidur saling membelakangi sama seperti keinginan mereka, bertolak belakang. Sabelle menatap ornamen yang menghiasi kamar mereka dengan tidak fokus, karena dalam pikirannya ia merasa buruk karena ditolak oleh Peter. Ini bukan karena ia begitu menginginkan hal itu tapi cara Peter yang menolaknya dengan nada dingin membuatnya sakit hati. Sabelle berusaha untuk menahan air mata yang berada di ujung kelopak matanya, menangis bukan pilihan yang tepat kali ini. "Sabelle, aku hanya ingin kau tahu jika aku masih ingin mempunyai kehidupan yang bebas," ucap Peter tiba-tiba tapi Sabelle tidak menjawab karena jika ia menjawab, tentu saja suara serak karena menahan tangis itu akan terdengar. "Maafkan aku," lanjut Peter yang membuat Sabelle benar-benar menangis kali ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD